Gelombang Jual-Beli Etos Punakawan
Kalau saya boleh memakai salah satu sudut pandang “bahasa wayang”, mungkin dewasa ini kita sedang mengalami suatu masyarakat Mahabharata, dengan kerancuan watak dan posisi Pandawa-Kurawa serta dengan kaum Punakawan yang keluar masuk gedung museum. Tapi tidak gampang menjelaskan penglihatan semacam itu.
Banyak cara dalam sejarah dipakai orang untuk melacak sumber gejala-gejala. Banyak pendekatan digunakan — oleh awam maupun pakar — untuk memperoleh ‘kepastian’ tentang masa silam, meraba masa kini, dan menduga-duga masa datang. Beratus mata pandang pula dipasang oleh para pemerhati sejarah untuk mencoba tahu apa yang sedang membusuk dan apa yang lain, yang justru mulal bersemi; apa yang luruh-raib atau yang bangkit, siapa turun siapa naik, siapa terjerembab siapa menapak, atau setidaknya bagaimana garis-garis kecenderungan umum — meskipun transparan — yang tampak.
“Prakiraan cuaca sejarah” yang paling bisa dipercaya dan membuat hati mantap adalah — tentu saja — perhitungan-perhitungan dari ilmu sosial biasa, meskipun bisa juga ia meleset sampal 12-15 tahuñ dalam menduga akan terjadinya ‘gerhana’. Bisa juga mendeteksi situasi zaman melalui referensi — umpamanya — pola-pola watak sejarah: Namrudisme dengan terapi Ibrahimiyah, Bilkisisme dengan penyembuhan Sulaimaniyah, Firaunisme dengan obat Musaiyah, atau Jahilisme dengan jamu Muhammadiyah — bukan “Muhammadiyah”
Pak AR Fachrudin di Yogya. Namun yang paling mengasyikkan darn marketable tentu saja pendekatan paranormal, kebatinan, mistik maupun klenik. Bisa dengan melibatkan bersamaan waktu meletusnya Gunung Kelud dengan gerhana matahari, atau apa saja yang aneh-aneh dan mengepul sebagai asap yang raib di ruang hampa.
Akan tetapi, realitas kehldupan ini, terutama masa silam dan apalagi masa datang, terlampau pekat untuk kita tembus dengan mata yang amat tergantung padu cahaya. Pusat Bahasa tidak tahu siapa pencipta kosakata memble, dan para ahli sejarah tak bisa menjawab pada abad berapa ‘rujak’ ditemukan; siapa founding father-nyu, sehingga sumbil terpedas-pedas seusai makah rujak, kita bisa menyebut-nyebut namanya dan menghaturkan Terima kasih.
Oleh karena itu, pengetahuan kita selalu sangat relatif dan yang kita ketahui sesungguhnya hanyalah pengetahuan kita itu sendiri, sementara realitasnya mungkin berbeda. Maka mungkin sekali seorang pakar, cendekiawan atau pendeta yang waskita, merasa sedang berbicara tentang ‘gelombang’, padahal sesungguhnya yang ia sebut sekadar ‘ombak’ atau bahkan ‘buih. Termasuk salah satu kesukaan saya untuk memakai ‘kacamata wayang’.
Carangan, skenario alternatif
Untungnya budaya wayang tidak makín surut, setidaknya yang saya perhatikan dan alami di Yogya dan sekitarnya. Enam hari dalam seminggu Anda bisa mendengarkan wayang kulit dari radio, dan itu tak hanya dari sudut studio. Frekuensi ‘sosialisasi’ wayang sama sekall tidak lebih renlah dibandingkan dangdut atau ļagu pop dan Zaenudin Mz. Kalau diadakan ‘duel pentas’, penonton wayang kulit ‘berani’ bersaing dengan musik rock atau tinju prof.
Nostalgla sebagian masyarakat Jawa di Jakarta terhadap wayang mungkin bisa tak usah dihitung, tapi kita tak bisa membantah, bahwa dunia pewayangan tetap merupakan bagiian dari aspírasi dan simbol Identifikasi manusia Jawa — mungkin juga satu dua kelompok lain — terhadap posisinya dalam sejarah. Dan kalau kíta memperhatikan, bahwa pada acara-acara kenegaraan khusus biasanya dihadírkan pentas wayang, atau bahwa patung Kreana Arjuna berdiri kukuh di tengah suasana metropolitan Jakarta — dan kita tahu itu bukan tanpa konteks, atau setidaknya latar belakang psikologis — rasanya boleh diasumsikan, bahwa wayang masih memiliki relevansi terhadap situasi aktual masyarakat dan negara kita dewasa ini.
Figur-figur pewayangan pada sebagian masyarakat masih diletakkan sebagai acuan identifikasi personal psikologis; lebih dari itu, ia adalah juga suatu kerangka, dari mana pola-pola kekuasaan atau struktur þolitik memperoleh akar nilai.
Kalau itu kita sepakati, maka sekarang kita membutuhkan para peneliti sejarah untuk menjelaskan kepada kita perbedaan substansial atau jarak nilai-nilai antara Mahabharata dengan ketika kemudian ia disebut wayang. Kita perlu tahu lebih þersis, mengapa dan kapan paradigma carangan dirintis. Aspirasi apa yang membuat Raden Arjuna jadi panya anak bernama Wisanggeni, dan ideologi apa yang mendorong dilahirkannya Ontoseno sebagal putra Bima. Siapa gerangan yang sebelumnya ‘menyuruh’ Bima untuk mengembriokan proses demokratisasi di tengah kemapanan feodalistik Mahabharata asli India itu. Kemudian dalam situasi zaman yang bagaimana, atauil merupakan cerminan darl pergulatan kebudayaan politik macam apa lahirnya counter-culture punakawan Gareng Petruk Bagong serta Klai Semar, yang sanggup mengatasi segala Dewa hanya dengan (maaf) kentutnya itu.
Apakah alternatif carangan yang mengobrak-abrik anutan asli dan struktur nilai Mahabharata itu, cukup layak dideretkan — misalnya pada nomor 27 saja — sesudah polemik kebudayaan Sutan Takdir Alisyahbana, Pancasila Bung Karno, Koperasi Bung Hatta, serta beribu-ribu pemikiran indah dan gagah tentang demokrasi modern yang kita kenyam bersama selama masa kemerdekaan.
Setidaknya, kalau kita ambil sisi pesimistik, kita semua ini sama “badut”nya dengan omong besar mitos Semar dan segala carangan dalam pewayangan. Namun pada saat yang sama kesunyian hati nurani Kiai Semar dengan kesepian sanubari demokrasi modern kita, sama-sama awet dan tak mungkin mati.
Kompas, Sabtu 12 Mei 1990