Fardlu Kifayah, Ruwat Desa Menggugurkan Kewajiban Sak Negoro
Masih dari Sinau Bareng di Lapangan Desa Perning Jetis Mojokerto 2 September 2022 lalu. Kita lanjutkan menikmati dan memetik ilmu dari mauidhah hasanah yang berlangsung. Mauidhah hasanah nasihat yang baik. Dalam Sinau Bareng yang bersifat dialogis dan multiarah, mauidhoh hasanah dapat kita ambil percakapan atau perbincangan-perbincangan di dalamnya. Perbincangan di dalam Sinau Bareng baik adanya karena berisi ketulusan hati di antara orang-orang yang berbincang, baik karena berisi keindahan dan kegembiraan yang juga baik, serta baik karena berisi ilmu.
Sinau Bareng bertema Sinau Ridla itu juga dimaksudkan sebagai Ruwat Desa Perning. Dalam rangkaian terdekat sebelumnya dalam perjalanan Mbah Nun dan KiaiKanjeng, maka Sinau Bareng di Desa Perning ini adalah Ruwat Desa ketiga sesudah yang di Tambak Oso Waru Sidoarjo (25/08/22) dan Sima Moga Pemalang (28/08/22). Dalam Sinau Bareng di Lapangan Desa Perning ini, Mbah Nun melengkapi pemahaman mengenai Ruwat Desa.
Seperti telah disampaikan dalam dua Sinau Bareng sebelumnya, Ruwat lebih mendalam dari dari Rawat, karena dua hal yang berlangsung di dalamnya yaitu rasa syukur dan buang sial. Bersyukur adalah ajaran Islam. Buang sial dipahami sebagai kesadaran bahwa diri ini belum bersih, masih memiliki kekotoran dalam jiwa, sehingga perlu dibersihkan, dan ini adalah juga ajaran Islam.
Karena itulah, kemudian Mbah Nun bertanya kepada teman-teman semua jamaah Sinau Bareng di Lapangan Desa Perning, “Syukur itu wajib nggak?” “Wajiiiib,” jawab jamaah. Mbah Nun kemudian menegaskan bahwa secara hakiki syukur itu wajib. Di sini kemudian beliau memetakan lebih jelas lagi dalam terminologi hukum Islam. Beliau membayangkan bahwa Ruwat Desa itu fardlu kifayah. Bagaimana bisa? Karena, sejatinya Ruwat tidak hanya perlu dilakukan oleh Desa, melainkan juga oleh negara. Tetapi, selama ini belum atau tidak ada ruwat negara, padahal bersyukur dan reresik sebagai inti ruwatan adalah wajib bagi siapapun saja. Dalam struktur politik, maka tidak hanya desa tetapi juga kabupaten dan negara. Maka, Mbah Nun berharap mudah-mudahan ruwatan-ruwatan desa ini menjadi kemuliaan karena menggugurkan kewajiban negoro dan sak negoro. Persis seperti fardlu kifayah. Kewajiban yang mengenai semua anggota masyarakat, tetapi akan gugur atau terpenuhi manakala sudah ada beberapa orang yang melakukannya.
“Tiga Ruwatan Desa ini mugo-mugo dikabulkan Allah dan membuat dosa-dosa diampuni-Nya, dengan cakupan sak negoro, sebab mustahil juga ono ruwat negoro seko Istana,” kata Mbah Nun. Melengkapi penjelasan tersebut, Mbah Nun mengatakan bahwa ada kewajiban yang bersifat syar’i dari Allah (dalam bentuk rukun Islam/ibadah mahdhoh) dan ada kewajiban yang lahir dari kesadaran dan hati masing-masing manusia meskipun secara hakiki perintahnya juga sudah diserukan seperti perintah bersyukur dan membersihkan diri, tetapi bentuk dan caranya bisa diungkapkan dengan banyak cara, di antaranya dengan ruwat desa.
Para jamaah yang hadir di Lapangan Perning menyimak dengan baik paparan Mbah Nun yang ternyata juga sekaligus mengingatkan kita bahwa selama ini bila disebut ‘perintah Allah’ ingatan kita lebih tertuju kepada ibadah mahdhoh. Sementara perintah-perintah lain seperti bersyukur dan membersihkan diri (tazkiyatun nafs) kurang kita masukkan dalam peta perintah tersebut. Padahal, bila merujuk pada kesadaran orang-orang Saleh, kelak hisab Allah juga akan meliputi berapa banyak anugerah Allah yang belum kita syukuri, juga berapa banyak dosa yang belum kita istighfari dan kita taubati.
Demikianlah paparan Mbah Nun mengenai ruwat desa di atas membawa kita belajar berkeluasan sikap dan pandangan serta senantiasa memiliki pemaknaan yang positif dalam memahami tradisi baik yang ada di dalam masyarakat seperti ruwat desa, sesudah dengan memakai kesadaran akan perintah-perintah hakiki lainnya dari ajaran atau perintah Allah seperti bersyukur dan membersihkan diri, kini dengan menggunakan konsep dan terminologi hukum Islam dalam hal ini fardlu kifayah. Satu konsep hukum Islam yang agaknya jarang kita pakai untuk memahami muamalah dan tradisi baik di dalam masyarakat dalam konteks yang lebih luas. (caknun.com)