CakNun.com

Empan Papan Ekologis

Hanif Kurniawan
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Kostiantyn Li on Unsplash

Ungkapan empan papan yang berarti menempatkan segala sesuatu pada tempat dan proporsinya sering disebut dan ditekankan oleh Mbah Nun dalam berbagai kesempatan. Penekanan beliau tentang empan papan sebagai salah satu prinsip dalam kita membawa diri dan memperlakukan segala sesuatu ini membuat saya ingin mentadabburinya lebih jauh sesuai dengan background aktivitas saya.

Sejauh ini makna empan papan ini lebih terbatas pada perilaku manusia terkait dengan ruang waktu budaya masyarakat tertentu. Maka, dalam khasanah kebudayaan Indonesia dikenal peribahasa “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Semua harus sesuai dalam konteks ruang dan waktu budaya manusia di situ.

Bila direnungkan lebih dalam, empan papan ini juga sangat terkait dengan sunnatullah bekerjanya alam atau juga sering di dunia lingkungan dan biologi disebut sebagai sistem ekologi di mana setiap aspek bekerjanya alam dan isinya saling terkait berharmoni satu dengan yang lainnya.

Sebagai contoh adalah ekologi sungai dengan aspek biotiknya yakni segala makhluk yang mendiami sungai dari ikan, arthropoda, aves, mammal, mikroba, reptil, insecta hingga tumbuhan riparian. Saling ketergantungan dan harmoni di antara aspek biotik ini akan sangat terlihat dan begitu pula aspek abiotik seperti tanah batuan air udara berikut zat-zat lainnya yang berada di ekosistem sungai tersebut.

Ekologi asli ini dengan sendirinya bekerja berharmoni secara sunnatullah. Bahkan kehidupan mistik makhluk astral turut mendukung keharmonisan kelestarian ekosistem sungai ini.

Namun, dengan kehadiran spesies asing “invasif” bernama manusia, keharmonisan ekosistem sungai ini menjadi bermasalah. Bahkan ulah manusia bisa justru memusnahkan spesies asli di lingkungan sungai tersebut. Karena tak jarang yang terjadi ketika manusia datang adalah perusakan atau pencemaran lingkungan.

Apalagi manusia terkadang merasa sok pintar dan awur-awuran dalam perilakunya dan kurang empan papan. Di sinilah kita merasakan perlunya meluaskan pemahaman dan penerapan “empan papan” tak hanya pada relung budaya saja tetapi hingga pada soal lingkungan atau ekologi sehingga akhlak atas alam sama sekali tidak terabaikan.

Sebagai contoh, soal pencemaran atau perusakan lingkungan secara umum hanya dimaknai masuknya zat berbahaya dan sampah di lingkungan sungai atau perusakan lingkungan dengan penggusuran aliran sungai yang disulap jadi hunian atau pabrik. Secara umum dipahami ini jelas sebagai perusakan lingkungan sungai.

Padahal di sisi lain banyak kegiatan berbungkus pencitraan pelestarian yang boleh jadi justru mengandung pencemaran dan perusakan. Yang marak terjadi misalnya adalah pelepasliaran ikan yang bukan native di ekosistem/habitat tersebut secara asal-asalan. Bisa di-googling berapa ribu ikan nila, lele dumbo, bawal, ikan mas ataupun ikan-ikan hias yang bukan asli penghuni di ekosistem tersebut yang dimasukkan ke perairan liar kita yang bahkan dilakukan oleh pemerintah, politisi, masyarakat umum hingga tukang mancing dengan pencitraan atas nama pelestarian.

Dengan masuknya ikan tersebut berapa ribu ikan asli yang tergusur tempatnya, kalah bersaing soal pakannya atau malah menjadi santapan ikan-ikan pendatang itu hingga punahnya berbagai ikan endemik di suatu wilayah. Bisa dicek googling kasus-kasus serupa ini seperti bagaimana ikan mas menginvasi di danau mana atau bagaimana ikan sapu-sapu yang penduduk asli Amerika itu sekarang menjadi menyebalkan memenuhi kali-kali atau sungai-sungai kita.

Semua itu terjadi akibat kedunguan dan ketidakpahaman akan empan papan ekologis. Dalam hal empan papan ekologis ini, kita manusia yang mendapatkan mandat sebagai khalifah-Nya di jagat raya ini masih perlu terus belajar. Berkali-kali kita diingatkan “Ojo ngomong bodo yo ben, golek ngelmu kudu telaten” dan itu adalah kunci khalifah di bumi untuk benar-benar bisa mengkhalifahi (alam dan lingkungan ini). Dengan prinsip empan papan, manusia semestinya bisa menempatkan spesies-spesies pada habitat ekologis masing-masing, tidak merusak ekologi mereka, dan tidak mempredasi.

Lainnya

Bahasa Garis Pak Eko Tunas

Bahasa Garis Pak Eko Tunas

Di galeri Sewusiji, Jl. Gatot Subroto Debong Kulon Tegal, pada tanggal 5-14 Maret 2022 akan digelar pameran tunggal lukisan Eko Tunas.

Muhajir Arrosyid
Muhajir A.
Exit mobile version