Domino
Sebenarnya belum puas kami bermain domino — apa yang lebih nikmat dari permainan domino di dunia ini? — tapi toh ini sudah cukup larut. Hampir pukul dua pagi, dan nanti pukul 7.30 sudah mesti siap bertugas. Maklumlah saya ini seorang lelaki dengan sederet angka NIP.
Meninggalkan rumah Nano, saya ngloyor jalan kaki. Domo dan Topo tidur di rumah Nano. “Kami akan lihat berapa jauh kau berani mbolos!” kata Topo waktu melepas kami di pintu.
Terasa, begitu meninggalkan mereka, begini letih tubuh saya. Kalau ketemu kawan lama seperti mereka, tak mungkin saya elakkan begadang malam, seperti pekerjaan utama kami dulu di Yogya ini. Padahal sepanjang hari saya mesti kerja keras. Saya telah menempuh hidup baru di Jakarta: disiplin yang ketat, irama yang rapi. Mendapat tugas dua minggu di Yogya, irama saya jadi terbelah. Tapi kenapa mengeluh? Hidup bisa begini asyik!
Jalan sudah sepi. Tapi Yogya tak pernah mati. Di malam hari ia justru menyatakan kehidupannya yang asli. Warung-warung di setiap pojok jalan dan suara kung para dalang, gamelan yang bagaikan mengaji, serta vokal sinden yang menggugah sukma. Ah, kenapa mesti pulang ke kamar dan tidur?
“NIP, bung, NIP.”
“Ya. NIP. Saya wajib pulang.”
Pukul 02.10 sampai di hotel. Tapi pintu gerbang di depan sudah digembok. Celaka. Mana penjaga. Di ujung pagar sebelah kiri, ada tempat kecil yang biasanya dipakai untuk tidur penjaga malam, ternyata kosong. Tapi saya dengar ada keriuhan kecil di sana, di sebelah sayap kanan hotel.
Saya coba melongok. Nampak seseorang. Bajinguk. Mereka bermain domino pula rupanya.
Jeruji besi pintu saya ketuk dengan jari. Tapi tak ada reaksi dari dalam. Saya ketuk dengan kuku. Tak ada juga sahutan. Dengan cincin, sehingga berbunyi lebih keras. Lelaki itu menoleh, tapi lantas kembali asyik dengan dominonya. Bagaimana itu orang? Saya ulang ketukan cincin. Menoleh lagi, dan acuh lagi. Cincin lebih keras lagi. Ia malah meneruskan saja membanting kartu dominonya. “O, baik- lah.”
Saya ambil batu kecil. Saya pukul-pukulkan di jeruji pintu. Saya tidak menuduh lelaki gemuk itu kepalanya rata tanpa telinga, tapi gemerincing batu besi saya itu benar-benar lewat saja melintasi botaknya. Saya ulang lagi, dan ulang lagi, tapi agaknya memang ada yang tak waras dengan lelaki itu.
Tengik betul. Saya tidak menuntut dia supaya tahu bahwa saya ini sangat letih, harus tidur, karena sebentar lagi pagi dan saya mesti fresh kerja, sehingga sepatutnya dia sedikit berkorban entah dengan memanggilkan penjaga atau mengangkat pantatnya dari kursi dan beranjak membukakan pintu ini!
Tapi rupanya dia itu sebongkah batu. Mestinya dia yang saya ambil dan saya pukul-pukulkan di pintu. Oke. Agaknya ia menyangka saya ini banci yang bisa dia abaikan begitu saja.
Gembok saya pegang, saya pukul-pukulkan ke besi sekitarnya. Beberapa kali. Tak juga ada reaksi. Pintu saya pegang erat-erat dengan kedua tangan saya, saya guncang-guncang hingga berbunyi riuh-rendah seperti mau ambrol.
Tak juga ada reaksi.
“Laknat! Dia tadi kan sudah melihat saya!”
“Hei Bung!” saya teriak keras.
Tetap juga. Saya ulang dan saya ulang, tetap juga, lebih keras dan lebih keras lagi, tetap juga.
“Bajingan bajingan bajingan bajingaaaan!”
Saya terengah-engah.
Namun, lihat, ternyata saya mewarisi Aji Gelap Ngampar yang dulu mungkin ditemukan oleh Batara Kala. Terdengar seseorang berlari-lari. Ternyata penjaga. Dengan tergopoh-gopoh dan masih setengah tidur ia membukakan pintu.
”Wah, nyuwun ngapunten, Mas.”
Saya melesat masuk sebelum pintu sempurna dibuka. Saya copot jaket. Ini lebih meletihkan dibanding mengerjakan proyek pembikinan jalan Anyer-Panarukan. Saya berjalan seperti Werkudoro, tubuh saya rasanya sudah memuai sebesar Kresna waktu marah di Kerajaan Astina, saya hentak-hentakkan sepatu keras saya bagaikan Ontorejo hendak memanggil pasukan ular. Terserah orang seluruh hotel akan terbangun mendadak dari tidurnya. Ketika melewati tangga kayu, suara langkah saya benar-benar seperti tanda hendak dimulai perang Bharata Yudha. Saya buka pintu kamar saya dengan kasar persis perampok, kemudian saya hempaskan tubuh saya di kasur seperti orang kalah judi atau kehilangan gun- dik. Saya termangu-mangu. Menatap langit-langit yang kira-kira diam-diam menertawakan keadaan saya.
O ya! Kenapa saya tak marah dan mendatangi lelaki botak itu? Kenapa saya begitu “betina” dan membiarkan ini semua lewat begitu saja? Saya bangkit.
Gempa bumi terjadi lagi. Saya berjalan keluar dengan cara yang lebih buruk dari jin. Kursi saya seret dengan kasar dan langsung saya letakkan mepet di sisi kursi lelaki iblis itu. Sambil melirik mukanya, saya duduk menjatuhkan pantat saya keras-keras. Kaki saya metingkrang sehingga sepatu saya menjorok ke pahanya. Beberapa saat kemudian saya sadari kemungkinan kalau kursi ini tadi jebol, saya pasti menjadi bahan tertawaan. Tapi persetan. Ini lelaki! Silakan menertawakan seorang lelaki!
Si Botak itu meneruskan dominonya dengan ketiga kawannya, tanpa “secuil” pun terganggu oleh kehadiran saya. Wajah lelaki busuk itu bahkan tak menunjukkan sedikit pun gejala bahwa ia merasa ada seseorang duduk di samping. Seseorang yang dengan sengaja bersikap kasar kepadanya.
Pikiran dan perasaan tak karuan di mana hinggapnya. Pokoknya tiba-tiba saja saya ubah duduk saya dengan jongkok di atas kursi. Tetapi dajjal ini tetap pada sikapnya. Coba, jelas ini suatu penghinaan, kan?
Saya ambil sebatang rokok. Saya nyalakan satu pentol korek api. Demikian kisruh sehingga hampir saja membakar kumis saya sendiri. Tapi saya tak mau direndahkan, apalagi oleh sebatang korek api. Saya lempar pentol itu tepat di depan iblis itu.
Dan ia, gendruwo druhun peri prayangan itu, tetap tak memberi kesan apa-apa.
Saya muntap! Saya banting rokok yang baru dua kali saya isap itu tepat di depan kaki si gendruwo. Kemudian saya turun dari kursi, saya cecek rokok itu dengan sebelah sepatu saya, sambil kemudian saya terus lewati depannya dan berlalu. Perang tak bisa dielakkan! pikir saya. Saya melangkah sambil sudah mengepalkan tangan. Tapi sampai saya melangkah beberapa lama, sampai saya kembali naik tangga, bahkan saya tiba kembali di kamar saya, tetap tak ada gejala apa-apa. Saya dengar mereka tetap sibuk dengan kartu dominonya.
Saya menarik nafas panjang dan kembali saya hempaskan tubuh saya di kasur.
Coba, siapa yang bisa merumuskan perasaan saya? Siapa yang berani membayangkan bahwa saya akan bisa tidur? Sebenarnya ingin saya rampas berhalaman-halaman ketik untuk melukiskan gelombang gondok saya, serta bagaimana saya mengisi dan melewati detik-detik sampai pagi bangkit. Tapi itu sengaja saya rahasiakan. Saya bukan murid perguruan Shaolin yang bisa membikin dajjal beserta tiga kawannya itu pingsan hanya dengan menggerakkan jari kelingking. Saya juga bukan santri pesantren Tebuireng yang bisa berada di dua tempat sekaligus. Atau murid kinasih Kiai Bledeg yang bisa berak di WC tapi menaruh baunya terpusat di lubang hidung si botak bangsat itu. Musa juga terlalu jauh di zaman purba, sehingga tak bisa kupinjam tongkatnya untuk saya lemparkan jadi ular dan mencaplok barang si iblis itu supaya impoten.
Diam dan meniadakan, itu juga senjata paling kuat yang sering saya pakai. Dalam domino saya pun sering bernasib baik dengan bermain kartu kosong. Tapi malam ini Kiai Setan Kober berkeliling ronda dan menangkap saya: senjata menusuk tuannya. Singkat kata saja: saya menjadi cacing kepanasan di pagi yang udaranya membekukan darah.
Tapi saksikan! Pukul 7.00 saya keluar kamar, sehabis cuci muka. Saya berkeliaran di lobby dengan mripat maling. Ternyata Tuhan memihak kepentingan saya. Dikabulkannya keinginan untuk menjumpai laki-laki gila itu. Ia keluar kamar, menenteng koper dan tas, bersama istri dan dua anaknya.
“Hei Bung!”sapa saya setengah membentak.
“O, hallo Dik,” jawabnya dingin.
“Mobil sudah siap Pak!” tiba-tiba sebuah suara nyelonong. Dua orang petugas hotel menghampiri mereka dan langsung meraih koper dan tas untuk dibawa ke mobil.
“Maaf Dik, saya tergesa-gesa. Flight saya setengah jam lagi. Sampai ketemu kapan-kapan,” kata gendruwo itu, sambil berlalu dengan istri dan anak- anaknya.
Saya melotot. Apakah wajah saya tak cukup seram?