Doa Lokal
Tatkala berkeliling menemui berbagai jemaah kaum Muslim di sebuah pulau, panitia yang membawa Kiai Sudrun mengajukan permintaan yang sebenarnya wajar, tapi tidak lazim.
Yakni agar Sudrun memimpin doa khushushan, suatu doa yang temanya lokal-kontekstual, di setiap tempat yang disinggahi. Tak hanya pada akhir pertemuan dengan setiap jemaah, tapi juga beberapa kali rombongan panitia menghentikan kendaraan di tempat-tempat tertentu dan meminta–sambil berdiri bersama — Sudrun untuk memimpin doa yang menyangkut permasalahan tempat tersebut.
Dengan demikian, Sudrun dituntut untuk sejauh mungkin mengetahui persoalan jemaah-jemaah di setiap tempat. Mungkin menyangkut lingkungan alam, kemiskinan ekonomi, antisipasi terhadap modernisasi, atau penyakit-penyakit jiwa manusiawi yang rutin.
Tentu saja seandainya Sudrun ucapkan doa-doa ajaran para Nabi, akan kontekstual juga, sebab ada tingkat universal dari permasalahan segala manusia, segala komunitas, kebudayaan, dan peradaban pada zaman kapan pun. Atau, ambil saja misalnya doa sapu jagat, “Rabbanna aatinaa fiddunya hasanah…,” maka persoalan apa pun di mana pun dan kapan pun akan tercakup.
Akan tetapi, orang-orang aneh di pulau ini meminta suatu “kelegaan” tersendiri. Boleh ada prolog dan epilog dia berbahasa Arab, yang diambilkan dari tradisi baku, tapi inti rangkaian doa itu dimintakan berbahasa Indonesia dan langsung menyebut realitas persoalan-persoalannya secara polos dan eksplisit.
Untunglah dulu pada masa kecilnya, Sudrun hidup di sebuah komunitas dusun yang juga lugu. Jika selesai berjemaah Maghrib, ketika para remaja dan kanak-kanak bareng mengaji di dalam masjid, “kaum veteran” bersarasehan di beranda.
“Tadi minta apa kepada Pangeran?” Mereka saling berwawancara. “Pangeran” itu sebutan mereka untuk Tuhan.
“Saya minta mbok ya masa tanam padi tahun ini ndak usah pakai wereng segala,” jawab seseorang.
“Kalau saya mengeluh kenapa sekarang untuk urusan irigasi harus nyogok,” kata yang lain.
“Lurah kita itu lho,” sahut lainnya lagi, “mbok ya memimpin gitu, lho. Masa sibuk menghabiskan uang pajak dan kawin melulu…!”
Alhasil, doa-doa mereka sangat bersahaja, dan konkret, mencakup persoalan yang autentik. Permintaan mereka juga tidak banyak. Sekadarnya saja.
Dengan referensi itu, Kiai Sudrun jadi lumayan “lincah” tatkala berimprovisasi doa di berbagai tempat di pulau tersebut. Disebutnya penderitaan beratus petani garam, masuknya bioskop dan budaya maksiat, terpeliharanya lingkungan alam dan manusia di tempat itu–dengan detail-detail sejauh yang Sudrun ketahui.
Kalimat-kalimat Sudrun sering tersendat, terkadang mandek, sebab sambil berpikir dan mengingat-ingat. Namun, itu autentik. Sungguh-sungguh doa dari realitas. Bukan sekadar doa yang sudah dihafal dan bisa diucapkan kapan saja, dengan kesadaran pikiran atau tidak, dengan kehangatan hati nurani atau tidak.
Yang polos terutama adalah cara orang-orang itu mengamini kalimat-kalimat Sudrun. Kalau tiba pada kalimat yang amat menyentuh problem serius mereka, terdengar “Amin! Amin! Amin!” keras-keras dan berulang-ulang tak menentu. Jadi, bukan model “Amin” ritmis rutin konvensional seperti tradisi yang biasanya terdengar.
Tulisan tergabung dalam Emha Ainun Nadjib, Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai, republish oleh Bentang Pustaka, 2015, hal. 231-233