Diperlukan Penerapan Penyembuhan Penyakit Bangsa
Maqosidullah dalam ayat-ayat Al-Qur’an muncul dalam sandi atau password Asmaul Husna di tengah ayat atau di akhir ayat. Ilmu ini kami temukan waktu diskusi intensif tentang muamalah bersama teman-teman Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin.
Jadi, dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an ada tahap (1) menerjemahkan (2) memaknakan (3) mentadabburri (4) menafsirkan (5) menggali maqosidul ayat dan maqosidullah dari ayat-ayat Al-Qur’an. Kalau perlu, dalam melakukan ikhtiar intelektual dan spiritual ini kita paralelkan antara ayat qauliyah dengan ayat kauniyah yang di dalamnya ada sandi makna sunatullah yang menjadi basis ilmu pengetahuan empiris manusia.
Dengan demikian, ayat-ayat suci Al-Qur’an sesungguhnya hidup dalam kesadaran manusia dan dalam peta peradaban manusia. Ayat-ayat tersebut menjadi fungsional dalam kehidupan sehari-hari manusia. Ayat-ayat tersebut diciptakan oleh Allah Swt sebagai sesuatu yang tidak sia-sia, tetapi memang selalu fungsional jika manusia bersedia dan terbuka serta bersemangat untuk melakukan ikhtiar-ikhtiar fungsionalisasinya.
Khasanah kebudayaan Jawa menyebutkan ayat-ayat suci Al-Qur’an sebagai jagad kang gumulung dan alam semesta sebagai jagad kang gumelar dan antara keduanya ada paralelitas tertentu, ada keterhubungan, kompatibilitas, dan aksesibilitas makna dan realitasnya. Ini yang membuat kebudayaan Islam Jawa pada zaman Demak, Pajang, dan Mataram Islam bisa berkembang, mengalami pengkayaan nilai dan memiliki daya terobos ke mada depan sebagai kunci untuk memahami dan memecahkan masalah, sebelum kebudayaan Jawa Islam ini dilemahkan, lalu dibungkam oleh para penjajah Eropa.
Penjajah dari Asia, Jepang, lebih menghargai kebudayaan Jawa dan Islam, termasuk dalam semangat juangnya yang tersimpan dalam perguruan beladiri pencak silat arena. Jepang memerlukan itu untuk mendukung perang mereka dengan Sekutu atau bangsa Eropa dan komplotannya. Berkali-kali jagoan Jepang keok, kalah, dan terbanting dalam pertarungan fair dengan para pendekar Jawa, Betawi, dan lainnya, dan jagoan Jepang serta komandan Jepang justru menghargai sikap ksatria dan kapasitas beladiri pencak silat yang di atas kapasitas beladiri Jepang.
Hal-hal semacam inilah yang membuat Jepang kemudian terpaksa harus kompromi dan menerima kenyataan ketika para ulama-ilama Jawa dan Indonesia menolak perintah balatentara Jepang untuk setiap pagi melakukan ritual sikerei atau rukuk ke arah negara Jepang sebagai bentuk penyembahan kepada kaisar yang mereka pahami sebagai wakil Dewa matahari. Para jenderal Jepang sadar ini sudah pada masalah garis baras ultimate value yang tidak bisa dilanggar.
Garis batas tauhid bagi ulama dan umat Islam Indonesia tidak tergoyahkan. Sikap nyawiji dalam arti bertauhid dan mentauhid, greget dalam arti menjaga ghirah dalam memperjuangkan nilai-nilai, sungguh dalam arti kesediaannya untuk terus-menerus bertawakal dan ora mingkun dalam arti selalu istiqamah merupakan perpaduan nilai budaya Jawa dan Islam yang teranyam dengan baik dalam warisan budaya Mataram Islam di Kasultanan Yogyakarta misalnya.
Dan kesadaran akan adanya sandi bahasa atau kode bahasa atau password yang mewujud antara lain dalam Asmaul Husna ini bersama banyaknya sandi historis atau narasi kisah-kisah kemanusiaan yang terangkum dalam perjuangan para Nabi dan Rasul Ulul ‘Azmi bersama nabi dan Rasul lainnya, yang membuat ayat-ayat suci Al-Qur’an berfungsi sebagai sumber inspirasi, sumber aspirasi, dan mengandung kemungkinan aplikasi-aplikasi teknis dan strategis dan aplikasi spiritual tertentu.
Kemudian, dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman mutakhir dikenal adanya pendekatan burhani (identifikasi), bayani (klarifikasi), dan irfani (konfirmasi) antara kehidupan sehari-hari dengan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ketiga pendekatan itu dalam keutuhannya dapat berfungsi sebagai instrumen untuk melakukan fungsionalisasi-fungsionalisasi ayat-ayat Al-Qur’an secara terus-menerus. Sebuah gerakan pemahaman, pemikiran, dan perumusan tindakan teknis, taktis, stategis dan tindakan spiritual dapat dilakukan menjadi sesuatu yang permaenen dan berkedinambungan. Ijtihad demi isjtihad menjadi payung pemikiran, menjadi kebun pemahaman dan menjadi ladang subur bagi lahirnya alternatif solusi yang dirumuskan menjadi tindakan nyata. Menjadi sesuatu yang normatif, historis, dan empiris sekaligus, dalam sebuah kesatuan tindakan dan pengalaman beragama, di hari ini dan di masa depan.
Al-Qur’an sendiri menjelaskan bahwa kehadirannya adalah sebuah petunjuk (hudan), sebagai penjelas (bayyinah), sebagai pembeda (furqon) dan sebagai penyembuh (syifa’). Ini merupakan hal-hal yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Al haqqu mirrobbkka fala takunanna minal mumtariin, kebenaran ini berasal dari Tuhanmu dan jangan sekali-kali kalian termasuk golongan yang meragukannya. Buktinya penerapan atau aplikasi syifa’ ini telah banyak diteliti dan tertemukan kebenaran-kebenarannya.
Kalau bangsa kita sekarang banyak didefinisikan sedang dalam kondisi sakit maka cukuplah ayat-ayat suci Al Qur’an bisa menjadi penyembuhnya. Inilah yang perlu kita ikhtiari kunci-kuncinya dan penerapan-penerapan atau aplikasinya. Matur nuwun, mekaten.