CakNun.com

Di Belakangku

Dimuat di Majalah Sastra Horison No. 11 tahun 1979
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 7 menit

Bapak Guruku yang ini lain. Mendengar pertanyaanku yang gencar itu, ia tersenyum.

— Begini Anakku — katanya.

Majalah Sastra Horison No. 11 Th. 1979
Majalah Sastra Horison No. 11 Th. 1979

Perasaanku menggelegak dan pikiranku membatu.

Kita memang harus menyebut Tuhan dengan kata-kata, karena untuk ber— omong—omong tentang Tuban antara kita, kita harus memakai kata-kata—

— Tetapi itu tidak benar Pak, sebab Tuhan yang sesungguhnya tidak seperti yang kita sebut itu! — bantahku.

— Inilah keterbatasan kita sebagai manusia. Dan keterbatasan itu harus kita akui sebagai kenyataan yang memang selalu menempel pada kita. Segala sebutan tentang Tuhan itu sekedar untuk membahasakannya, sedang Tuhan yang sesungguhnya di luar itu —

— Apakah itu tidak menjebak kita? —

— Ya. Ia mungkin menjebak pikiran kita, karena pikiran manusia sangat nisbi dan terbatas. Tetapi iman kita tidak akan dijebaknya. —

— Tetapi bagaimana iman bisa dibangun tanpa kemantapan pikiran? —

— Iman berada jauh di atas onggokan pikiran, anakku —

— Tetapi apa yang kita imani harus konkrit Pak! —

— Benar. Dan pikiran kita tidak mampu menggenggam sesuatu yang paling konkrit, yakni Tuhan itu sendiri. —

Aku terdiam.

Tapi jauh dari puas. Yang paling tak dipuaskan oleh pikiranku ialah kecenderungan menggampangkan Tuhan yang kurasakan dari kalimat-kalimat itu. Pantas sekarang ini banyak orang pengin/jadi malaikat dan sangat gampang membikin aturan-aturan dan hukum-hukum seolah olah mulutnya adalah adalah mulut Tuhan. Persoalannya bukan karena aku malas mentaati aturan-aturan itu, melainkan terus terang pikiranku sesungguhnya menginginkan kalau memang Tuhan tak bisa di genggam, ya tak usah berTuhan saja. Percuma Tuhan kita kobar-kobarkan dalam kotak pengertian yang kita bikin sendiri, kita pakai sebagai karcis untuk membeli penipuan-penipuan dan pengkhianatan. Bagi pikiran Tuhan harus tertangkap sebagai sesuatu yang nyata.

Jadi kebingunganku itu akhirnya memuncak ketika ada Guru lain yang berfilsafat bahwa Tuhan itu berada di mana-mana, sekaligus tak berada di mana-mana. Ini jelas lawakan konyol untuk pikiran yang sehat. Jadi Tuhan duduk di atas kursi sekaligus tidak duduk di atas kursi. Apakah Tuhan juga direbus bersama tiga butir telor di dalam tungku di atas kompor, sekaligus ia juga nangkring di atas ranting pohon. Aku naik pitam. Tiba-tiba kugebrak meja di depanku. — Jadi sebenarnya Tuhan itu di mana? —

— Tidak di mana-mana — jawab Guruku.

— Tidak di mana-mana bagaimana ! —

— Katanya di mana-mana! —

— Ya, memang di mana-mana —

— Juga di sini ? Di kolong bangku ini? —

— Guruku sekarang tegang. Kawan-kawanku ada yang berdiri.

— Ya, Ia berada di mana saja —

— Juga dijepitan kakiku ini? —

— Anakku ! Kau telah tidak berlaku sopan kepada Yang Melahirkan dan Menguasaimu —

— Tuhan tidak butuh basa—basi seperti kekonyolan kita ! —

Ternyata aku berteriak keras. Di pintu kelas muncul kawan-kawan dari kelas lain. Sebentar kemudian sekeliling menjadi penuh penonton. Suasana ini mengembangkan perasaanku. Aku menggelegak. Aku merasa akan berperang tanding melawan ribuan prajurit.

— Anakku, kepada manusia sajapun kita mesti sopan, apalagi kepada Tuhan —

— Justru karena Tuhan tidak dungu macam kita maka ia tak terpengaruh apakah kita sopan atau tidak ! —

— Sadarkah —

— Aku sadar sesadar-sadarnya. Karenanya dengan bulatnya kesadaran itu akuningin jawaban di mana Tuhan sebenarnya ! —

— Kita tidak punya kekuatan mengetahui di mana Tuhan berada, Nak —

— Jadi kenapa Pak Guru bilang Tuhan ada di mana-mana atau tak berada di mana—mana ! —

— Itu batas yang bisa kita capai untuk menyebutkanNya —

— Itu namanya sok tahu! Aku tidak ingin sok tahu! Aku ingin sungguh—sungguh tahu di mana Tuhan sebenarnya —

Sekarang pandangan mata mereka jadi aneh. Sorot mata mereka memancarkan keasingan ke arahku. Mereka anggap aku ini apa dan siapa? Kau ? Kau! Kau? Kau dan kau? Kalian seperti tak kenal lagi padaku? Aku memangnya berubah jadi apa? Apa kalian merasa begitu bodohnya aku sehingga tak mampu memahami jalan pikiran kalian? Apa kalian melihat Tuban demikian jelasnya sehingga kalian merasa tenang dan tenteram? Apa kalian sangka Tuhan begitu gampang diurus didekati seperti cara kalian memperlakukannya? Tuhan sebenarnya sesuatu yang nyata. Cuma kita belum mampu untuk memegangnya. Maka kita harus terus mencarinya dan terus mencarinya sampai tergenggam! Dan kalian telah mandeg ! Menyerahkan diri kepada pengertian pikiran yang begitu sempit ! Atau kalian telah tidak kuat lagi ? Tidak kuat lagi ? Ahaaaai !!! Aku tahu. Aku tahu. Kalian telah tidak kuat lagi. Kepala kalian telah terbentur tembok ! Dan kalian menjadi gila karenanya ! Menjadi gila ! Gilaaaaa ! — !

Di Belakangku karya Emha Ainun Nadjib, Majalah Sastra Horison No. 11 Th. 1979
Di Belakangku karya Emha Ainun Nadjib, Majalah Sastra Horison No. 11 Th. 1979

Mungkin aku telah melakukan sesuatu yang tak kumengerti sendiri. Tiba-tiba aku dipegangi beramai-ramai. Aku dituntun dibawa ke kantor Guru. Mata-mata mereka yang menatapku sungguh sorot cahaya orang gila. Tetapi aku merasa begini letih. Sampai di kantor aku terhempas di kursi. Aku memejamkan mata. Tak tidur, tapi pikiranku kosong, perasaanku kosong, segala-segala kosong.

Pada kekosongan inilah seseorang itu lewat dan mengatakan bahwa Tuhan sesungguhnya berada dibelakangku.

Aku menoleh. Tidak ada siapa-siapa.

— Apakah Tuhan tidak kelihatan oleh mata ? — tanyaku.

— Bukan begitu — jawabnya.

— Tapi kulihat ia tak ada ? —

— Kau harus melihat ke belakang karena ia ada di belakangmu —

Aku menoleh lagi ke belakang.

— Itu bukan melihat ke belakang —

— Sana kan depan? — kataku sambil menunjuk ke arah depan tubuhku jadi sini belakang —

— Bukan. Sana itu timur dan sini barat —

— Persetan! Tapi aku kan menoleh ke belakang? —

— Mana mungkin. Setiap kali kau hadapkan matamu ke sesuatu arah, maka arah itu tentu depan. Nah, Tuhan, berada di arah yang berlawanan itu dengan itu. —

Aku terhenyak. Aku diam beberapa lama. Aku merasakan. Dan akhirnya aku tertawa keras sekali, terbahak-bahak dan berkepanjangan. Bapak-Bapak Guru dan beberapa kawan memegangiku dengan sorot mata mereka yang tetap gila. Tapi mana aku mau perduli. Aku meloncat. Berlari keluar sambil terus terbahak-bahak. ***

yk, 79.—

Lainnya

Jimat

Jimat

Di dalam hidup sehari-hari, jimatku ialah kesetiaan dan ketahanan serta kemampuan menjaga diri. Jadi jimatku tidak kucari umpamanya di gunung Kawi, melainkan kubangun sendiri perlahan-lahan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Stempel

Stempel
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Mario

Mario
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Podium

Podium
Exit mobile version