CakNun.com

Dari Mojogebang untuk Indonesia, Sinau Sastrojendro Hayuningrat Pangruwating Diyu

Sinau Bareng Ruwat Desa Mojogebang Kemlagi Mojokerto, Lapangan Kampung Wisata Gunung Desa Mojogebang, Minggu, 25 September 2022
Helmi Mustofa
Waktu baca ± 4 menit

Desa Mojogebang Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto sedang membangun Kampung Wisata Gunung Sawah. Pembangunan ini dimaksudkan untuk memajukan perekonomian dan kesejahteraan warga desa. Sarana publik lain yang sudah 80 persen digarap adalah pendopo kelurahan dan masih terus dikerjakan. Salah satu potensi besar di Mojogebang adalah banyak warga berprofesi sebagai pengrajin bambu, kursi, lincak, mbayang, gazebo, dan rumah bambu. Pemasaran produk-produk ini masih merupakan tantangan yang harus dijawab.

Foto: Adin (Dok. Progress)

Seraya melakukan langkah-langkah ke masa depan bagi kemajuan Desa Mojogebang, Lurah Mojogebang, Mas Haikal, beserta masyarakat desa tidak lupa akan masa lalu. Lurah Haikal sangat menekankan pentingnya mengingat para leluhur yang telah mbabat alas Desa Mojogebang dan berterima kasih serta bersyukur atas jasa-jasa leluhur tersebut. Selain itu, ia merasa pembangunan tidak akan terlaksana bila tidak diiringi dengan doa dan niat yang baik. Tradisi Ruwat Desa tetap harus dijalankan. Untuk itulah, dalam rangka Ruwat Desa atau Sedekah Desa, pemerintah Desa Mojogebang pada Minggu malam (25/09) menggelar Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng.

Tentu tidak sekali ini saja Mbah Nun dan KiaiKanjeng diminta membersamai masyarakat untuk hajat Ruwat Desa. Karenanya, malam itu para jamaah diajak mengingat kembali apa saja inti-inti ruwat Desa. Melakukan kebaikan, bersyukur (atas anugerah Allah), reresik (membersihkan diri dari perilaku buruk), dan tolak bala (berdoa memohon dijauhkan dari marabahaya atau bencana). Dari awal hingga akhir, Sinau Bareng di Mojogebang malam itu mengajak jamaah dan masyarakat melakukan hal-hal yang baik. Berdoa bersama, bershalawat bersama, menimba ilmu kepada para leluhur, serta melakukan pemaknaan dan tadabbur.

Mbah Nun mengajak semua jamaah dan hadirin untuk terlebih dahulu bershalawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw melalui nomor Pambuko, doa Ya Allah Ya Adhim, shalawat Shalatun minallah wa alfa salam, dan sidnan Nabi. “Malam ini semua berkumpul di sini untuk tujuan mulia beribadah kepada Allah dan mengungkapkan rasa kangen dan cinta kepada makhluk terbaik-Nya, yaitu Muhammad Saw. Semoga ini malam yang indah, yang menambahi timbangan atau saldo kebaikan kita, sehingga kebaikan itu nanti dimenangkan di atas keburukan kita, lalu kita semua masuk surga,”doa Mbah Nun.

Khusus untuk tema Ruwat Desa Mojogebang, Mbah Nun menulis naskah dramatic reading berjudul “Sowan Marang Buyut”. Naskah ini dibacakan oleh Pak Joko Kamto (sebagai Buyut Ruwat Sengkolo)–yang sangat sempurna saat memerankan Maulana Iradat dalam pementasan WaliRaja RajaWali di Tugu Pahlawan Surabaya–, Pak Novi Budianto (sebagai Mbah Purwaceng), Mas Jijid (sebagai Nakulo), dan Mas Doni (sebagai Sadewo). Melalui dialog segar tapi sarat ilmu oleh keempat pemain ini, jamaah diajak mengetahui dan memahami ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga yakni Sastrojendro Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Dalam kata-kata Kanjeng Sunan Kalijaga itu terdapat kata ‘ruwat’ yaitu Pangruwating yang berarti meruwat. Sedangkan Diyu, seperti dituturkan oleh Mbah Buyut Ruwat Sengkolo dalam dramatic reading malam itu adalah “Raksasa nafsu. Buto. Besarnya potensi keburukan dan kedhaliman pada jiwa manusia. Berbagai macam hawa buruk, energi negatif, nafsu dan potensi setan, dan macam-macam lagi, yang semua itu sangat bisa mengakibatkan tidak hanya kerusakan, tapi juga kehancuran pada manusia.”

Agar kerusakan dan kehancuran akibat nafsu dan perilaku buruk manusia itu tidak terjadi, yang diperlukan adalah membangun Hayuningrat. Hayuningrat adalah keindahan di bumi yang diciptakan dengan bahan-bahan berupa kesucian jiwa manusia, kejujuran perilakunya, dan kesejahteraan penghidupannya. Di stulah membangun Hayuningrat Pangruwating Diyu merupakan Sastrojendro, yaitu keindahan dan kelembutan ilmu. Maka, Buyut Ruwat Sengkolo menegaskan Pangruwating Diyu itu adalah thoharoh, reresik, pembersihan jiwa, yang diawali dengan rasa syukur dan dipuncaki oleh istighfar yang total.

Lainnya

Indonesia Bagian Berbahaya Dari Wonosalam

Indonesia Bagian Berbahaya Dari Wonosalam

Wonosalam harus mengandalkan diri Wonosalam sendiri. Jadi Wonosalam itu bukan masa kini dan masa silam, melainkan justru yang utama adalah masa depan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version