Dari Kata Menjadi Pustaka
Sebelum melanjutkan tulisan sederhana ini perkenankan saya bersalaman secara rohani kepada Simbah, “Assalamulaikum, Mbah Nun”.
Awal mula perkenalan kemudian pertautan saya dengan Maiyah berasal dari peristiwa yang sederhana. Ketika gerimis sore di Jagongan Rebon, Pujasera, Karanganyar, dari perbincangan sekumpulan orang yang duduk melingkar, saya mendengar narasi tentang cinta dan kasih sayang yang begitu tulus. “Cinta adalah landasan dari segala bangunan kebaikan dan perubahan”. Kalimat itu lantas saya bawa pulang.
Pengertian tentang Maiyah sendiri belum lama ini saya dapatkan dari salah satu orang baik di sekitar saya. Maiyah secara etimologi berasal dari kata ma’a, yang berarti bersama. Bersama Allah dan kinasih-Nya, Nabi Muhammad Saw. Atas rujukan tersebut, dengan penuh keyakinan, saya memaknainya sebagai membersamai. Apabila direfleksikan dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, butiran Maiyah bukan hanya bersama saya, tetapi Allah dan Rasulullah membersamai saya.
Maiyah menjadi jembatan untuk mengkomunikasikan satu hal dengan hal selanjutnya. Berkomunikasi lebih dekat dan autentik dengan beragam tema. Mempercakapkan perbedaan seraya tetap berdaulat secara merdeka dan sadar sepenuhnya akan batasan-batasan. Maiyah tidak mengajarkan saya tergesa-gesa mengakhiri kalimat dengan titik, tetapi menyisakan “ruang” koma di sana.
Maiyah tidak menggelontorkan informasi, tetapi memberi fondasi bagi bangunan sistem manajemen untuk mengkurasi informasi itu sendiri. Yang terdengar dari Maiyah bukanlah bunyi, tetapi arti; bukanlah kata, tetapi makna.