Cara Cak Nun Melatih Saya Menulis
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah; yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. al-‘Alaq:1-5).
Saya tidak menyangka kalau tetiba Cak Nun menyuruh saya menulis.
“Dot, mbok kowe ki nulis (Dot, mbok kamu menulis)…”
“Nulis opo, Cak (Nulis tentang apa Cak)?”
“Yho opo wae.., pengalamanmu opo sing mbok adhepi, kepengenanmu, pokoke opo wae (Nulis tentang apa saja, pengalaman apa saja yang kamu temui, keinginanmu, atau apa saja yang ingin kamu tulis).”
Saya mengiyakan permintaan Cak Nun untuk saya menulis. Kenapa Cak Nun meminta saya menulis? Apakah Cak Nun tahu kalau saya pernah dipuji oleh guru sastra saya karena bisa menulis sastra dengan baik? Apakah…, apakah…, apakah…, dan seterusnya. Itulah rangkaian pertanyaan saya. Namun saya yakin di balik permintaan itu Cak Nun mempunyai alasan tertentu yang sampai sekarang saya tidak tahu.
Saya menyanggupinya dengan permintaan agar Cak Nun memberikan koreksi atau masukan tentang tulisan saya.
Itu terjadi beberapa tahun yang lalu.
Saya ingat betul, awal awal tahun itu saya menghasilkan tiga tulisan pendek, tentang saya dan pasien (baca:guru) saya. Sesudah itu kegiatan menulis itu tenggelam dalam kesibukan saya persiapan sekolah doktoral ke Amsterdam dan proses sekolah itu sendiri. Padahal di dalam sekolah saya itu, saya menulis tiap hari. Menulis manuskrip yang bersumber dari hasil penelitian saya dengan ada dua orang pembimbing.
Setiap hari Selasa siang pukul 12.00 saya bertemu dengan Prof. Veerman untuk konsultasi materi tulisan saya. Setiap Kamis sore pukul 15.00 saya ketemu dengan Jacqueline untuk materi statistiknya. Kedua supevisor saya ini mempunyai ciri khas yang berbeda. Bukan maksud saya untuk membanding-bandingkan. Tetapi ini sebagai sebuah nostalgia. Beliau berdua memberi inspirasi yang sangat banyak dalam kehidupan saya. Prof. Veerman sangat keras, sangat teliti dengan angka-angka, logika berpikir dengan tidak lupa sumpah serapahnya. Sedangkan Jacqueline, kepala laboratorium CCA (Cancer Centre Amsterdam), membimbing dengan kelembutannya sebagai seorang ibu. Dengan tata bahasa dan nada bicara yang lembut.
Sebelum bimbingan, Jacqueline sering mengajak ke kantin untuk makan siang bareng, dan pasti saya ditraktir. Kemudian ketika break di tengah bimbingan, Jac selalu menawari membuatkan kopi. Dari situlah saya belajar minum kopi tanpa gula.
Menulis manuskrip adalah kewajiban. Strukrurnya tertentu, mulai dari later belakang, metodologi, hasil, pembahasan dan kesimpulan. Ada kewajiban membaca (penelitian orang lain) yang itu menjadi dasar acuan pada bab ‘latar belakang’ dan bab ‘diskusi’ dalam struktur manuskripnya.
Di situlah nyawa sebuah manuskrip. Itulah seni menulis sebuah manuskrip. Di situ ada target waktu untuk menyelesaikan. Minimal saya harus menulis 4 tulisan ilmiah dengan saya sebagai penulis utama, ditambah minimal 4 tulisan lainnya sebagai co-author, dan semuanya harus dipublikasikan dalam jurnal ilmiah berstandar internasional. Dan masing masing jurnal mempunyai aturan penulisan tersendiri.
Kedelapan manuskrip tersebut, yang tentu dalam satu topik, dikumpulkan dan disunting menjadi satu buah buku yang itu menjadi tesis yang akan dipertahankan dalam sebuah sidang di mana sidang tersebut dipimpin oleh seorang Rector Magnificus sebagai pemimpin sidang, dua orang pembimbing, dan delapan orang opponent (penguji).
Kegiatan itulah yang menenggelamkan PR Cak Nun kepada saya untuk menulis esai tentang apa saja. Cak Nun memberikan kebebasan untuk menulis apa saja yang saya ingin tulis. Dengan bahasa apa saja. Dengan susunan yang terserah saya. Dengan isi sak karepe saya. Di sinilah perbedaan yang saya dapatkan dalam menulis esai. Saya bebas menelurkan ide saya, angan-angan saya, pengalaman saya, bahkan dugaan dan kecurigaan saya atas sesuatu, dengan bebas saya tulis.
Maka sesudah sekian lama berselang, datanglah seorang Yai Helmi yang secara serius dan bertubi-tubi meminta dan menagih tulisan-tulisan yang pernah saya janjikan. Mulailah kami berdiskusi dan membicarakan topik yang akan saya tulis.
Ada perbedaan mendasar dalam proses menulis sebuah manuskrip dan esai. Menulis manuskrip berlatar belakang ‘keharusan’, ‘tuntutan’, ter-schedule, dan bertarget. Menulis manuskrip ketika sesudah berproses tidak tergantung mood. Sedangkan menulis esai, walaupun sama-sama ada dasar ‘keharusan’ tetapi proses ini sangat tergantung pada ide dan mood. Ketika ide muncul, maka harus segera dituangkan dalam bentuk tulisan. Bila tidak segera ditulis, maka saya akan kehilangan momentum, dan ide tersebut menghilang dan saya akan sangat kesulitan dalam ‘menarik’ kembali ide tersebut.
Bila sudah berada di depan layar dan keyboard, maka ide tersebut berkembang begitu saja. Seperti gerakan pnecak silat ketika akan ‘menghabisi’ lawannya, tidak langsung menohok perutnya atau meninju dadanya, tetapi dengan kembangan-kembangan gerakan yang sangat indah. Dan enaknya lagi, ketika ada typo, maka nanti Yai Helmi dan dewan redaksi akan membenarkan atau setidaknya mengkonfirmasi, dan juga sering memberi saran. Yai Helmi misalnya dalam salah satu tulisan yang saya setor mengusulkan: “Mbok ditambahi satu dua kalimat atau satu paragraf sebagai kesimpulan dan menarik benang merah dari tema ini”.
Saya belajar banyak bagaimana menulis esai. Dibimbing dan diarahkan serta kadang diberi PR (baca: ide). PR atau permintaan Cak Nun menulis dengan keleluasaan yang diberikan adalah sebuah cara yang menuntun sekaligus menantang saya.
Dalam hal dua bentuk tulisan, manuskrip dan esai, sekarang menulis kedua bentuk tulisan tersebut sama-sama berjalan. Masih ada tiga manuskrip yang berada dalam taraf finalisasi, dan ada ide-ide lain yang muncul di keseharian yang mesti segera saya tulis dan saya serahkan kepada Yai Helmi.
“…Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan...” (QS: Al Baqarah: 282)
Menulis adalah sesuatu yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan saya sehari-hari. Walaupun dalam praktiknya saya masih juga di-oyak-oyak Yai Helmi untuk setor tulisan. Beliau selalu texting saya: “Gaess jangan lupa, ditunggu tulisannya!”