Cak Nun dan Mata Air Rimba
Bulan lalu, pada malam Mocopat Syafaat di awal musim kemarau yang terlambat, tidak seperti biasanya, Cak Nun duduk di kursi. Berdua. Bersama sahabat Beliau sejak masa remaja: Penyair Mustofa W. Hasyim. Pada kesempatan itu, setelah menguraikan panjang lebar tentang beberapa hal, Cak Nun mengajukan pertanyaan retoris kepada Jamaah Maiyah tentang Islam. Lebih kurang seperti ini pertanyaan itu,”(ibarat sedang memotret-pen) Islam itu kamera atau lensa yang kamu gunakan atau obyek yang sedang dipotret?”
Jeda.
Bintang menggayut di langit. Jamaah Maiyah duduk berdesakan di lapangan badminton TK Alhamdulillah, Kasihan, Jogja. Asap mengepul dari mulut-mulut yang dahaga. Dan kesepian. Kadang, suara tawa tergelak mengapung di udara. Melepaskan kegembiraan, mungkin juga, beban hidup, di hati dan kepala.
Ternyata, jamaah yang ditanya sedikit ragu-ragu untuk menentukan jawabannya. Apakah lensa ataukah obyek yang dipotret. Pertanyaan ini memang terkesan sederhana. Akan tetapi, sesungguhnya merupakan ekspresi dari persoalan yang telah berabad-abad dialami oleh ummat Islam. Karena, paling tidak sejak modernitas menjadi arus utama perkembangan peradaban, referensi utama umat Islam adalah khazanah yang diperoleh dengan lensa — dalam tulisan ini kita sebut sebagai cara pandang terhadap dunia atau worldview — yang dibangun, digunakan, dan dikembangkan, serta disebarluaskan oleh peradaban Barat. Dan cara pandang tersebut, berbeda, bertolak belakang, bahkan menegasikan cara pandang Islam. Benarkah demikian? Baiklah Kak, untuk mengetahui lebih dalam, yuk sekarang kita spill seperti apa itu cara pandang peradaban Barat atas kehidupan dan bagaimana pula cara pandang Islam atas kehidupan.
Modernisme, Sekularisme, dan Post-modernisme
Seperti yang Kakak tahu, Barat sejatinya bukanlah realitas geografis melainkan realitas peradaban. Maka, kalau kita mengatakan Barat, sebenarnya yang dimaksud itu bukanlah sesuatu yang ada di arah Barat, tapi sebuah model alam pikiran, tatanan kehidupan, norma, dan realitas dunia. Barat mulai membangun alam berpikir–yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi realitas kehidupan mereka–sejak penerjemahan besar-besaran khazanah Islam pasca runtuhnya Kekhalifahan Ummayah di semenanjung Iberia. Tahukah Kakak di mana itu Semenanjung Iberia?
Ya! Betul! Di semenanjung itulah Jose Mourinho dan Pep Guardiola dilahirkan. Dulu, selepas peradaban Islam dilenyapkan paksa dari semenanjung Iberia, Raja-raja Spanyol kemudian mendirikan semacam pusat studi yang sangat besar dan berpengaruh luas di Toledo, sebuah kota di tengah-tengah Spanyol yang tim sepakbolanya tak pernah masuk di divisi utama. Selain itu, ada pula pusat-pusat studi dan penerjemahan yang lebih kecil baik di tanah Spanyol maupun di Semenajung Apenina, sekarang menjadi wilayah Italia. Beberapa pusat studi itu di antaranya ada di kota Salamanca, Spanyol. Di Salermo. Ada juga di Venezia yang anggun itu.
Proyek penerjemahan dan studi besar-besaran itulah yang kelak di kemudian hari menjelang akhir abad XVI menjadi iklim dan ekosistem di tanah kelahiran Rene Descartes, laki-laki Perancis berkumis menggoda, yang buah pikirannya menjadi tonggak penting alam pikiran modern. Di mana, dia mendeklarasikan bahwa kebenaran itu adalah apa yang bisa dinilai oleh akal dan ditangkap oleh indera. Atau–agar tulisan ini terkesan agak intelek–disebut sebagai rasionalisme dan empirisme. Sehingga, jika ada sesuatu yang berada di luar jangkauan kedua hal tersebut, maka otomatis akan dinilai sebagai “bukan kebenaran”.
Lantas, bagaimana dengan hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal dan indera, entitas-entitas yang ghaib, misalnya? Atau, perasaan? Semacam jatuh cinta, hasrat, jin, malaikat, akhirat, bahkan Allah?
Jika mengikuti metode berpikir Rene Descartes di atas–dan akhirnya menjadi keyakinan modernisme–entitas-entitas yang disebutkan itu: tidak ada. Tidak pernah ada. Di kemudian hari, dua poin inilah yang direkrut menjadi pilar utama bangunan alam pikiran peradaban Barat. Tapi, tolong dicatat dengan huruf tebal! Rene Descartes–dan para filosof selanjutnya yang disebut dalam tulisan ini–sangat mungkin tidak memiliki informasi tentang malaikat, jin, akhirat, dan konsep Tuhan dalam Islam. Sebab, dia hidup di lingkungan Nasrani, dengan alam pikiran dan realitas sosial-keagamaan yang dibangun secara Nasrani. Sehingga, pandangannya tentang Tuhan, malaikat, setan dan akhirat bisa jadi sangat berbeda dengan pandangan muslim. Poin ini menjadi titik berangkat di mana nanti peradaban Barat kian hari kian bertolak belakang dengan wahyu Islam.
Pemikiran Rene Descartes ini dilanjutkan lebih jauh oleh Immanuel Kant, pria mlipis yang lahir di Kaliningrad, sebuah wilayah Rusia yang terpisah dari induknya yang beberapa waktu lalu, diblokade oleh Lithuania akibat perang Rusia-Ukraina. Kant menyatakan bahwa metafisika (entitas ghaib) itu impossible. Tidak mungkin.
Pilar utama pemikiran Barat yang dibangun ini kemudian terus didorong dan berkembang ke arah yang semakin bertentangan dengan kutub Islam pada Ludwig Fuerbach, Dia membentangkan tentang ateisme sehingga diberi gelar sebagai Sang Bapak Ateisme. Charles Darwin–kakek dari John Conford, penyair Inggris yang sajaknya diterjemahkan dengan sangat indah oleh Chairil Anwar itu–mengalami zaman yang kian matang atas penolakan terhadap metafisika kemudian juga menegaskan konsep yang menafikan Tuhan.
Kemudian, lahir pula Karl Marx, si tua berjanggut lebat yang anti-agama. Buku-buku karya dia dan tentang dia banyak dicetak dan dibaca anak-anak muda tak lama setelah reformasi. Disusul pula oleh August Comte yang mengatakan bahwa agama itu fiktif. Bahkan yang popular saat ini, Sigmund Freud, sang nabi psikoanalisis, yang literaturnya dipakai oleh jurusan-jurusan psikologi hingga hari ini. Freud berpendapat bahwa doktrin-doktrin agama itu ilusi.
Jika kita spill semua nanti kita akan bertemu para pemikir postmodern lainnya. Misalnya Nietczhe, idola anak-anak muda yang sedang mengalami fase eksistensialis. Albert Camus si dalang absurditas yang mati muda. Martin Heidegger yang bergabung dengan Nazi sekaligus “guru” si Plontos Michael Foucault dan Jean Paul Sartre yang menolak hadiah Nobel Sastra, dan seterusnya. Cekak-cingkrangnya, yang terpenting dari itu semua adalah, pemikiran-pemikiran itu–dan semua pemikiran Barat– dibangun di atas landasan atau asumsi dasar yang tidak stabil, yaitu: keraguan. Sehingga, pemikiran itu sangat mudah rubuh jika ada pemikiran lain yang menantangnya. Dengan gagah. Sebagai contoh adalah lahirnya posmodernisme atau pasca-modernisme yang sebenarnya kerangka dasarnya mulai ada sejak abad XVIII.
Pasca-modern membongkar kemapanan “sebagian” apa yang telah dibangun oleh paham modern. Misalnya, jika paham modern menegaskan struktur, maka pasca-modern justru merusak bahkan menghancurkan struktur (dekonstuksi). Dia anti-struktur. Karena ide dasarnya adalah relativisme. Maka, setiap hal menjadi relatif. Tidak ada yang mutlak. Tidak ada otoritas. Termasuk kebenaran. Maka, pada puncaknya, paham pasca-modern adalah nihilisme. Segala sesuatu ini nihil. Tidak ada (/berarti) apa-apa. Bahkan juga: Tuhan. Maka K.H. Hamid Fahmi Zarkasyi menyebut bahwa puncak dari paham pasca-modern adalah Nietzche, yang mendeklarasikan bahwa “tuhan telah mati”.
Iklim seperti itulah yang kemudian melahirkan “agama” humanisme. Kemudian tumbuh liberalisme, pluralisme, kesetaraan, dst. Bahkan hingga titik yang paling absurd: nihilisme.
Pondasi Peradaban Barat dan Peradaban Islam
Pernahkah Kakak makan ayam goreng di Fried Chicken? Jika pernah, pernahkah Kakak mempertanyakan tentang bagaimana ayam yang Kakak makan itu disembelih? Apakah cara menyembelihnya sesuai dengan tuntunan Islam atau tidak? Toh, wujud fisiknya serupa. Ayam yang “itu” juga. Rasanya juga tidak berbeda. Harganya pun sama. Lantas bagaimana Kakak memutuskan jika ayam itu disembelih dengan cara yang ditetapkan oleh Islam atau tidak?
Atau dalam kasus yang berbeda. Pernahkah Kakak melihat seseorang di jalanan yang memberikan uang kepada seorang peminta-minta? Apakah Kakak bisa memutuskan apakah itu infaq atau give away yang bersifat kedermawanan? Toh, uangnya sama. Uang yang “itu” juga. Bedanya, kalau infaq dilakukan pasti oleh seorang yang memeluk Islam. Sebab, infaq adalah anjuran Islam. Infaq membuka cakrawala manusia tentang memberi. Bahwa “memberi” itu tidak hanya akan berhenti pada soal berbuat mulia selama hidup di dunia. Tetapi, merupakan peristiwa akhirat yang terjadi di dunia karena dampaknya akan dirasakan sampai ke kehidupan setelah mati. Sementara, jika give away cakrawalanya tidak akan sampai ke akhirat.
Inilah salah satu contoh perbedaan cara pandang dalam kehidupan sehari-hari. Peradaban Barat memang telah berkontribusi sangat besar bagi peradaban hari ini. Tapi, rasanya kontribusinya dalam sains alam dan rekayasa. Sebut saja fisika, kimia, geologi, astronomi, teknologi, dsb. Tapi bagaimana dengan sains sosial dan kemanusiaan? Apakah ilmu hukum, ekonomi, sosiologi, psikologi, politik, pendidikan, dst setelah zaman pencerahan Eropa menjadi lebih maju untuk kehidupan dan kesejahteraan manusia? Ataukah stagnan? Atau justru semakin mundur? Kalau pun dianggap maju, mundur, atau stagnan, dia dipandang dari lensa yang mana?
Apakah rubuhnya norma kehidupan keluarga inti (Ayah-Ibu dan anak) di peradaban Barat itu sebuah kemajuan atau kemunduran? Apakah legalitas pernikahan sejenis itu kemajuan atau kemunduran? Kalau dipandang dari cara pandang kebebasan individual, tentu saja itu sebuah kemajuan. Tapi, jika dipandang dari cara pandang Islam, apakah itu disebut kemajuan juga? Dimana, al-Qur’an telah menginformasikan bahwa manusia diciptakan berpasangan laki-laki dan perempuan. Pada sisi lain, al-Qur’an juga menginformasikan orang tua itu memiliki tanggung jawab atas anak dan anak juga memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap orang tua.
Kita ambil satu contoh ya Kak. Ronald Reagen, Presiden Amerika di dekade 80-an, mendorong dan mengkampanyekan kehidupan keluarga utuh yang bahagia. Reagen mengajak orang Amerika merindukan dan menghidupkan kembali suasana keluarga era 40-an-50-an, di mana keluarga inti masih utuh dan kehidupan berjalan dengan panduan iman. Dia mengusulkan agar anak-anak kembali berdoa di sekolah, yang mana sebelumnya aturan itu telah dihapus oleh Mahkamah Agung. Reagen juga menyatakan perang terhadap narkoba dan mendorong kehidupan yang “agamis”.
Seperti menjadi maklum bersama, kehidupan yang “harmonis” dekade 40-an-50-an telah dihancurkan di era 60-an dan 70-an, oleh anak-anak muda yang didorong oleh gerakan hippies yang jamet. Maka, jadilah kehidupan bebas gaya hippies menjadi mainstream bagi anak-anak muda. Diantaranya adalah hubungan bebas, narkoba, termasuk LGBT. Dan akhirnya, sesuatu yang di era sebelumnya dianggap tidak normal, bahkan tabu, bergeser menjadi dianggap normal. Hari ini, sebagian masyarakat ada yang pro LGBT, ada yang kontra. Tapi, di Barat, LGBT sudah dianggap normal. Paling tidak, ada 30 negara yang sudah melegalkan pernikahan sesama jenis. Gemoy banget ya, Kak? Lalu, apa kira-kira yang akan terjadi 100 tahun kelak?
Pertanyaan utamanya adalah mengapa norma masyarakat bisa bergeser? Mengapa sesuatu yang 50 tahun lalu tabu saat ini dianggap normal? Penyebabnya lebih kurang adalah ada sesuatu yang bergeser. Lantas, apa yang bergeser itu? Tentu saja, pijakan dasar dari norma yang diyakini. Dan inilah rahasia utama peradaban Barat? Barat dibangun di atas pondasi yang tidak kukuh, bahkan tidak permanen. Sehingga, sistem nilai yang dibangun di atasnya tidak stabil. Ora jejeg. Mudah goyah. Gampang masuk angin. Ibarat membangun gedung, Barat membangun di atas lumpur rawa. Sehingga, ilmu sosial dan kemanusiaan, keyakinan, sistem nilai, dan seterusnya dibangun di atas “lumpur” itu.
Lantas, apa bedanya dengan cara pandang Islam?
Begini Kak, jika asumsi dasar peradaban barat adalah keraguan, maka dasar pijakan ilmu dan pengetahuan yang dibangun Islam adalah wahyu, yaitu al-Qur’an. Tentu saja ditambah dengan hadits Nabi sebagai pembawa wahyu. Itulah dasar norma yang permanen. Sesuatu yang pasti tidak akan pernah berubah sampai kapan pun.
Cak Nun, Cara Pandang Islam, dan Kontribusi dalam Ilmu Pengetahuan
Apakah Kakak pernah mendengar tentang klasifikasi manusia di Jawa menurut Clifford Geertz, yaitu: Santri, Priyayi dan Abangan? Atau dalam wilayah alam berpikir kebudayaan lain, ada konsep klasifikasi manusia berdasarkan kasta. Mulai dari kasta Brahmana, Ksatriya, Waisya, Sudra, dan Pariah. Pertanyaannya adalah, apa pondasi dasar klasifikasi Geertz itu? Tentu saja keadaan sosial yang diamati oleh Geertz pada dekade 60-an, direfleksikan pada teori-teori yang ada. Kemudian dirumuskan sendiri oleh Geertz. Dibuat istilah oleh Geertz. Maka, jadilah klasifikasi itu. Lantas, kita gunakan sebagai referensi hingga hari ini. Apakah hari ini klasifikasi yang telah berusia lebih dari 50 tahun itu masih presisi untuk menilai klasifikasi sosial di lokasi yang sama? Jawabannya kira-kira, pasti ada perubahan-perubahan. Entah perubahan itu hanya minor atau perubahan besar.
Dalam cara pandang yang berbeda, pernahkah Kakak mendengar Cak Nun menggunakan khazanah hukum dalam Islam untuk merumuskan posisi faktual manusia dalam bermasyarakat? Ya, betul yang itu! Spektrum hukum Islam: wajib, sunnah, mubah/halal, makruh, hingga haram diaplikasikan sebagai lensa untuk memotret posisi seseorang dalam bermasyarakat. Ada manusia wajib, di mana spesies karakter manusia seperti ini “harus ada” dalam sebuah komunitas atau masyarakat karena keberadaannya berdampak sangat positif bagi komunitas tersebut.
Jika manusia sunnah, diartikan di mana seseorang itu “lebih baik ada” dalam sebuah komunitas karena memiliki dampak positif, meskipun jika dia tidak ada juga tidak apa-apa. Sementara, manusia mubah adalah spesies karakter manusia yang “ada atau tidak adanya” dia dalam sebuah komunitas tidak akan berdampak apa-apa. Jika manusia makruh, “lebih baik tidak ada” dalam sebuah komunitas. Sedangkan manusia haram, spesies ini “jangan sampai ada” dalam sebuah komunitas karena kehadirannya akan membawa dampak negatif.
Formulasi ini bisa juga diperluas penggunaannya dalam berbagai disiplin ilmu. Misalnya jika diaplikasikan dalam manajemen organisasi, ada sumberdaya manusia yang wajib, sunnah, halal, makruh dan haram. Ada pula departemen-departemen atau divisi-divisi yang bisa dinilai dengan kelima spektrum tersebut. Jika dalam kajian politik, bisa digunakan sebagai lensa untuk melihat tema demokrasi misalnya: partai politik itu termasuk dalam ruang yang mana? Wajib, sunnah, halal, makruh atau haram. Media massa sebagai salah satu pilar demokrasi itu ruang yang mana? Organisasi masyarakat non-pemerintah termasuk ruang yang mana? Formulasi ini juga bisa diaplikasikan dalam sosiologi, mungkin juga beberapa disiplin ilmu yang lain.
Contoh di atas adalah salah satu formulasi yang diturunkan dari khazanah al-Qur’an, sebagai bagian dari pengkreasian cara pandang Islam sejak hulu hingga ke ranah aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Kiranya, ini boleh dikatakan sebagai salah satu proposal model dalam pengembangan metodologi berbasis al-Qur’an dan Hadits. Mungkin, hal ini kurang tepat jika disebut sebagai Islamisasi Ilmu Pengetahuan, tapi lebih pada mengembangkan ilmu pengetahuan berbasis wahyu Allah dan hadits Nabi.
Ibaratnya, jika ilmu dan pengetahuan dalam kehidupan ini adalah pepohonan di hutan belantara yang lebat dan gelap. Cak Nun telah menunjukkan bahwa di tengah sana, ada satu pohon besar yang rimbun. Di bawah pohon itu terdapat sumber mata air ilmu dan pengetahuan dari Allah. Tentu saja, Cak Nun hanya membukakan “gerbang ghaib” itu, menunjukkan rute paling cepat dan akurat, sekaligus melakukan perjalanan solo untuk membuktikan bahwa kaum muslim bisa sampai ke pohon besar itu. Lantas, tugas kita semua untuk menyusuri, membersihkan dari belukar, ranting, onak dan duri, calon jalan setapak yang baru dirintis itu. Di tengah rimba belantara yang gelap, untuk mencapai mata air ilmu dan pengetahuan berbasis wahyu Allah dan Hadits Baginda Nabi.