Bunker Armagedon (2)
Di luar halaman ndalem Padhangmbulan jamaah sudah agak berkurang. Sebagian mereka telah pulang. Sebagian lain membersihkan halaman. Ada pula yang masih berkumpul di masjid sembari menyiapkan diri untuk shalat subuh berjamaah. Kerukunan antar jamaah terlihat kental. Mereka cukup mengerti tentang apa saja yang mesti mereka kerjakan. Asalkan baik dan bermanfaat mereka lakukan dengan kesadarannya sendiri.
Begitulah mereka. Istiqamah tak pernah pudar dari semangatnya. Meskipun pagi hari, mereka tetap lanjut dengan kegiatan masing-masing. Yang kuliah tetap sekolah, yang bertani tetap ke sawah. Mereka mengerti fungsi dan maqamnya, “empan papan” bahasa Jawanya. Lahan ladang mereka adalah “Jannatul Maiyah”, yang ia tanam adalah Ta’dib, akarnya adalah “Shiddiq”, sehingga lambat laun dengan seiring proses istiqamah maka tumbuhlah pohon “Amanah”. Mereka sirami dengan air ikhlas dan kesabaran, serta mereka rawat dengan ketelusan jiwa raga.
Tentu atas perkenan Allah tumbuhlah tangkai “Tabligh”. Mereka menjaganya dengan Dzikirullah dan meluaskannya dengan Tadabbur. Kemudian tumbuhlah daun-daun “Fathonah” yang apabila para musafir lewat melintasi pohon tersebut, niscaya hatinya ingin duduk di bawah pohon teduh dan rindang sejuk damai pun tenteram “Rampak Naong” bahasa Maduranya itu. Istiqamah para jamaah tanam di ladang kehidupan mereka. Agar tak mudah dirusak oleh hama takabur, mereka isi dengan kerendahan hati sambil menggunakan pagar Sinau Bareng. “Hasbunallah wa ni’mal wakil ni’mal maula wa ni’mannashir, lahaula wala quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘adhim”.
Seiring waktu demi waktu yang terus berjalan, setelah sehari dari ngaji di Padhangmbulan, saya kumpulkan anak isteri di ruang keluarga guna menyampaikan pesan kepada anak isteri agar tidak “mengganggu” saat saya melakukan tugas wirid dari Mbah Nun selama 40 malam. Selain menjalankan wirid, kami juga berlatih kompak dalam keluarga demi meminimalisasi menghadapi ujian, cobaan, atau apapun saja yang dapat berakibat batal wirid tersebut. Kalau batal dari satu hari saja tentu berakibat mengulang dari awal lagi. Begitulah Mbah Nun memberikan kemudahan, kebebasan waktu pagi, siang, sampai sore hari melakukan aktivitas seperti biasa, asalkan malam harinya setelah Shalat Hajat lanjut menjalankan Wirid yang telah beliau ijazahkan secara langsung.
Tetap dalam kerangka khusnudldlon dan tahadduts bin ni’mah, sebenarnya tidak ada keinginan atau kepentingan apapun selain hanya menulis dan menulis apa yang kami alami dalam bermaiyah. Juga tentu sangat bahagia jika semua teman-teman yang belum sempat menulis agar meluangkan waktu untuk menulis guna saling berbagi pengalaman satu sama lain dalam bermaiyah salama ini. Karena kami sering mendengar para jamaah bermimpi ketemu Mbah Nun, andai semua ditulis tentu akan menambah keluasan Puzzle untuk kita rangkai dan jadikan bahan ilmu dan hikmah dalam Sinau Bareng tentang ta’wil mimpi.
Bukankah ta’wil mimpi juga bisa kita tadabburi, dan insya Allah sedikit banyak akan menemukan jawaban-jawaban sebagaimana di zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Yusuf ‘alaihimassalam. Kita juga diwarisi oleh para leluhur sepuh pendahulu dengan bekal “Titi Yoni, Gondo Yoni, Puspo Tajem” untuk menemukan jawaban mimpi itu baik atau tidak, dan bisa disambungkan dengan dawuh Mbah Nun: “Jowo digowo, Barat diruwat, Arab digarap, Cino digatukno” yang secara tidak langsung beliau memberi informasi kepada kita untuk belajar tentang karya-karya klasik kuno, di antaranya adalah: Betaljemur Adammakna (Jawa), Zodiac perbintangan (Barat), Syamsul Ma’arif atau Abajadun (Arab), dan Fengshui Shio (China).
Di sini tidak mungkin kami menulis semua yang kami peroleh dalam menjalankan wirid dari Mbah Nun. Kami percaya masih banyak teman-teman yang menjalankan wirid dari beliau, baik langsung atau melalui informasi dari setiap simpul simpul Maiyah, yang tentu tidak akan mengurangi potensi maupun energi terhadap wirid-wirid yang bersumber dari Jannatul Maiyah.
Ada banyak Wirid Maiyah yang kami dapat tidak secara langsung dari Mbah Nun, namun kami peroleh dari kumpulan Wirid dalam buku sembilan Azaz Maiyah. Saat itu masih menggunakan bahasa Indonesia, kemudian kami rangkum dengan salinan bahasa Arab, guna belajar pelan-pelan berbagai wirid yang tersusun rapi itu. Alhamdulillah sampai sekarang pun kita masih istiqamah setiap hari selasa maos wirid berjamaah. Bahkan Wirid Maiyah itu sangat lengkap, di antaranya adalah: Wirid Kasih Sayang, Wirid Kecukupan,Wirid Kesendirian, Wirid Jangan Dipecat, Wirid Penjagaan, Wirid Ketertindasan, Wirid Pelipurlara, Wirid Pencahayaan.
Tentu masih sangat banyak lagi pilihan-pilihan sesuai keperluan. Mohon izin, kalau boleh saya katakan di dalam Jannatul Maiyah ada “Bunker” tempat penyimpan perlengkapan wirid. Tentu isinya sangat bermanfaat. Ibarat senjata mulai dari “dumpis sampai rudal scud”, semua ada serta multi fleksibel, luwes mudah dimengerti, enak diamalkan, dan tidak memberatkan. betapa detail beliau menyiapkan segala bekal untuk kita semua “korlah gellem ben tak sengkah ngelakonih” bahasa Maduranya. (Asalkan mau dan tidak malas melakukannya), InsyaAllah Gusti Allah ngijabahi. Mesti kudu ono loro lopoe reek.
Namun ijazah langsung dari beliau saat itu adalah wirid bersifat pelatihan tentang cara menyiapkan diri jika situasi dalam keadaan “Armagedon” di mana goncangan kehidupan bisa menimpa apapun, siapapun, terutama diri sendiri, keluarga, warga, masyarakat, dan seterusnya.
Selama 40 malam itu kami benar-benar mendapatkan pengalaman baru. Bagaimana tentang hal ta’wil mimpi guna menjadi bahan kajian sinau Sasmita, Majaz, Qiyas, Mantiq, dan seperangkat perlengkapan bahan pendukung tafsir mimpi lainnya. Walaupun kelimuan tidak komplit, apalagi sehebat para ilmuwan namun kami akan tetap belajar sepenuh kemampuan yang hakikatnya adalah titipan Tuhan.
Dari sekian wirid 40 malam ba’da Shalat Hajat ada beberapa “isyaroh” datang melalui mimpi. Namun kami akan menulis satu persatu gambaran mimpi itu di lain halaman, demi memudahkan ingatan serta memperluas hikayat.
Saat itu kami melihat Mbah Nun membelah langit dengan sebilah pedang tajam, yang di ujung pedang itu bersinar cahaya biru bernuansa putih mengkilap. Kemudian bertaburan meteor angkasa seperti akan menjatuhi bumi, namun sebelum jatuh ke bumi beliau menghancurkannya dengan pedang tersebut hingga menjadi serpihan debu dan lenyap diterpa angin angkasa.
Melihat kejadian itu kami terkejut bercampur takut sehingga terbangun dari tidur dalam keadaan cemas serta jantung berdetak cepat dan terasa sangat lelah. Ya Allah, ternyata kami sedang bemimpi. Demi menenangkan hati segera kami bergegas menuju tempat wudhu’ lanjut Shalat Sunnah Qobla Subuh, sembari mengemis ampunan serta memohon petunjuk.
Berhari-hari mimpi itu terngiang-ngiang dalam ingatan. Kami murung karena tidak mengerti apa maksut yang terkandung dalam mimpi.
Namun dengan kalimat dawuh Mbah Nun, cukup mengantar kami agar terus belajar berbaik sangka “Khusnudldlon” menghargai waktu dengan tidak meremehkan apapun dan siapapun, termasuk mimpi.
Kami sinau memahaminya bahwa manusia yang berjiwa cinta dan kasih sayang selalu memantau semua para pecintanya karena ikatan hati sejalur pada sifat Ar-rahman wa Ar-rahim. “Ya Allah ya Mannanu ya Karim, ya Allah ya Rohmanu ya Rohim…” Monggo dilanjut maos wirid kasih sayang.
Dalam mimpi itu beliau memberi gambaran, “Tajamkan hati dengan Dzikrullah, hadapi kehidupan dengan Inna Ma’al Usri Yusro fainna Ma’al Usri Yusro. Niscaya akan segera datang Anshorullah, pertolongan Allah hadir dalam wujud apapun terserah Allah pemilik semesta alam.”
“Hasbunallah Wani’mal Wakil, Ni’mal Maula Wa Ni’man Nashir. Laahaula Wala Quwwata illa Bilahil’Aliyyil ‘Adzim”.
Kita berlindung kepada Allah dari segala “Armagedon”, dengan gondelan Syafaat Rasulullah. Serta istiqomah Sinau Bareng tempat kebersamaan yang tak mudah dihancurkan oleh peradaban apapun. Shawwu Shuhufakun fii hubbi Sayyidina Muhammad. Luruskan barisan tetap di dalam cinta kasih kanjeng Nabi Muhammad.
QS. As-Shaffat ayat 102:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”
QS. Yusuf ayat 4:
اِذْ قَالَ يُوْسُفُ لِاَبِيْهِ يٰٓاَبَتِ اِنِّيْ رَاَيْتُ اَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَاَيْتُهُمْ لِيْ سٰجِدِيْنَ
(Ingatlah) ketika Yusuf berkata kepada ayahnya (Ya’qub), “Wahai ayahku, sesungguhnya aku telah (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan. Aku melihat semuanya sujud kepadaku.”