Berdoa dalam Gerak
Kalau yang dimaksud berdoa adalah membaca kalimat “Allahumma” atau “Rabbana” atau “Innaa nas’aluka”, lalu yang di luar fakta tekstual itu tidak dinyatakan sebagai doa, kita perlu menata ulang perspektif berpikir.
Tidak hanya perspektif berpikir, kita bahkan perlu menemukan lingkar pandang untuk memahami aktivitas di luar ritual formal doa sesungguhnya juga mengandung muatan-muatan doa. Dalam sebuah gerak kita menemukan esensi sebuah doa. Gerak adalah doa itu sendiri.
Malam sebelum pementasan drama “Mlungsungi” di Pengajian Padhangmbulan, Pak Jujuk Prabowo secara suka rela mewedar pengalaman, pandangan, penghayatan tidak hanya tentang dunia teater, tetapi “ayat-ayat mutasyabihat” tentang hidup.
“Selama proses berlatih, kuncinya adalah jangan takut bergerak,” ungkap Pak Jujuk. “Tidak ada salah. Yang ada adalah gerak yang belum pas, belum tepat.”
Melalui perspektif gerak adalah doa kita jadi mengerti dawuh Mbah Nun bahwa “Mlungsungi” adalah doa. Jangankan dalam gerak, dialog, atau setiap komponen pementasan drama yang rumit dan memerlukan totalitas manajerial — kita menyuapkan satu sendok nasi lalu mengunyahnya itu juga rangkaian doa.
Kita menyangka bahwa yang dimaksud berdoa adalah membaca doa sebelum makan. Hanya itu. Sedangkan aktivitas makan terputus hubungannya dengan doa yang barusan dibaca.
Bagaimana kita menemukan esensi doa dalam aktivitas makan? Ketika tangan bergerak, mulut mengunyah, lidah merasakan, tenggorokan menelan, lambung mencerna hingga darah mendistribusikan zat-zat ke seluruh tubuh, tersirat harapan semoga rezeki makanan ini membawa berkah dan energi yang diolah melalui makanan menjauhkan perilaku kita dari siksa neraka.
Makan, dengan demikian, tidak sekedar makan. Ia adalah aktivitas nyata dari doa itu sendiri.
Kita pun mengerti mengapa seorang pedagang bakso masih saja berkeliling di malam hari ketika orang-orang beranjak tidur. Dalam lubuk keyakinan paling dalam pedagang bakso memiliki harapan dan keyakinan malam itu ada orang membeli baksonya. Harapan dan keyakinan ini menjadi fondasi utama rangkaian doanya.
Pedagang bakso itu tidak hanya membaca doa — ia mengerjakan dan menjalani doanya. Ia tidak hanya bertawakal — ia mengerjakan dan menjalani tawakal. Lebih dari itu, pedagang bakso ridla atas apa yang dikerjakannya sebagai perintah Allah.
Kita yang kadang mbagusi “pedagang kecil” belum tentu tatag bertukar pekerjaan dengan mereka karena harapan dan keyakinan kita tidak seteguh doa dan tawakal mereka.
Demikian pula yang terjadi selama pementasan drama “Mlungsungi” pada Pengajian Padhangmbulan. Setiap komponen pengajian, mulai dari manjing ajur ajer keluarga ndalem kasepuhan Mentoro, para sutradara, sembilan puluhan pemain dan kru, teman-teman Omah Padhangmbulan, para jamaah, atmosfer pengajian, serta komponen yang tidak kasat mata, utuh mengutuh dalam satu gelombang doa.
Itu pula kiranya yang mendasari keputusan Mbah Nun membuka pementasan drama “Mlungsungi” dengan mempersembahkan cinta kepada Kanjeng Nabi — pembuka awal yang tidak lazimnya dijumpai pada pementasan teater.
Benar apa yang disampaikan Bapak Fajar Suharno bahwa yang di belakang panggung, dalam pentas MLUNGSUNGI di panggung Padhangmbulan Menturo Jombang sungguh jadi peristiwa tidak saja seni budaya, tapi lebih dari itu adalah peristiwa martabat kemanusiaan.
Peristiwa pentas drama “Mlungsungi” di Mentoro tidak bisa lagi dibingkai sebagai peristiwa seni budaya. Drama “Mlungsungi” sebagai bagian utuh dari Pengajian Padhangmbulan keluar dari kotak formalisme seni dan simbolisme budaya. Sebagaimana yang berlangsung dalam Majelis Ilmu Maiyah satu biji realitas mengandung jumlah lingkar pandang yang tidak terbatas untuk memahaminya.
Sebagai ungkapan rasa syukur dan husnudhon kepada Allah semoga pula pentas “Mlungsungi” di panggung Padhangmbulan menjadi peristiwa sembahyang kita bersama.