Belajar Tak Sempat Berpikir Parsial
Titik ketiga rangkaian Sinau Bareng persembahan Wismilak pada bulan Ramadhan 1443 H berlangsung pada 24 April 2022 di pelataran GOR Wujil Pandanaran Ungaran selepas shalat isya’ dan tarawih. Sementara pada dua titik sebelumnya tema yang diusung adalah Diplomat Sukses Ber-Ramadhan, Sinau Bareng kali ini temanya adalah Diplomat Sukses Ber-Lebaran.
Jamaah yang hadir sangat banyak. Tak hanya yang memenuhi area sisi utara GOR yang merupakan venue utama di mana panggung Sinau Bareng berada, namun juga mengular sampai ke area paling depan komplek GOR ini, dan bahkan sampai ke jalan raya. Di berbagai titik dipancangkan screen agar teman-teman yang tak bisa menghadap ke panggung bisa menyimak acara dengan saksama pula. Sama seperti di Ponpes Segoro Agung Trowulan Mojokerto dan di Pendopo Semar Resto Boyolali, jamaah yang hadir mengekspresikan rasa kangen akan Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng yang sudah lama tidak berlangsung dalam jumlah audiens yang kolosal dikarenakan situasi pandemi.
Khusus buat teman-teman yang belum berkesempatan datang, acara Sinau Bareng ini akan ditayangkan melalui channel YouTube caknun.com dan diplomatsukses pada 3 dan 6 Mei 2022 untuk menemani lebaran teman-teman semua. Memang Sinau Bareng pada titik ketiga ini dimaksudkan untuk menyambut hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1443 H sehingga tema yang diangkat adalah Diplomat Sukses Ber-Lebaran.
Tentang tema berlebaran ini, Mbah Nun menyampaikan satu hal sederhana dengan mengambil satu pengibaratan, yakni bila diumpamakan panen, sesungguhnya lebaran adalah bicara tentang “kita akan panen apa itu tergantung selama ini kita nandur (menanam) apa”. Dengan sudut pandang sederhana ini, Mbah Nun mengajak para anak-cucu untuk meneruskan sendiri dengan perenungan masing-masing. Apa yang selama ini sudah ditanam? Seberapa banyak yang telah ditanam? Dst.
Sekalipun temanya adalah berlebaran, namun Mbah Nun mendasarkan Sinau Bareng di Ungaran ini dengan mengambil ilmu dari firman Allah surat Al-Kahfi ayat 109.
لْ لَّوْ كَا نَ الْبَحْرُ مِدَا دًا لِّـكَلِمٰتِ رَبِّيْ لَـنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ اَنْ تَـنْفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهٖ مَدَدًا
Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”
Ketika acara Sinau Bareng baru dimulakan, Mbah Nun meminta Mas Islamiyanto, Mbak Nia, dan Mbak Yuli untuk melantunkan ayat ini. Dari ayat ini, kita semua diajak mengembangkan kesadaran dan pemahaman tentang dua hal. Pertama, dengan merenungi ayat ini, didapat pemahaman bahwa kalimat Allah atau ayat Allah tak hanya yang literer termaktub dalam Al-Qur’an. Dan persis ketika menyampaikan hal ini, Mbah Nun seperti sedang menunjukkan kepada kita bahwa QS. Al-Kahfi ayat 109 ini sinkron dengan atau jodohnya adalah QS. Fushshilat ayat 53 (di mana Allah mengatakan akan menunjukkan ayat-ayat-Nya di segenap penjuru ufuk dan pada diri manusia). Dua ayat yang selama ini mungkin belum kita baca korelasinya.
Kedua, dengan merasakan penggambaran Allah dalam QS. Al-Kahfi ini, Allah mengingatkan bahwa hidup ini begitu luas, begitu universal, seperti air lautan yang tak akan pernah cukup untuk menuliskan ayat-ayat-Nya mesikipun dituangkan lagi dalam jumlah yang sama. “Kalau tak punya kesadaran seperti itu, maka Anda akan menjadi manusia jurusan,” kata Mbah Nun. Itulah ternyata sebabnya atmosfer Maiyah sendiri bagi Mbah Nun selama ini adalah tak sempat berpikir parsial/fakultatif. Hal yang kiranya juga dirasakan oleh teman-teman semua.
Dalam perspektif keluasan yang terilhami oleh “air laut tak akan cukup untuk menuliskan ayat Allah, meski ditambah lagi dengan jumlah yang sama” ini, tak heran kemudian Mbah Nun mengatakan, “Maka sebenarnya ngomong Diplomat Sukses iso didawakno sampai endi-endi.” Benarlah, malam itu Sinau Bareng ini memanjakan jamaah secara ilmu dengan mengajak menyusuri ranah cukup luas. Sebut saja, mulai dari, kata “diplomat” yang mengingatkan Mbah Nun bahwa hidup ini isinya adalah diplomasi kepada Allah dan Rasulullah atau diplomasi mencari ridla Allah melalui syafaat Kanjeng Nabi. Salah satu bentuk diplomasinya adalah “Jangan kebanyakan menyebut-nyebut kepentingan dirimu di hadapan Allah. Allah mengerti.”
Selanjutnya anak-cucu diajak menyadari bahwa sebenarnya Jawa memiliki rohani Islam dalam kebudayaan masyarakatnya meskipun ulama tidak menyebut secara eksplisit; kemudian soal salah kaprah mengenai antikekerasan, tentang syu’uban wa qaba’il dan tentang Islam yang datang ke Indonesia yang kurang diperkenalkan sebagai kata kerja melainkan lebih banyak sebagai kata benda/qabilah/identitas, Indonesia bangsa maritim, mlungsungi sebagai bentuk reformasi, tentang ridla yang berarti tidak membantah takdir Allah, tentang Renaissance yang menceraikan manusia dari Tuhan, hingga ketidakmungkinan Nabi mengajarkan kapitalisme liberal, hidup adalah memang abadi tetapi bukan di dunia dan bukan untuk dunia, dan masih banyak lagi ranah disentuh malam itu.
Khusus mengenai “sukses” yang menjadi kata kunci tagline Diplomat, kali ini teman-teman diajak mendengarkan paparan Mas Edric Chandra dari Diplomat yang merupakan inisiator kompetisi kewirausahaan Diplomat Success Challenge. Jika pada Sinau Bareng Diplomat Sukses Ber-Ramadhan di Boyolali, Mbah Nun membabar ilmu sukses dengan mengambil ilmu dari lafadh adzan dan makna shalat, kali ini teman-teman meneruskan sinau sukses dari Mas Edric.
Sesudah menceritakan pengalaman spiritualnya saat berkunjung ke Kampung Komodo (bukan Pulau Komodo) di Manggarai Flores, Mas Edric menuturkan tentang proses menuju apa yang disebut sebagai sukses. Sebagai misal, memimpin perusahaan sebenarnya tidak mudah karena dibutuhkan banyak disiplin. Salah satu yang dibutuhkan adalah Discipline of How dalam berproses. Apa itu? Ada tiga, yaitu sabar, diimani/trust/dipercaya, bicara dan berpikir positif. Bagaimana cara menjalankan tiga discipline of how tersebut?
Ada empat cara yang dikemukakan Mas Edric. Pertama, ndonga atau berdoa yang intinya secara sadar matur kepada Allah untuk diberikan pendampingan. Kedua, hati dibuka hingga mampu menerima dan merasakan berkah seluas-luasnya dari para guru kita. Ketiga, buka pikiran hingga belajar tumbuh secara esoteris. Keempat, selalu berlatih lebih cinta serta memiliki kasih sayang dan bersikap harmonis.
Selepas mendengarkan paparan Mas Edric, Mbah Nun mengatakan dengan penuh canda keakraban, “Kalau tampak dari luar, ini tadi seperti pelatihan bisnis, tapi ini kan pengajian atau tausiah.” Teman-teman kontan tersenyum berisi kegembiraan merasakan karena kedekatan Mas Edric dengan Maiyah. Baru kemudian Mbah Nun mengatakan secara lebih jelas, “Artinya, ilmu agama itu universal, tidak fakultatif, dan bisa untuk apa saja. Selama ini kita ditipu oleh cara berpikir yang diperkenalkan kepada kita.” Karena itulah tadi Mbah Nun mengatakan, apa-apa yang disampaikan Mas Edric bisa beliau sebutkan ayat-ayatnya atau kosakatanya dalam khasanah Islam.
Mas Edric seorang nonmuslim dan malam itu, seperti dua titik sebelumnya, Ia merasakan kemesraan di dalam Maiyah dan merasakan penerimaan yang luar biasa dari Mbah Nun, KiaiKanjeng, dan teman-teman jamaah. Malahan Mas Edric sudah sejak awal bertemu Mbah Nun juga menganggap Mbah Nun sebagai mbahnya. Sementara itu, merespons Mas Edric yang mengawal Sinau Bareng persembahan Wismilak ini, saat mengulas ayat syu’uban wa qabaila lita’arofu, Mbah Nun mengatakan sebenarnya makna sukses yang dapat diusung oleh Wismilak adalah bahwa sukses itu adalah sukses lita’arofu, yakni sukses untuk saling mengenal/bermesraan dan sukses karena saling mengenal.
Apa yang berlangsung dalam Sinau Bareng malam itu membenarkan apa yang dikatakan Mbah Nun di awal bahwa “kita tak sempat berpikir parsial”. Bersama Mbah Nun, KiaiKanjeng, Mas Edric Chandra, teman-teman Gambang Syafaat yang mendukung acara ini sekaligus menempatkan Sinau Bareng malam ini sebagai pelaksaan Gambang Syafaat edisi April 2022, teman-teman jamaah Maiyah dan siapapun saja yang hadir untuk kesekian kalinya diajak belajar untuk tidak parsial, belajar untuk universal, belajar untuk memahami bahwa satu bisa untuk semua dan semua bisa dibaca dari yang satu.