Belajar Mencari Upaya Sehat (2)
Shelyna adalah bayi yang baru berusia 4 bulan ketika bersentuhan dengan kami, para cantrik di bidang kesehatan, kedokteran atau apapun namanya.
Bagi kami, Shelyna (dan keluarganya) adalah salah satu guru terbaik kami. Guru dalam kehidupan. Bagaimana tidak, Shelyna divonis menderita penyakit yang boleh dibilang ‘sulit’ untuk dikelola di sini. Bahkan di negara yang sudah maju pun, keberhasilannya masih fifty-fifty. Dia menderita suatu penyakit leukemia yang disebut dengan Juvenile myelomonocytic leukemia (JMML).
Penyakit ini ditandai dengan pertumbuhan yang tak terkendali dari bentuk sel darah putih yang belum matang. Dalam tubuh pengidap JMML, dua jenis sel darah putih yang disebut mielosit dan monosit tumbuh secara tidak terkendali, sehingga menyebabkan berbagai gejala pada tubuh. Diperlukan satu tindakan yang bernama cangkok sumsum tulang, yang ‘belum bisa’ kita lakukan di sini. Kenapa saya gunakan kata ‘belum bisa’? kenapa tidak saya gunakan kata ‘tidak bisa’ ataupun ‘mustahil’ ?
Karena kondisi kita yang sangat dinamis ini, saya ingin tetap menjaga optimisme bahwa suatu saat kita bisa melakukan. Kita bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain, negara lain yang dikatakan atau disebut dengan negara maju. Lebih dari itu saya ingin tetap menjaga optimimisme yang dimiliki oleh Shelyna dan ibunya dalam mengupayakan anaknya yang lucu ini.
Shelyna berasal dari daerah di kaki Gunung Sumbing, yang memang tidak terlalu jauh dari pusat kesehatan, dan masih dibilang dalam jangkauan. Tidak seperti Faiz yang harus terbang menyeberang pulau untuk sampai ke sini. Tidak seperti Badruz yang harus menempuh total perjalanan hampir 7 jam untuk sampai ke tempat ini, walaupun masih dibilang daerah itu adalah wilayah Jawa Tengah.
Oleh sebab itu, saya ingin membangun sinergi dengan guru-guru kecil saya ini dan keluarganya, semoga bisa menumbuhkan energi positif yang bisa pelan-pelan akan menghancurkan hambatan-hambatan terhadap usaha-usaha dalam mencapai kesembuhan. Sementara kalau kita mendengar dan melihat berita tentang korupsi, tentang bancakan sumber daya alam di negeri ini, maka saya hanya bisa menangis dalam hati. Menangisi hambatan-hambatan yang ada di hadapan mata di bidang yang saya geluti.
Hambatan? Iya hambatan…, maka saya bilang di atas bahwa kita ‘belum bisa’ melakukan tindakan cangkok sumsum tulang itu. Mengapa? Karena sarana dan prasarana belum tersedia. Ilmunya ada, tenaga ahlinya kita ada, sudah disekolahkan ke Luar Negeri yang menjalankan proses cangkok sumsum tulang (CST) itu, tapi tetap saja tindakan itu belum menjadi prioritas.
Kadang saya ‘iri’ dengan kawan-kawan saya dari Vietnam, Philipina, Burma, dan beberapa negara tetangga. Kita selalu ketemu sejak 2006 sampai sekarang bertatap muka dalam sebuah forum tahunan yang disponsori oleh suatu lembaga swadaya masyarakat Singapura, dan kita ketemu di Singapura. Kecuali 2 tahun terakhir kita tidak bertemu tatap muka karena pandemi. Tahun itu kita bisa dibilang lebih maju dalam pengelolaan kanker anak, akan tetapi dalam kurun waktu 10-12 tahun kemudian mereka jauh di depan kita.
Kawan dekat saya bernama dr. Ha Van Chau dari Vietnam, kawan dekat sejak awal-awal meeting tahunan di Singapura, banyak belajar dan banyak bertanya tentang kondisi pelayanan kanker anak di tempat kita. Dr. Ha juga serumah dengan saya pada waktu menjalani training di Memphis, Amerika Serikat pada 2017, dan selalu berdiskusi dengan saya kalau malam hari di rumah.
Dan saya tercengang ketika melihat presentasi beliau di salah satu pertemuan regional pada 2019, bahwa di tempat beliau bekerja, di daerah Hue, Vietnam sudah berdiri satu pusat kanker anak lengkap dengan fasilitas pemeriksaan yang hampir lengkap (sampai ke fasilitas sitogenetik – molekuler) beserta sarana pengobatan terkini dan boleh dibilang sangat maju. Saya benar-benar tercengang! Ketika selesai presentasi saya ngobrol dengan dr. Ha, di acara makan siang. Saya tanyakan bagaimana kamu bisa memperoleh semua itu? Beliau menjawab:
“Ya, itu semua saya bisa sampaikan tadi, karena pemerintah dan negara mendukung kami, dan memenuhi kebutuhan kami.”
Saya berharap suatu saat saya akan mengeluarkan kalimat seperti dr. Ha tadi ketika saya ditanya oleh kawan saya dari Pakistan. Berkhayal boleh, kan?
Kembali ke Shelyna. Pagi ini saya lihat dia tersenyum-senyum, wajahnya jauh lebih ceria dibanding dengan kondisi 5 bulan yang lalu yang tampak menderita dan kesakitan. Sekarang bayi cantik ini berumur 9 bulan, dan saat ini Shelyna menjalani kemoterapi, walaupun ini bukan pilihan utama dalam pengobatan, tetapi itulah yang bisa kita kerjakan. Saya yakin membaiknya Shelyna bukan hanya karena kemoterapi yang dia dapatkan, akan tetapi karena doa dari ibunya yang didengarkan Allah, dan Dia mengabulkan permohonan tersebut.