CakNun.com

Aku Kepingin Awakmu Gembira, Sak Karepmu Njaluk Lagu Opo

Liputan Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng bersama warga Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Surabaya, Porong Sidoarjo Senin 22 Agustus 2022
Helmi Mustofa
Waktu baca ± 7 menit

Bergembira, Senang, Tapi Juga Tawadhuk Kepada Mbah Nun

Sekarang saatnya Mbah Nun dan KiaiKanjeng menggembirakan mereka dengan musik KiaiKanjeng. Tetapi menariknya yang muncul kemudian dari obrolan Mbah Nun dengan mereka adalah lagu Lir-Ilir. Bersama-sama mereka menembangkan Lir-Ilir KiaiKanjeng sebagaimana ada pada Album “Menyorong Rembulan”. Semuanya ikut, dan pada waktu tiba pada lantunan shalawat Badar, mereka makin bersemangat dan khusyuk. Ketika tiba pada bagian doa yang dilantunkan Mbah Nun dan Mas Islamiyanto, doa memohon dibukakan pintu barokah dan ampunan, mereka mengangkat kedua tangan mereka, mengamini doa-doa dalam lagu ini. Beberapa terlihat matanya berkaca-kaca.

Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng bersama warga Lapas Kelas 1 Surabaya, Porong Sidoarjo.
Foto: Adin (Dok. Progress)

“Belum pernah KiaiKanjeng membawakan nomor ini dengan diikuti suasana seperti ini. Hanya di sini ini. Tak dongakno awakmu dientengke Gusti Allah,” puji Mbah Nun kepada mereka. Mbah Nun mengajak untuk seneng-seneng yang Allah juga seneng. Beberapa nomor kemudian dihadirkan dan menjadi jalan kegembiraan dan interaksi yang menyenangkan. Ada lagu Ghonilli Suwayya Suwayya, ada lagu India Kuch Kuch Hota Hai, Nassam ‘Alayna, dan lagu zapin melayu Laksmana Raja Di Laut.

Suasana penuh kegembiraan tetapi dalam balutan ketawadhukan kepada Mbah Nun. Lagu Ghonilli dibawakan karena ada warga Lapas yang berasal dari Palestina. Orangnya tinggi besar, mengenakan gamis putih, dan kain putih panjang yang dililitkan di kepalanya dan sisanya menjulur ke bawah. Dia maju, ikut bergembira. Omong-omong sejenak dengan Mbah Nun dalam bahasa Arab. Uniknya, cara dia menyalami Mbah Nun. Bukan jabat tangan biasa. Tetapi persis seperti santri, bahkan lebih. Dia menciumi tangan Mbah Nun, dalam maupun luar. Dia memeluk kepala Mbah Nun, serta mencium pipi Mbah Nun. Kemudian dia ikut bernyanyi dan berjoget. Nomor Ghonilli dibawakan Mbak Yuli dan Mbak Nia.

Area depan panggung dikosongkan buat tempat para warga ikut berjoget. Bergiliran pada ikut maju berjoget. Ada satu warga yang sudah sepuh. Mengenakan sarung, baju batik hijau, dan kopyah di kepalanya. Dari awal hingga selesai sekian lagu, dia ikut terus berjoget, dengan gaya yang bermacam. Pas lagu Laksamana Raja Di Laut, dia duduk dan membikin gerakan seperti pada Tari Saman. Akhirnya ditemani Mas Doni dan dua warga lainnya gerakan tari ini sejenak dilakukan bersama. Beliau yang sepuh ini juga menyalami Mbah Nun dengan cara yang sama, mencium tangan Mbah Nun dengan penuh meresapi.

Saat lagu-lagu dibawakan, beberapa warga lain juga mencoba maju ke depan Mbah Nun lalu salim kepada Mbah Nun, lagi-lagi dengan cara yang sama. Cium telapak tangan luar dalam penuh peresapan. Lagu Medlei Nusantara dibawakan. Pak Jalu dan pimpinan lainnya yang berada di panggung juga ikut bernyanyi, bahkan berjoget. Keakraban antara petugas dan warga cukup terasa. Saat sudah duduk, Pak Jalu mengasihkan rokoknya kepada warga. Rokok itu pun dibagi dengan warga lainnya. Keasikan terus bergulir, sembari Mbah Nun menyisipkan pesan dan doa untuk mereka. “Kalau kalian bersyukur dan senang, InsyaAllah Allah memudahkan pendidikan anakmu, bisa lulus dengan baik. Istrimu di rumah juga bisa mendapatkan pekerjaan dan bekerja dengan baik pula….”

Selepas beberapa lagu, Mbah Nun didampingi Mas Suko Widodo membuka sedikit kesempatan untuk Tanya jawab. Tiga orang maju. Salah satunya, seorang anak muda, membuka pertanyaan dengan salam, Alhamdulillah, shalawat dengan fasih. Mendengar ini, Mbah Nun menggoda, “Awakmu fasih ngono moco Arabe, moco Alhamduliilah Shalawat, yok opo cerotane kok iso neng kene? (Kamu bagus membaca Arab, Alhamdulillah dan shalawat, bagaimana ceritanya kok bisa masuk Lapas ini?).” Geerrrr.

Tiga pertanyaan telah ditampung. Penanya pertama meminta ijazah doa/wirid kepada Mbah Nun supaya hatinya kuat dalam menjalani masa di Lapas ini. Penanya kedua bercerita bahwa selama di Lapas tidak mungkin berhubungan badan. Dalam bahasa dia, di sini dia mengalami faqir seks. Pertanyaannya bagaimana mengatasi hal itu. Ketiga, bagaimana memahami posisi antara agama dan kebatinan/Kejawen. Penanya yang terakhir ini menceritakan bahwa dia bersyukur hidup di Lapas ini. Selama hidup tidak pernah menjalankan syariat. Alhamdulillah di Lapas ini dia sudah khatam belajar ngaji Iqra’. Tetapi yang masih mengganjal di hatinya adalah karena selama ini dia penghayat Kejawen. Lalu dia ingin bertanya posisi Kejawen dalam kaitannya dengan agama.

Mbah Nun bersama Suud Rusli, mantan prajurit Marinir TNI AL, salah satu terpidana di lapas Porong.
Mbah Nun bersama Suud Rusli. (Foto: Adin, Dok Progress).

Mbah Nun memberikan jawaban secara jelas dan gamblang. Yang terpenting dalam wirid adalah hati kita. Hati nyambung ke Allah, dengan harapan dan keyakinan, tetapi jangan sampai mengklaim apapun dengan hasilnya. Wirid sangat banyak jumlahnya. Kalau mau ambil, salah satunya bisa dari doa Nabi Zakariya. Robbi La Tadzarni Fardan Wa Anta Khoirul Waritsin. Doa agar kuta tidak dibiarkan sendirian, melainkan ditemani Allah selalu. Kemudian tentang faqir seks, Mbah Nun mengatakan setiap dorongan muncul, jangan diberi waktu, penuhi dengan dzikir atau wirid. Selalu dorong ke dzikir. Bahkan ingat apa saja, langsung ingatlah Allah. Jika perlu diniati sekalian puasa.

Selanjutnya tentang agama dan kebatinan atau Kejawen, Mbah Nun mengatakan apa yang ada dalam kebatinan dan sekiranya bertentangan atau melanggar syariat agama, jangan dilakukan. Mbah Nun menerangkan bahwa kebatinan itu roso dan upaya manusia secara mandiri untuk menggapai Tuhan, sedangkan agama adalah petunjuk dari Allah sendiri melalui Rasul-Nya yang menyampaikan risalah dan dengan Kitab Suci di mana Allah memperkenalkan diri-Nya, menerangkan apa dan bagaimana agama, berisi petunjuk, dll. Jadi agama datang dari Allah, sedangkan kebatinan itu datang dari pencarian manusia. Salah satu beda antara agama dan kebatinan, menurut Mbah Nun, adalah Allah punya hak memerintah, melarang, dan mengatur, sedangkan manusia tidak punya hak tersebut. Lebih lanjut lagi Mbah Nun mengatakan, “Kadang-kadang kebatinan itu mempesona, tetapi bikin GR….”

Tak terasa waktu shalat dhuhur sudah tiba. Sekitar pukul 12.18 acara segera diakhiri. Mbah Nun mengaja semua warga berdiri dan berdoa. Acara pun berakhir, yang langsung disambung dengan adzan Dhuhur yang merdu dari Masjid Nurul Fuad. (caknun.com).

Lainnya

Topik