CakNun.com

Agar Potorono Tetap Menjadi Potorono

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 12 menit

Setelah lima puluh tahun tidak mengunjungi secara fisik desa Potorono Kapanewon Banguntapan Kabupaten Bantul, malam Senin 19 Juni 2022 ketika saya ikut nderekke Mbah Nun dan KiaiKanjeng mengisi pengajian Sinau Syukur di lapangan Desa Potorono. Saya kaget bukan main. Lumayan shock karena menemukan perubahan besar di desa ini. Potorono yang saya temukan sepertinya bukan lagi Pootorono yang saya kenal lima puluh tahun yang lalu, ketika saya sekolah menengah dan bergaul dengan teman-teman di Potorono dan sering dolan ke Potorono.

Foto: Adin (Dok. Progress)

Setelah shock sebentar, dalam hati saya berharap mudahan-mudahan karakter dasar warga Potorono tidak berubah dan Potorono tetap menjadi Potorono, sebuah masyarakat santri yang unik dan komunal dan menjunjung tinggi nilai agama Islam dan nilai budaya Jawa serta masih suka golek ngelmu. Terbukti dengan judul pengajian ini, sinau Syukur. Sinaunya oke, masih berbau spirit Potorono. Dan mengapa Syukur? Ini yang masih perlu diuji dalam pengajian yang berlangsung sampai tengah malam ini.

Saya memang sekali-sekali melewati Potorono karena ada besan dan menantu adik isteri saya tinggal di desa Potorono,sempat melihat langsung sekilas Embung Potorono dan beberapa kilas di kanal youtube, dan cucu saya kalau hari libur sering dolan ke teman sekolah dia di dusun Balong desa Potorono. Juga ada lokasi Sasono Mandoro (Saman) yang dikelola Gerbang yang sering menjadi pertemuan Nahdlatul Muhammadiyin di dusun Kalangan desa Potorono. Kadang saya jajan sate, mie ayam atau bakso di Wiyoro lalu pulang lewat jalur Ngipik – Karangturi- Kotagede. Juga saya sering menyambangi website Desa Potorono untuk meraba perkembangan dan perubahan desa Potorono.

Juga sahabat-sahabat saya sesama alumni sekolah menengah (Ma’had Islamy Kotagede) yang punya grup WA saling bertukar kabar, sampai saya tahu ada teman sekolah bernama Ruslan dari desa Condrowangsan Potorono yang tinggal di Lampung, aktivis Muhammadiyah Ranting dan Cabang setempat, yang menjadi penemu atau pengembang bibit padi organik dan sudah mendapat pengakuan nasional, juga kiprah teman sekolah yang tinggal di Selong Lombok, di Mamuju, dan teman asal Mertosanan Wetan Potorono bernama Zuchri yang mengajar dan menjadi kiai lokal di Kalimantan dan sekian teman yang tunggu brok atau mukim di Potorono atau desa lain di lingkungan Kapanewon Bantungtapan, Piyungan Pleret.

Tentu termasuk mereka yang setelah sepuh menjadi guru masyarakat desa dengan mengisi pengajian dari mushalla ke mushalla atau dari masjid ke masjid serta adik-adik kelas saya yang aktif di Muhammadiyah dan Aisyiah serta selain sibuk silaturahmi (juga reuni) juga menyelenggarakan tadarus yang setiap person mendapat tugas mengkhatamkan satu juz setiap minggu dan setiap menjelang hari Jum’at membaca surat Al-Kahfi sampai setengah hafal.

Teman sekelas, malah sebangku, saya bernama Dalhar DW yang ayahnya adalah Carik Desa Potorono periode awal terbentuknya desa Potorono dan dia sendii selama 5 tahun menjadi Lurah Desa Potorono punya rumah keluarga di desa Mertosanan Wetan yang besar dan amat luas. Di salah satu ruangan rumah dia, saya dan teman-teman Pemuda Muhammadiyah yang kemudian menjadi Kokam Kotagede sekaligus anggota pecinta alam lokal Lapenta Mataram, pernah latihan seni beladiri pencak silat Tapak Suci.

Beberapa kali ikut latihan saya berhenti karena kesibukan menulis tapi untuk kemudian beberapa tahun setelah itu saya lanjutkan latihan dasar karate di Lemkari, dan kemudian saya tahu kalau pendiri Tapak Suci Pak Barie Irsyad pewaris pencak silat aliran Banjaran dari Mbah Kiai Busyro Banjarnegara ini pernah bertemu dan bersahabat dengan master karate Jepang yang mereka saling betukar ilmu sehingga karakter keras karate ada yang mewarnai jurus Tapak Suci, terutama yang disebut jurus gempuran. Teman-teman saya Kotagede dan Potorono itu kemudian melanjurkan latihan Tapak Suci di Kauman sampai ke tingakt lumayan tinggi. Bahkan teman saya Potorono menjadi anggota pengurus Tapak Suci tingkat pusat, dan juga pernah menjadi wartawan Yogya Post.

Waktu itu saya kenal betul kalau Cah Potorono punya karakter khusus, seneng golek ilmu, atau gemar belajar di mana saja, di sekolah atau di komunitas belajar, termasuk belajar di komunitas sastra seperti di Persada Studi Klub Maliobornya Umbu Landu Paranggi. Selain senang mencari ilmu, Cah Potorono yang hidupnya di desa komunal juga suka saling menolong. Termasuk kalau pagi berangkat sekolah membawa bekal makanan berlebih dan di waktu istirahat kami berbagi makanan, makan di warung Mbok Bon sambil minum teh hangat atau rujak degan yang segar dan ini kami lakukan sehabis pelajaran olah raga, yang gurunya adalah Pak Cipto yan ternyata kelahiran di Gegulu sebuah desa di Lendah Kulonprogo dan masih satu keluarga besar Bani Saya, Bani Yasir.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Tawashshulan di Makam Raja

Tawashshulan di Makam Raja

Setiap Rabu malam di Rumah Maiyah Kadipiro ada Tawashsulan. Ini adalah kegiatan rutin yang sudah berlangsung hampir 6 bulan.

Ahmad Syakurun Muzakki
A.S. Muzakki
Tak Ada Suka Atau Duka

Tak Ada Suka Atau Duka

Coronavirus yang menggegerkan dunia ini, terserah pandangan Anda dari mana datangnya, alamiah atau konspirasi — ujung terjauhnya adalah maut atau kematian pada dan bagi manusia.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version