Zaeta, Bidadari Surga (4)
Hari ini 100 hari kepergian Zaeta. Masih juga menyisakan suatu perasaan yang nano nano. Sedih, haru-biru, sesal, dan banyak lagi perasaan yang berkecamuk di benak ini.
Ibu Sinta mengabari pagi ini lewat WA,
“Assalammualaikum dok.. hari ini 100 hr kepergian Zaeta. Foto ini 2minggu sblm dia pergi. Dia bilng ingin jd dokter anak sprt dokter Eddot. Dia minta dibelikan mainan dokter2ran 2 minggu sblm kepergiannya. Dia bawa ke bangsal dan ingin diperlihatkan sama dokter Eddot.”
Inilah foto Zaeta yang ditunjukkan kepada saya oleh ibunya sambil mengatakan, “Dia ingin menunjukan ini sama Dokter, tapi sayang, aku menyesal sekali tidak mengabari Dokter saat di estela”.
Saya terdiam seribu bahasa. Tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata. Air mata saya meleleh. Perasaan saya tambah berkecamuk. Sedih, sesal, atau apapun. Tetapi saya mencoba memahami apa yang sedang dialami Bu Sinta waktu itu. Sebagaimana saya berposisi sebagai keluarga pasien sekarang. Pengennya saya ingin mengontak dokter yang merawat ibu saya setiap saat. Tetapi saya tahan-tahan, karena saya mencoba membayangkan bagaimana sibuk dan stressfull-nya dokter yang sedang ngupokoro berpuluh-puluh pasien di masa pandemi ini.
Zaeta dan keluarganya, terutama ibunya, memberi saya pelajaran yang sangat banyak. Zaman saya kecil, seorang anak akan sangat wajar kalau bercita-cita menjadi seorang tentara, insinyur, atau dokter. Tetapi, sangat jarang jawaban serupa dijawab oleh anak sekarang kalau ditanya tentang cita-citanya. Kebanyakan di antara mereka menjawab, pengen jadi artis, youtuber maupun selebgram. Walaupun masih ada beberapa di antara mereka yang kalau ditanya tentang cita-citanya masih menjawab pengen jadi dokter, jadi pilot, atau jadi tentara.
Cita-tita akan menjadi ‘pegangan’ seorang anak dan sekaligus menjadi motivasi dalam menjalani kehidupan. Dengan cita-cita seorang insan manusia akan membantu fokus dalam proses kehidupan dan memberinya energi untuk mewujudkan cita-citanya tersebut. Namun, di zaman serba digital di mana medsos mendominasi sisi kehidupan manusia, maka cita-cita instan itulah yang ada di depan mata mereka. Sisi kapital yang superfisial dalam kehidupan ini menjadi yang utama. Being famous is the most important thing to do!
Jangankan anak-anak, orang tua mereka pun banyak yang berlomba-lomba untuk menjadi orang ‘terkenal’, orang ‘top’, dan nanti kalau sudah top (yang ukurannya adalah follower-nya banyak, bahkan ada yang mencapai ratusan ribu maupun sekian juta follower. ‘Like’nya buaanyaaakkk), duit akan datang dengan sendirinya, dengan bermacam-macam endorse yang ada.
Apakah dengan modal tampang yang cakep, cantik, dan kulit putih mulus doang? Ada yang dengan modal lucu atau kocak. Ada yang dengan modal rajin nge-road bike tiap hari. Dan berhasil meraup sejumlah rupiah karena diendorse oleh pengusaha jersey untuk olah raga, terutama sepedaan. Ada juga yang ‘menjual’ kesengsaraan hidupnya, diumbar di medsos, ataupun mengiklankan dirinya, bagaimana kondisinya, apa kebisaannya, dan lain-lain. Macam-macamlah caranya untuk bisa menjadi terkenal yang pada kemudiannya akan menjadi influencer.
Intinya adalah bagaimana cara gampang untuk mencari cuan! Tak ada sengsara-sengsaranya, tak pakai prihatin-prihatin. Kalau perlu dengan mengorbankan prinsip yang selama ini dipegang. Modal HP, Action! Record! Edit pake filter, upload! Tunggu reaksi netizen. Simpel banget. Pokoknya semua dilakukan demi cuan. Apapun dikorbankan. Sedemikian dahsyat sihir yang bernama ‘tenar’. Sedemikian hebat sihir yang bernama cuan atau fulus.
Akan tetapi, ada juga yang tidak seperti itu. Ada yang bermodal memberi tips yang berguna, misalnya memberi tahu tentang fasilitas yang tersembunyi (hidden menu) dalam HP tertentu, atau bagaimana cara membetulkan laptop yang bermasalah, baik di sofware maupun di hardware. Pokoknya sekali lagi, ‘laku’ yang dijalankan adalah serba instan! Sesuai dengan zaman sekarang yang serba instan. Ada mie instan, kopi instan, bubur instan. Itu barangkali yang menginspirasi untuk menjadi kaya secara instan tanpa laku prihatin.
Ini jauh berbeda dengan ‘laku’ yang pernah dijalani Cak Nun, baik selama di Universitas Malioboro, lengkap dengan laku ‘mlaku bisu’-nya mengikuti Eyang Guru Umbu Landu Paranggi. Kemudian mulai diundang untuk berceramah di berbagai tempat, termasuk ke Purwokerto dan tidur di sebuah masjid di Purwoketo sebelum memenuhi undangan untuk ceramah di sana. Atau laku prihatin selama menjalani sebuah program budaya di Amsterdam.
Pada waktu di Belanda beliau memperoleh besiswa, tetapi beasiswanya di-unthet oleh ‘kontak person’-nya di sana, jadilah beliau harus sengsara di tengah musim dingin dan terpaksa tidur di basement sebuah gereja tua (OudeKerk) di daerah Amstelveen, Amsterdam bagian selatan. Kedinginan dan harus berjuang untuk bisa bertahan hidup dengan mempertunjukan ‘aksi’ jathilannya dengan memakan silet, ketika akan coba dirampok oleh orang hispanic di sana.
Saya pun pernah mengunjungi gereja ini atas pesan beliau kepada saya untuk menziarahi pesanggrahan beliau ini, ketika saya menjalani studi di Amsterdam. Masih banyak laku prihatin dari beliau yang tak habis-habisnya bila diceritakan. Yang intinya tidak ada suatu hasil yang dicapai secara instan, tiba-tiba, mak bedunduk terus dapet duit banyak. Nggak ada!
Tentang Zaeta, saya belum pernah menanyakan apa cita-citanya. Tetapi Zaeta sudah menunjukkannya. Bagaimana Zaeta mencoba meng-copy saya. Lihat fotonya yang pake kacamata bulat persis kacamata saya, pakai stetoskop merah seperti stetoskop saya. Aaah dokter Zaeta! Zaeta sudah berperan menjadi dokter untuk dirinya sendiri, Zaeta sudah mencoba menghayati bagaimana menjadi dokter. Zaeta secara tak disadarinya sudah menjalani apa yang Einstein fatwakan, “Cobalah untuk tidak menjadi seorang yang sukses, tapi jadilah seorang yang bernilai.”
Zaeta sudah sangat bernilai untuk saya, untuk residen, untuk perawat dan untuk keluarganya. Untuk ibunya, untuk kakak-kakaknya.
Bagi saya yang kebetulan berprofesi sebagai dokter, Zaeta mengajarkan banyak hal dalam kehidupan. Baik yang tampak maupun yang tak tampak. Saya bilang bahwa ‘kebetulan’ saya jadi dokter, karena memang profesi ini murni karena petujuk Allah. Kapan-kapan saya ceritakan kenapa begitu.
Orang bilang dokter adalah profesi mulia. Walaupun sekarang sudah banyak yang berpikiran kapitalistik di dunia kedokteran. Senior saya bilang, kamu kalau jadi dokter jangan pernah bercita-cita untuk kaya dengan menjadi dokter. Tetapi jangan juga khawatir kamu dan keluargamu akan kelaparan. Mbareng saya pikir bener juga, profesi dokter sebenarnya tak lebih dari buruh harian, sebagaimana tukang batu, buruh bangunan, pengayuh becak, yang bila tidak dapat penumpang maka tidak bayaran. Tidak seperti bapak-bapak yang di sana, yang kalo rapat dan tidur pun tetep gajian. Gede pulak gajinya!
Saya kirim Al Fatehah untuk almarhumah Zaeta. Bu Sinta bilang hari Kamis nanti akan ada tahlilan 100 harinya Zaeta.
“Ya, Dok, saya mau ke makamnya dulu mau nyekar”.
“Salam saya ke Zaeta ya”.
“Iya, Dok,” kata Bu Sinta.
Dokter Zaeta ! salam hormat kami.
Yogyakarta, 3-4 Agustus 2021.