Yang Baik Baiklah, Yang Jahat Jahatlah
Kalau manusia-manusia tertentu, apalagi ternyata adalah bagian dari Jamaah Maiyah sendiri, melakukan pendhaliman kepadaku, merusak integritas dan bebrayanku, menyakiti, merusak dan mengacaukan silaturahmi sosial dan semestawiku, niatilah satu pekerjaan ringan. Melangkah ke Kadipiro, langsung atau bersambung lewat sinyal, melaksanakan “wa sari’u ila maghfirotin min Robbikum wa Jannah”. Satu langkah kecil dan sederhana: menginformasikan, meminta izin dan memohon keikhlasan. Satu langkah sangat pendek: meminta maaf bahwa selama ini kewajiban aikhlaq itu tidak dilakukan.
Karena Allah sendiri menawarkan ampunan, maka Simbah haram hukumnya untuk tidak menyongsong dengan keterbukaan hati dan permaafan, sebagaimana Allah sendiri justru menawarkan sorga permaafan-Nya yang seluas langit dan bumi.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Orang-orang yang menyebarkan kebaikan dan amal salehnya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Meskipun aku mengerjakan semua darma bakti dan amal saleh berpuluh-puluh tahun dengan kedisiplinan atas nilai-nilai Allah, dengan kewaspadaan, kehati-hatian dan sikap merendah, tidak berarti aku hanya berhak untuk memperoleh balasan dari Allah kepada semua yang mendhalimi aku. Aku juga berkewajiban untuk menerapkan sikap dan kemurahan yang Allah sendiri membeberknnya dengan “wa sari’u ila maghfirotin min Robbikum wa Jannah”.
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ
فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ
وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka kemudian ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”
Sedemikian melimpah dan terus-menerus keberlangsungan kekejian perbuatan manusia, sampai-sampai manusia sendiri dalam rangka berikhtiar untuk bertahan dari kekejian itu antara lain dengan cara menikmatinya. Banyak manusia justru senang melihat keburukan manusia lain dan menikmati itu. Banyak manusia yang memelihara situasi agar keburukan manusia itu terus berlangsung sehingga ia mendapatkan sesuatu yang sebaliknya.
Tetapi sejak kecil aku menikmati perbuatan baik dari diriku sendiri dan oleh siapapun. Namun aku dilarang untuk membanggakannya secara sosial. Aku sendiri melarang dan menghindarkan diriku sendiri dari masokhisme sosial di mana aku seakan-akan mensyukuri orang berbuat buruk karena hal itu membuatku istimewa, sebab aku tidak melakukan hal yang sama dibanding yang dilakukan oleh banyak manusia.
Aku tidak menikmati pendhaliman dan penganiayaan siapapun atas diriku. Meskipun aku tahu menurut Allah mereka itu pada hakikatnya menganiaya diri mereka sendiri. Dan apabila seseorang atau banyak orang menimpakan kejahatan dan penganiayaan kepadaku, tatkala itu semua sampai kepadaku, sangat bisa berubah menjadi kenikmatan. Orang-orang yang merugikanku menghasilkan keuntungan bagiku. Orang-orang yang memfitnahku memproduksi berkah-berkah baru padaku. Orang-orang yang merusak sejarah hidupku tidak pasti membuat sejarahku rusak. Karena Allah merajai segala sebab-akibat. Allah bisa mengubah atau membalik apa saja dengan sangat mudah pada kehidupan hamba-hamba-Nya.
Karena sedemikian maha kayanya Allah maka Ia tidak pernah mengalami kerugian apapun. Demikian juga manusia-manusia yang berpihak dan meletakkan hidup dengan-Nya, memaiyahkan nasibnya di tangan kemahakuasaan-Nya. Maka Allah tidak menjadi berkekurangan apapun untuk tetap merahmati manusia, memurahi manusia.
أُولَٰئِكَ جَزَاؤُهُم مَّغْفِرَةٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ
تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
“Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.”
Akan tetapi manusia sendiri yang kebanyakan sakit akal dan sakit jiwa. Banyak di antara manusia yang memilih menuhankan dirinya sendiri. Memilih kesombongan dan kesembronoan untuk terus-menerus melakukan pendhaliman terhadap sesama manusia. Dengan penuh kebodohan mereka berpikir dan menyangka bahwa mereka berkuasa atas sebab akibat dari perbuatannya. Mereka bahkan meyakini bahwa mereka pemilik “as-shirathal mustaqim”. Sehingga mereka terus-menerus melampiaskan nafsunya, kejahatannya, seolah-olah mereka dan keluarga akan sanggup menanggung akibat-akibat dari kejahatannya.
قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ
فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan nilai-nilaiNya.”
Hanya orang kemplo yang tidak mampu berpikir apa itu sunnah-sunnah Allah. Wilayah keberlakuannya apa saja. Lingkup dan jangkauan konteksnya meliputi apa saja. Ada yang berpikiran, saking dungunya, bahwa sunnah Allah adalah Rukun Islam atau Syariat. Itu pun tidak berpikir bahwa syariat Allah meliputi rumput menyebar, pohon tumbuh, gunung meletus, bahkan juga nasib dan takdir atas manusia dengan keluarga dan anak turunnya.
Tatkala Allah memfirmankan “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah”, mereka pikir bahwa dulu ummat Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Ibrahim hingga Nabi Musa dan Nabi Isa sebelum Nabi Muhammad juga sudah diwajibkan shalat, puasa, zakat, berakhlaqul karimah dan seterusnya. Akal mereka tidak mengaktivasi imajinasi bahwa sunnah Allah itu termasuk gerhana rembulan dan matahari, meteor-meteor berkeliaran, gunung meletus, tsunami, orang berkendaraan mengalami kecelakaan, orang berdagang mengalami kebangkrutan, orang berkuasa mengalami kejatuhan, bahkan ada yang akan nggeblak atau njungkel atau ndlosor.
Firman Allah di atas menyatakan bahwa sejak dahulu kala Allah selalu menerapkan atau mengeksekusikan sunnah-sunnah-Nya. Kebiasaan tindakannya. Ketetapan hukumnya. Ketegasan balasannya atas kebaikan atau kejahatan manusia. Maka Allah merekomendasikan bahwa bidang ilmu paling utama yang ummat manusia semua zaman dan segala generasi harus konsisten mempelajarinya adalah “fandhur kaifa ‘aqibatul mukadzddzibin”. Lihatlah, telitilah, petakan dan rumuskan segala kejadian kebohongan manusia dan akibat-akibat yang menimpa mereka.
Allah menegaskan bahwa mutlak pasti balasan atau akibat dari kebohongan dan pembohongan itu terjadi. Kebohongan dan pembohongan politik. Kebohongan dan pembohongan informasi. Kabohongan dan pembohongan konten-konten perilaku dan hasil perbuatan manusia hidup dalam hal apa saja, apalagi yang disebar ke seluruh dunia. Setiap orang yang menemukan dirinya melakukan kejahatan, kebohongan dan pembohongan ini, sadar atau tidak, akan sampai pada momentum “sunnah” itu. Sunnah itu tradisi. Kebiasaan. Bisa kebiasaan memberi kemurahan. Bisa kebiasaan membalas perbuatan jahat. Bisa kebiasaan mempahalai atau menghukum. Merahmati atau mengadzab.
Oleh karena itu aku bukakan kepadamu firman “Wa sari’u ila maghfiratin min Rabbikum wa Jannah”. Bersegeralah. Ayo gek wis. Gagi-gagi mumpung belum tiba momentum “idza waqa’atil waqi’ah, laisa liwaq’atiha kadzibah”.
Simbah tidak bisa menolongmu. Bahkan Simbah tidak bisa menolong dirinya sendiri dari sunnah Allah, kepastian dan ketetapan hukum Allah, keabsolutan balasan dari keadilan Allah, yang sudah diberlakukan sejak awal penciptaan manusia. Qad khalat min qablikum sunanun.
وَلَا تُجَٰدِلۡ عَنِ ٱلَّذِينَ يَخۡتَانُونَ أَنفُسَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ خَوَّانًا أَثِيمٗا
“Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa.”
فَبِمَا نَقۡضِهِم مِّيثَٰقَهُمۡ لَعَنَّٰهُمۡ وَجَعَلۡنَا قُلُوبَهُمۡ قَٰسِيَةٗۖ
يُحَرِّفُونَ ٱلۡكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ وَنَسُواْ حَظّٗا مِّمَّا ذُكِّرُواْ بِهِۦۚ
وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَىٰ خَآئِنَةٖ مِّنۡهُمۡ إِلَّا قَلِيلٗا مِّنۡهُمۡۖ
فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱصۡفَحۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Akan tetapi di atas itu semua yang saya tulis dan wanti-wantikan, aku bersikap sebagaimana Allah sendiri :
وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ
إِنَّآ أَعۡتَدۡنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ
وَإِن يَسۡتَغِيثُواْ يُغَاثُواْ بِمَآءٖ كَٱلۡمُهۡلِ يَشۡوِي ٱلۡوُجُوهَۚ
بِئۡسَ ٱلشَّرَابُ وَسَآءَتۡ مُرۡتَفَقًا
Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.