Wartawan Kaos Oblong
Sesudah semalaman ditampung di rumah Mas Darmanto, saya pindah ke rumah Mas Bambang Subendo, yang juga saya perlakukan sebagai semacam Puskesmas — meskipun ketika itu sedikit pun tidak terbersit di hati dan pikiran kami untuk berobat ke Dokter. Mas Bendo, juga keluarga beliau, sama lembutnya dengan Mas Darmanto. Mereka sangat terbuka dan ramah kepada pengungsi dari Malioboro, meskipun Mas Bambang Bendo bukanlah penyair.
Beliau adalah wartawan senior di Yogya yang bertugas sebagai jurnalis Harian “Sinar Harapan” Jakarta. Di antara banyak tugas peliputannya, beliau sangat memperhatikan dunia kesenian, kesusastraan, serta sangat mensahabati para seniman, termasuk menyantuni pengungsi seperti saya. Sampai sekian tahun kemudian ketika komunitas Dipowinatan memproduksi Karawitan maupun Teater Dinasti, Mas Bambang memberi simpati dan sering meliput.
Ternyata kemudian saya juga bertugas menjadi wartawan di Harian “Masa Kini”, yang ketika itu masih bernama “Mertju Suar”, koran yang kantornya satu komplek dengan Percetakan di Jl Gondomanan Yogya yang gudangnya tempat saya berlindung karena sakit. Dari tahap belajar jurnalistik sampai kelak saya menjadi semacam mentor atau trainer kewartawanan, Mas Bambang Bendo adalah senior yang membimbing saya. Dari beliau memanggil saya “Nun”, sampai sekian tahun kemudian menjunjung saya dengan panggilan “Mas”, meskipun beliau sudah dipanggil Allah sebelum saya “Cak” apalagi “Mbah”.
Kalau Mas Bendo, karena posisinya adalah semacam koresponden dari media pusat di Jakarta, maka tugas liputannya semua bidang kegiatan masyarakat dan negara. Sementara saya, karena hanya bekerja sebagai wartawan koran lokal, maka berbagi dan bergilir bidang liputan dengan teman-teman wartawan lain. Tentu tugas awal saya adalah wilayah kesenian dan kebudayaan. Apalagi saya merangkap menjadi redaktur Rubrik Remaja dan Kaum Muda yang memuat karya-karya sastra. Penyair misalnya Mustofa W Hasyim adalah penulis rutin yang sangat sering kasih puisi-puisinya ke kantor Masa Kini Gondomanan seminggu dua tiga kali.
Kemudian saya digeser ke bidang sosial politik dan Universitaria, kemudian Hukum, kemudian Agama dst, yang sangat memberikan kepada saya bermacam-macam pengalaman bermasyarakat. Dari meliput pementasan kesenian modern maupun tradisional, sampai meliput Pengadilan kasus-kasus, demo-demo mahasiswa, ikut Polisi menggerebeg pos penjualan narkoba dan macam-macam lagi di sekian Kabupaten Daerah Istimewa Yogyakarta. Itu semua naik kendaraan umum, sampai Bis kami ke Wonosari hampir terguling ke jurang karena berpapasan dengan Bus lain yang berlawanan arah namun kecepatan terlalu tinggi di jalanan yang sangat menikung-nikung.
Mas Bambang Subendo bukan hanya senior saya, tapi juga senior semua wartawan Yogya. Ketika saya melakukan tindakan yang hampir “politis-kriminal”, Mas Bambang juga yang mengatasi akibatnya. Ada Upacara Militer Luar Biasa di Stadion Kridosono. Tentara berbaris berlapis-lapis. Para perwira tinggi dan Ibu-Ibu duduk di balkon, dari atas hingga bawah yang sejajar dengan lapangan. Saya datang terlambat, ketika semua sudah resmi di tempatnya masing-masing. Saya pakai kaos oblong masuk dari pintu barat-selatan, sampai depan balkon, berjalan ke utara tepat di depan para Perwira termasuk Pangdam IV Diponegoro ketika itu.
Saya tidak mengerti “akhlaq”nya, tidak memenuhi etika upacara, berjalan biasa sebagaimana setiap malam dengan Umbu Landu Paranggi dan para pembelajar puisi di Malioboro. Ternyata kemudian ketika makan siang di sebuah barak, datang seorang perwira tinggi TNI, mencari siapa tadi wartawan yang ngawur dan membentak-bentak saya habis di depan semua teman-teman wartawan lain dan sejumlah tamu. Mas Bambang yang tampil ngerih-erih beliau, memintakan maaf atas perilaku tidak sopan saya.
Sudah pasti saya merasa bersalah dan ikut minta maaf. Tetapi yang saya alami dalam hati atau psikologi kejiwaan saya adalah sesuatu yang luar biasa dan baru pertama kali itu saya mengalaminya. Saya tidak marah atau tersinggung, tidak takut atau berani, tidak ada perasaan apa-apa, kosong saja, seolah-olah saya tidak sedang mengalami benturan sosial apa-apa.
Perasaan kosong dan steril seperti itu yang juga saya alami ketika menangani konflik Dayak-Madura di Sanggau, berbagai adegan kasus Kedungombo Boyolali, bentrok massal Inti-plasma Tulangbawang Lampung, kemurkaan pasukan Balanipa di Majene Sulawesi Barat, juga kelak berbagai peristiwa selama kasus Lumpur Sidoarjo menghimpit saya.
Mungkin selama menjadi jurnalis, saya menyaksikan dan mengalami banyak dilema, ironi, konflik, bahkan sarkasme dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana atau yang kelak tercermin nuansa zaman itu dalam puisi-musik Karawitan Dinasti yang berjudul “Nyanyian Gelandangan”:
Bayangan suara Tuhan dan pinggul yang digoyang-goyang
Kenapa kamu merasa gatal memandangnya sebagai wayang yang jejer berhadapan
Kata orang inilah lanskap yang membingungkan
Tapi di pandanganku: apa salahnya Kitab Suci dilombakan sebab toh kitab suci memang hanya untuk dilomba-lombakan, sebab kalau dipraktekkan dan dilaksanakan akan justru menimbulkan permusuhan dan pertengkaran
Dan apa salahnya pinggul digoyang-goyang kalau memang untuk jiwa kita yang menggelegak bagai lautan tidak ada lain yang bisa memberi tawaran
Hei… wahai kamu bintang gemintang
Hei… kami telah ditipu oleh arah, arah, arah
Utara dan selatan hanyalah arah, tapi utara bisa menjadi selatan dan selatan bisa menjadi arah. Dan selatan bisa menjadi utara.
Jadi, ayo! Ayolah ayo ini bayangan suara Tuhan. Dan ini pinggul yang digoyang-goyang.