Warga Dungu, Hina, Tak Berdaya
Kalau ada yang ingin tahu siapa itu warganegara yang paling dungu, paling hina dan paling tak berdaya, ketahuilah bahwa akulah itu orangnya.
Ini bukan retorika. Bukan sindiran. Bukan playing victim. Bukan dilebih-lebihkan. Bukan lebai. Bukan aleman. Bukan merajuk. Bukan balaghah apapun yang menjauhkannya dari fakta. ‘Ilmulyaqin, ‘haqqulyaqin, ‘ainulyaqin, ciker bungker matèk ngadek, wallahilladzi biyadihi hayati wamauti, memang demikianlah adanya. Secara ilmu pasti maupun ilmu sosial. Secara matematika maupun budaya.
Aku warga suatu negara yang aku termasuk paling dungu untuk mengenalinya. Aku terlalu dungu untuk tahu apakah bangsa dan negara hunianku ini dulu dijajah oleh Buto-buto Mancanegara selama 350 tahun, ataukah hanya Raja-raja dan Sultan-sultannya dikibulin, ditipu-tipu secara politik dan diperdaya secara ekonomi, sementara rakyatnya dieksploitasi.
Aku juga terlalu dungu untuk menilai apakah justru pada 17 Agustus 1945 itulah penjajahan dunia Barat baru dimulai dan berlangsung sampai hari ini. Maka jangan tanyakan kepadaku apakah benar bahwa justru pada hari bangsaku memproklamasikan kemerdekaannya itulah dimulai penjajahan yang sesungguhnya.
Jangan mengkonfirmasikan pengetahuan kepadaku bahwa pada hari yang dibanggakan oleh bangsaku sebagai Hari Kemerdekaan itulah khatam ilmu bangsa-bangsa Barat tentang bagaimana menjajah bangsaku. Mereka sudah tamat membukukan bagaimana jenis karakter bangsaku, budayanya, psikologinya, kekuatan dan kelemahannya. Lantas mereka melakukan beberapa check and recheck dengan try out selama empat tahun hingga 1949. Sejak itu mereka matang pengetahuan, ilmu dan strateginya untuk menjadikan bangsaku menjadi patuh, pengekor, pembebek, muqallidin, anut grubyug, rubuh-rubuh gedang. Dan itulah hasil pertemuan-pertemuan para tokoh bangsaku sekian tahun mempersiapkan apa yang mereka sebut kemerdekaan bangsanya.
Tetapi bahkan malah merasa bangga dijajah. Menolak kepribadiannya sendiri, membuang kekayaan nilai sejarahnya sendiri, dengan mantap melanjutkan perjalanan sejarah kebangsaannya tidak dengan otentitas pikiran dan aspirasinya sendiri. Bangsaku menjalani kehidupannya dan membangun sejarahnya tidak dengan meneruskan siapa diri bangsanya, melainkan mengadopsi dari Barat semua apa yang dilakukan dan dibangunnya.
Jangan tanyakan kepadaku apakah benar demikian. Aku warga negara yang kurang terpelajar. Sekolah Dasar dipindah-pindah. SMA lulus tidak murni. Masuk Universitas hanya mampu 4 bulan karena tidak punya bakat dan kemampuan untuk mengikuti program-program studinya. Setelah gagal studi aku juga tidak punya kemampuan untuk berkarier. Dagang tidak becus. Berpolitik apalagi. Sebabnya menurut orang-orang pandai berpolitik adalah berdagang tingkat tinggi. Sedangkan berdagang adalah kecanggihan elit menjalankan Agama. Sementara beragama adalah adalah diplomasi dengan level strategi tercanggih kepada Tuhan dan kehidupan.
Aku berada pada level terendah dari itu semua. Bahkan aku tidak tahu hal-hal yang paling elementer, sederhana, awam dan mendasar dari fakta-fakta kebangsaan dan kenegaraan. Aku tidak mengerti apa maksudnya kalimat “Hal2 yang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja” pada alinea kedua teks Proklamasi Kenegaraan bangsaku.
Aku tidak bisa memahami kalau ternyata masih ada sesuatu yang belum beres atau selesai, kalau memang masih ada kekuasaan yang belum dipindah-tangankan, bagaimana bisa sebelumnya menyatakan “Kami, bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia”.
Nilai pelajaran Bahasa Indonesiaku di SD berkisar antara 4-6. Mustahil aku sanggup memahami bahwa ada pernyataan kemerdekaan sementara ada kekuasaan yang belum dipindahkan. Aku tidak tahu maksudnya kekuasaan atas apa. Dipindahkan dari siapa ke siapa. Kapan pemindahan kekuasaan itu dilaksanakan, tahun berapa, bulan apa dan tanggal berapa. Cara yang saksama itu maksudnya apa. Tempo sesingkat-singkatnya itu maksudnya dari kapan ke kapan sehingga disebut sesingkat-singkatnya.
Pernah ada yang menanyakan kepadaku apakah pemindahan kekuasaan itu maksudnya dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Bangsa Indonesia. Mana aku tahu. Apalagi kalau ternyata pemindahan kekuasaan itu belum dilaksanakan padahal sudah terlanjur memproklamasikan kemerdekaan, apakah itu proklamasi? Apakah itu kemerdekaan?
Andaikan saya dulu cukup punya kapasitas berpikir yang mencukupi untuk kuliah di Universitas, mungkin ada sedikit-sedikit wawasan yang bisa kupunyai. Misalnya yang dimaksud pemindahan kekuasaan di Alinea 2 Proklamasi itu adalah landreform, pengalihan konstitusional hak-hak atas tanah seluruh Indonesia dari otoritas Sultan-Sultan dan Raja-Raja yang jumlahnya lebih 210 ketika itu, kapan hal itu “diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja”?
Tetapi faktanya sampai hari ini aku dungu soal itu semua. Aku juga tidak punya bayangan atau apalagi wawasan pengetahuan tentang bagaimana prosesnya sehingga tanah air Nusantara yang sebelum 17 Agustus 1945 adalah milik para Raja dan Sultan mendadak menjadi milik NKRI? Bagaimana perundingan tentang transformasi konstitusionalnya? Misalnya Kraton di mana saya bertempat tinggal, yakni Kraton Ngayogyakartahsdiningrat, sebelum ada NKRI, mereka menggunakan landasan konstitusi apa? Apakah menggali wacana dari Kitab Tajus Salatin, Bustanus Salatin atau Kitab Suryorojo, sedemikian rupa sehingga Sultan seserta Raja-Raja se Nusantara bisa rela dan tulus ikhlas melepas hak milik mereka dialihkan menjadi milik Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan undang-undang yang dicopy-paste dari Kerajaan Belanda?
Aku sangat menyesal kenapa tidak punya bakat dan kemampuan untuk bersekolah dan menjadi bagian dari kaum terpelajar. Tetapi ada sedikit hikmahnya juga. Dari Jombang ke Gontor kemudian tinggal di Yogya. Bekerja di Kantor Mertju Suar yang untuk menncapainya dari Kadipaten Lor tempat kost saya, harus berjalan kaki melintasi Ngasem, Kraton, dua kampung lagi dan keluar ke Jl Brigjen Katamso. Tiap sore dan malam saya melintasi jalanan itu, sehingga sedikit demi sedikit aku mulai tahu apa-apa yang aku tidak tahu. Serba sedikit aku menjadi bisa menghimpun pertanyaan-pertanyaan tentang bangsa dan negaraku, meskipun sampai hari ini aku sendiri tidak mampu menjawabnya.
Sampai sekarang aku bahkan sama sekali tidak punya pengetahuan tentang hal-hal sederhana dari kenyataan bangsa dan negaraku. Aku tidak tahu apakah Bung Karno itu dulu lahir di Blitar ataukah Surabaya ataukah Solo alias Surakarta? Jangan konfirmasi kepadaku apa benar Bung Karno adalah orang Kraton Pakubuwanan Solo, putra Sri Susuhunan Pakubuwono 11?
Jangan melacak kepadaku berapa istri resmi Bung Karno, berapa putra putri beliau dari keluarga resminya ataupun dari luar lingkaran keluarganya? Tolong melacak dan mencari narasumber yang lebih punya otoritas dan kredibilitas ilmu kesejarahan tentang apakah Bu Megawati itu benar putrinya Bung Karno? Apakah benar Mbak Tutut adalah putrinya Pak Harto? Bagaimana dengan Pak Susilo Bambang Yusdhoyono, Pak Budi Gunawan, dan Pak Jokowi?
Aku lebih dungu dan sangat tidak mengerti juga tentang apa-apa yang disebut “Dana Bung Karno”, “Dana Revolusi”, ditambah tumpukan dan simpanan berjuta-juta ton emas dan logam-logam mulia lainnya, yang diisyukan merupakan kekayaan Bung Karno, yang tersimpan di berbagai Lembaga dan tempat-tempat lain di dalam dan luar Negeri. Termasuk “Yunan Agreement” 1957 yang katanya Bung Karno menghutangi uang dalam jumlah sangat besar kepad Presiden Amerika John F. Kennedy dan pemimipin Tiongkok Mao Tse Tung. Mana saya tahu itu. Aku sungguh-sungguh bukan narasumber untuk fakta-fakta besar sejarah semacam itu. Aku bahkan takjub Bung Karno itu dulu bekerja apa dan di mana sehingga kok sampai ada “Dana Bung Karno” dst itu.
Aku hanya warganegara yang dungu, hina dan tak berdaya. Aku pernah masuk Pentagon, Kraton Dalem Yogyakartahadiningrat, dan bersama KiaiKanjeng pentas di Gedung Dunia di Berlin untuk memperkenalkan filosofi politik “Gundul-gundul Pacul”. Aku masuk ke sejumlah “ruang dalam” Amerika Serikat karena kedatangan dan tinggalku setahun di sana tidak atas undangan Iowa Writing Program, melainkan oleh Pemerintah Amerika Serikat melalui Kedubes mereka di Jakata, dan hal itu memberiku sejumlah political previleges untuk blusak-blusuk di Negeri Paman Sam itu.
Bersama KiaiKanjeng aku juga dibukakan komplek makam Syekh Imam Badawi di Tantha Mesir, cucu Rasulullah Saw, menyentuh surban dan peninggalan-peninggalan lain dari Kanjeng Nabi, suatu tempat yang tak seorang Presiden pun, termasuk Kepala Negara Mesir sendiri pernah dibukakan pintu itu dan diperkenankan memasukinya. Kami bahkan bisa memeluk jenazah almarhum Raja Fir’aun maupun masuk ke Lorong lubuk Piramidanya. Di kafe-kafe saya diperlakukan seakan-akan saya Menteri Agama dan Kebudayaan Indonesia dan calon Presiden RI. Ini juga terjadi di Korea Selatan, Vatican, Napoli, dan Teramo Italia. Serta sejumlah pengalaman semacam itu lainnya di beberapa Negara lain.
Tetapi para tetua Jawa mengajarkan “ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumèh”. Sehingga yang kulihat pada diriku sampai hari ini tetaplah seorang warganegara rendahan, awam, wong cilik, yang dungu, hina dan tak berdaya. Bahkan aku belum pernah benar-benar tahu apakah Pak Jokowi itu Kepala Negara ataukah Kepala Pemerintahan. Aku tinggal dua tahun di Berlin Jerman Barat dan diajari oleh sahabat saya almarhum Basuki tentang komunisme sosialisme, serta berguru kepada sahabat lain yang jiwanya suci sejati bernama Pipit Rukhiyat tentang beda dan pilah antara Negara dengan Pemerintah. Tetapi seluruh pelajaran dari beliau berdua, sampai pengalaman di komunitas Gröne Frankfurt yang dahsyat, begitu sampai ke Indonesia, menguap dan sirna. Aku kembali menjadi manusia dungu, hina dan tak berdaya.
Kenapa dungu? Karena aku sungguh-sungguh awam dan tidak mengerti apapun tentang itu semua. Kenapa hina? Karena andaikan ada kandungan nilai tertentu di balik pertanyaan-pertanyaan itu, aku tidak mampu menjawabnya, sehingga aku tidak mampu juga menolong bangsaku dalam hal apapun. Kenapa tak berdaya? Karena dengan semua itu, semakin nyata bahwa aku bukan faktor apapun, apalagi yang penting dan berguna, dalam kehidupan bangsaku. Kalau rumusnya adalah “la haula wala quwwata illa billahil ‘Aliyyil ‘Adhim”, tak ada kuasa dan tak ada kekuatan selain di tangan Allah Swt, maka belum tentu aku diciprati kuasa dan kekutan itu. Karena mungkin menurut pandangan Allah, aku tidak memiliki persyaratan-persyaratan apapun yang membuat Allah mencipratkannya kepadaku.
Maka seluruh yang aku tuturkan di Kebon seri ini hanyalah daftar pertanyaan, tumpukan ketidaktahuan dan mozaik ketidakmengertian. Dan aku tidak hanya dungu serta hina karena belum pernah berperan apa-apa bagi bangsa dan negaraku, lebih dari itu aku juga tidak berdaya. Tidak beradaya dalam segala hal, segala perkara, semua konteks dan seluruh tema di tengah bangsaku.
Kalau Allah swt mempeingatkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Mohon pengertian bahwa yang kutulis ini bukan berita, melainkan pertanyaan. Ini bukan transfer informasi, melainkan ketidaktahuan. Andaikanpun ternyata menurut Allah dan siapapun saja aku adalah orang Fasiq, tapi aku tidak “membawa suatu berita”. Dan tak ada niatku sama sekli untuk “menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Justru semua ini kututurkan karena aku menyesal tidak punya pengetahuan apapun tentang yang kutanyakan.