Tukang Bully Ekonomi
Setelah Serikat Dagang Islam yang misi utamanya melakukan advokasi kepada sesama pengusaha dan pedagang batik berubah dengan melakukan transformasi struktural menjadi organisasi politik bernama Syarikat Islam maka pada berikutnya aktivis SI ikut bergabung dalam Masyumi. Infrastruktur sosial ekonomi berbasis batik dan tekstil pun dibangun dengan mendirikan GKBI yang menjadi organisasi payung koperasi batik yang kebanyakan tumbuh di Jawa. Dalam praktik politik ekonomi koperasi batik mendapatkan subsidi yang melimpah. Dan ini membuat masa kejayaan industri batik pribumi berlangsung.
Di Yogyakarta beberapa waktu lalu masih ada jelas jejak fisiknya. Ada Gedung Pertemuan PPBI yang di depan gedung ada prasasti yang saya dengar dulu merupakan tanda peresmian gedung itu oleh Bapak Koperasi Mohammad Hatta. Di timur pojok Beteng tenggara ada kompleks pergudangan dan perkantoran PPBI. Lalu di kampung Panembahan malah ada dua gedung pertemuan untuk resepsi manten dua buah.
Di timur kompleks pergudangan PPBI ada sekolah menengah milik persatuan pengusaha batik ini dan di seberang gang ada gedung pertemuan umum. Di Karangkajen juga ada gedung pertemuan. Malah di ujung selatan lagi ada pabrik mori penghasil bahan baku batik. Dan di utara Jogokariyan, dekat gedung YKU sekarang ada TK Berkemajuan PPBI yang sekarang masih ada. Dan di Sidikan ada SD Berkemajuan PPBI yang kemudian menjadi kampus IKIP Muhamadiyah yang kemudian bertransformasi menjadi Universitas Ahmad Dahlan.
Masa kejayaan koperasi batik dan organisasi pengusaha batik ini tumbuh bersama dengan kejayaan koperasi pengusaha perak Kotagede (KP3Y) yang gedungnya masih ada di jalan utama kota ini.
Pada zaman itu orang-orang Kalang hijrah dari Kotagede ke Solo dan tempat lain. Yang bertahan di kota Yogyakarta melakukan hijrah ekonomi dengan membuka usaha perhotelan dan usaha angkutan umum, bis.
Umat Islam melakukan rekonstruksi ulang basis ekonominya dengan membangun infrastruktur lengkap industri tekstil. Yaitu membangun pabrik pemintalan benang (patal) di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur untuk mensuplai kebutuhan pabrik tekstil milik masyarakat batik pribumi. Limbah pabrik pemintalan benang dimanfaatkan oleh masyarakat Purbalingga untuk dijadikan benang tenun lurik dengan cara diantih atau dipintal secara manual.
Pabrik tekstil (batik) dibangun di mana-mana. Industri kerajinan tenun juga tumbuh di mana mana, termasuk di Tuban, Pemalang, Klaten, Ponorogo, Banyumas, dan Yogyakarta. Industri tenun ini menemani industri batik dalam produksi dan jaringan pasar nasional dan ekspor… Tekstil dan koperasi menjadi soko guru ekonomi umat Islam atau masyarakat Muslim.
Sekolah koperasi juga berdiri di mana-mana. Fakultas industri tekstil dibuka, demikian juga sekolah menengah kerajinan tekstil dan teknik tekstil. Jurusan seni tekstil juga dibuka. Mereka menjadi berdaya secara ekonomi dan jaringan ekonomi mereka mampu membiayai pentas keliling Teater Muslim yang tengah melakukan perlawanan budaya terhadap kelompok Lekra yang tengah gencar melakukan provokasi budaya dengan mementaskan ketoprak atau ludruk yang konten pertunjukannya mendelegitimasi dan mendiskreditkan Tuhan dan malaikat.
Teater Muslim di bawah pimpinan Mohammad Diponegoro melakukan safari teater dengan mementaskan lakon Iblis sehingga publik muslim paham kalau yang iblis itu ya kaum komunis. Publik muslim merasa terbela dan teradvokasi secara kultural dalam perang wacana budaya dan perang aksi budaya menghadapi provokasi budaya kelompok Lekra dan kerabatnya.
Dengan tumbuhnya kekuatan ekonomi publik muslim yang di hilir usaha menghasilkan para pedagang tekstil tenun dan batik yang kemudian mewarnai (mendominasi) pasar besar tradisional di kota-kota besar di Jawa ini yang membuat masyarakat dan publik muslim menghadapi tsunami ekonomi pada akhir Orde Lama. Mereka tidak ambruk, bahkan menjadi kelompok filantropi atau relawan dalam menolong tetangga yang kekurangan secara ekonomi.
Dan aneh bin ajaib, Orde Baru yang awalnya berpihak kepada koperasi dan industri tekstil milik masyarakat dan publik muslim atau publik pribumi kemudian muncul penunggang gelap ekonomi (dark rider) Orde Baru yang bergerak secara sistematis melumpuhkan, melemahkan, dan ‘menghancurkan’ infrastruktur ekonomi pribumi mulai dari hulu (bahan baku), proses produksi, sampai hilir (pasar tradisional).
Saya pernah wawancara intensif dengan mantan pejabat di atase perdagangan Indonesia di sebuah negara adidaya dan dia memberikan gambaran tentang ini. Wawancara yang merupakan serangkaian ‘penelitian mikro’ tekstil tradisional di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta ini kemudian disusun menjadi buku tentang bagaimana upaya membela tekstil tradisional memang merupakan ikhtiar yang penuh tantangan.
Tahun-tahun sebelum muncul pandemi Corona saya dan teman-teman melakukan serangkaian wawancara intensif ke berbagai pelosok Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta dan menemukan bagaimana secara ajaib dan unik para aktivis kerajinan tenun dan benang tenun bisa bertahan bahkan berkembang menjadi salah satu kekuatan ekonomi masyarakat bawah dan umat di akar rumput. Dan saya bersama teman-teman menemukan fakta bahwa selama masyarakat bawah punya kesibukan berusaha ekonomi, aktif mengabdi kepada Tuhan dan aktif melakukan kegiatan ekspresi kultural agama mereka akan terjaga menjadi masyarakat yang moderat dalam beragama.
Terus terang, saya punya perhatian besar pada kerajinan tenun, batik, dan industri tekstil serta produk tekstil ini karena dalam DNA saya mengandung benang sejarah tekstil ini. Kakek nenek buyut saya, khususnya nenek dari ibu saya adalah pengusaha batik asli Gegulu Lendah Kulonprogo yang menyeberangi sungai Progo masuk ke Kotagede sebelum atau sesudah Perang Diponegoro. Pengusaha dan sekaligus pedagang batik yang berhasil, punya toko di jalan utama Kotagede. Rumah nenek buyut di kampung Prenggan berupa joglo lengkap dengan pendapa dan ada garasi andong sebagai kendaraan dinasnya. Halamannya luas. Waktu saya kecil dan remaja sering dolan ke rumah Mbah Buyut yang bernama Mbah Yasir ini.
Waktu saya jadi juri lomba Ranting Muhamadiyah, Ranting Gegulu masuk nominasi dan saya datang ke desa leluhur ini mencari data kemajuan Ranting ini. Beberapa orang tua yang saya tanyai mengenal Mbah Buyut saya. Tetapi puluhan tahun kemudian ketika saya bersama teman saya yang orang tuanya ahli silsilah dan punya berjilid-jilid buku silsilah keluarga nama Mbah Buyut saya tidak ada. Ada nama Jawa yang disebut Mbah Seco yang rumahnya beberapa kali dijadikan tempat pertemuan Bani Yasir.
Saya menduga Mbah buyut saya punya dua nama. Nama Jawa dan nama Arab dan yang tercatat di desanya adalah nama Jawa. Kemudian ketika merantau ke Kotagede berganti nama Arab untuk menghilangkan jejak. Memang ada gejala umum pada pasca Perang Diponegoro banyak pengusaha dan ulama berganti nama dan berganti kostum busana sehari-hari. Yang awalnya menggunakan nama Jawa berganti Arab dan sebaliknya. Begitu juga pakaiannya, ada yang kemudian menggunakan busana Jawa ketika beraktivitas. Mbah saya, Mbah Hasyim kakung ketika berdakwah dan melakukan aktivitas sehari-hari mengunakan ikat kepala, surjan, dan kain batik.
Trah pengusaha batik dalam keluarga saya surut usahanya setelah perang kemerdekaan. Keturunan Mbah Yasir kebanyakan menjadi pedagang busana di pasar Beringharjo, Wates, Wonosobo, Magelang, dan kota lain. Ada keturunannya yang kemudian menjadi pedagang imitasi dan emas. Pada zaman Orde Lama keturunan pengusaha yang menjadi pedagang ini melahirkan kelas buruh konveksi atau kelas pegawai negeri.
Dalam keluarga saya dari garis ayah, orang tuanya (mbah saya) adalah keturunan ulama Kotagede dan juragan batik Karangkajen. Ini makin menebalkan DNA batik saya. Dan selain batik pada zaman kejayaan tenun dari garis keturunan Simbah ada yang aktif di usaha tenun, ATBM. Ketika ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) surut ada mbah saya yang mengubah haluan usahanya menjadi tenun bambu atau kerajinan bambu yang kemudian dibablaskan sekalian menjadi eksportir barang kerajinan dan pemasok barang kerajinan di toko Sarinah Jakarta.
Waktu ikut jadi panitia Pasar Seni UGM yang digagas Pak Umar Kayam, saya nderek mulyo jadi anak buahnya Mas Fanani mengkoordinir perajin di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Waktu masuk pedalaman Klaten ketemu perajin tenun lurik purba yang masih menggunakan teknik tenun gendong. Dua tahun yang lalu ketika saya bersama teman-teman meneliti tenun lurik tradisional, tenun gendong di Klaten telah punah. Padahal di Tuban masih ada. Yang ada di Klaten tenun ATBM. Nah, waktu ada gempa bumi tahun 2006, usaha kerajinan batik di Giriloyo dan Imogiri lumpuh. Demikian juga kerajinan tenun lurik di Bantul, karena puluhan pengrajin meninggal dunia.
Sebagai wartawan, waktu ada gempa itu saya sempat keliling masuk pedalaman Bantul, Gunungkidul, Klaten, juga kampung halaman dan kampung dalam kota Yogyakarta. Menjadi saksi langsung berbagai fenomena alam, sosial, ekonomi dan spiritual. Dengan naik mobil kantor kami keliling menyaksikan Kasongan, Imogiri, Kotagede, Umbulharjo, Piyungan, Patuk, dan Klaten mengalami kerusakan hebat, hidup warga setempat berlangsung di tenda darurat, hidup dari dapur umum dan aliran bantuan yang lancar dan tidak lancar.
Saya diajak redaksi Suara Muhamadiyah, Ton Martono naik mobil dia, setelah mengantar ibu saya mengungsi ke tempat adik saya di Karangmojo, masuk ke pelosok Patuk, ketemu dengan aktivis Aisyiyah Pusat, salah satunya Buliknya Kang Habib Chirzin yang saya panggil Mbah yang sedang mengirim bantuan di Patuk. Saya sendiri bersama Ton Martono mengunjungi sekolah SMK atau STM Muhamadiyah yang cukup maju yang remuk, rumah berantakan, bertemu nenek tua yang rumahnya miring dengan sesaji selongsong ketupat di atas pintu.
Juga, saya saksikan tekad masyarakat muslim dalam menolong mereka yang menderita. Contohnya, salah satu pemilik usaha gudeg Wijilan yang waktu itu Ketua Majelis Ekonomi PWA DIY, Bu Lies, begitu mendengar ada gempa hebat, langsung memerintahkan karyawan membungkus semua stok nasi gudeg lengkap dengan lauk untuk dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Hari-hari berikutnya, Tim dari Majelis Ekonomi PWA DIY berkeliling, untuk membagi bantuan dan mendampingi serta motivasi ibu-ibu atau bahasa sekarang para emak-emak untuk bangkit secara ekonomi. Istri saya yang waktu itu menjadi Sekretaris Majelis Ekonomi menjadi trainer memasak ayam goreng keliling. Para ibu-ibu terhibur dan ada yang berniat melakukan usaha setelah masa darurat gempa usai.
Teman teman seniman Jakarta minta dikirimi foto-foto dokumentasi gempa untuk dipamerkan di TIM dan dilelang. Hasilnya berupa dana yang lumayan banyak dan dapat untuk membeli dua truk paket bantuan untuk keluarga di bawa ke Yogyakarta. Agar aman dalam perjalanan, dua truk ini dikawal oleh bapak Marinir dengan baretnya yang khas. Rombongan truk bantuan sampai Yogya, saya diminta memandu pergerakan salah satu truk bantuan ini ke komunitas perajin di Kasongan, Imogiri, dan Kotagede.
Saya punya jaringan pertemanan yang erat pada titik-titik itu. Ini memudahkan mendistribusikan bantuan itu sampai lokasi penerima yang membutuhkan. Klaster perajin gerabah Kasongan ketemu anak-anak yang gembira bermain di halaman rumah, perajin batik Imogiri yang membuat pameran batik darurat dari stok batik yang selamat dari gempa, klaster kerajinan perak Basen Kotagede yang sempat saya bersama teman-teman melakukan survei untuk mendukung berdirinya Museum Kerajinan Kotagede malah terjadi silaturahmi antara buruh perak dengan organisasi karyawan pusat yang fungsionarisnya ikut dalam rombongan seniman Jakarta ini.
Dari data yang terkumpul selama satu tahun setelah gempa, saya bisa menyelesaikan buku Menjadi Jogja bersama Ustadz Revianto Budi Santoso dan teman DKKY. Bagian Epilognya tentang kebangkitan masyarakat Yogyakarta pasca gempa. Saya juga bisa menulis novel tebal berjudul Rumah Cinta, yang isinya anatomi bencana gempa bumi Yogyakarta yang menurut berbagai sumber diawali dengan bencana moral.
Sekarang industri batik dan tenun lurik masih bertahan, berkembang dengan pelaku usaha lama dan baru, dengan pasar yang berubah. Gejala ini saya tulis menjadi novel berbahasa Jawa berjudul Lesus ana Ing Pasar Beringharjo, menjadi tulisan serius dan dimuat di Jurnal Pradnya Paramita Museum Nasional Jakarta.
Dari sisi teknis ekonomi saya menemukan adanya dinamika yang logis, tetapi dari sisi taktis ekonomi saya menemukan hal yang mengharukan tentang bagaimana perajin di masyarakat akar rumput di Tuban misalnya mencoba bertahan atau katakanlah melawan industri semen yang membuat area tanaman nila sebagai pewarna alami menciut dan sulitnya melakukan regenerasi perajin tenun karena anak muda lebih tergiur oleh pekerjaan di sektor formal modern.
Di Klaten, Alat Tenun Bukan Mesin bertarung dengan alat tenun mesin. Untung di Pemalang, perajin tenun sarung Goyor bisa bertahan karena bertumpu pada pasar ekspor ke negara Arab. Kerajinan tenun di Troso Jepara bahkan mampu melompat atau melakukan terobosan dengan melakukan komputerisasi desain sehingga mampu melayani pesanan hampir semua model dan pola desain dan teknik tenun dari seluruh etnik di Indonesia.
Kerajinan tenun lurik di Banyumas menggabungkan teknik proses tenun dengan batik tulis sebagaimana perajin tenun lurik di Kerek Tuban. Sedangkan kerajinan tenun lurik di Bantul masih setia dengan ATBM, hanya melakukan ijtihad desain yang hampir tidak terbatas. Sedang batik tulis, batik cap dan batik sablon atau batik printing telah berdamai karena sudah menemukan pasar masing-masing.
Yang lucu-lucu justru pada sisi strategis politisnya yang membuat industri tekstil dan produk tekstil Indonesia kurang bisa mengimbangi negara-negara raksasa tekstil seperti India, Cina, Italia, dan Amerika. Hambatan kuota dan tarif untuk ekspor. Hambatan politik impor tekstil dan produk tekstil serta surutnya pedagang batik dan lurik di pasar tradisional mereka serta seperti adanya rezim kuota untuk tekstil tradisional yang hanya berkisar antara 5% sampai 10% pasar tekstil nasional membuat pemodal besar dan pasar besar menjadi pemenang.
Perajin tekstil tradisional, sebagaimana pelaku usaha koperasi dan UKM serta retail informasi di kaki lima seperti cenderung menjadi korban bully ekonomi oleh mereka yang didefinisikan oleh Qur’an dengan istilah Humazah dan Lumazah. Untuk mengimbangi langkah kaum Humazah dan Lumazah yang sering bersekutu dengan kaum Al Fiil, kaum Muthoff dan Al ‘Ankabut di sisi strategis, maka yang perlu dilakukan adalah dengan membuat gerakan Adl-Dluha, Gerakan Alam Nasrah, gerakan Ababil, gerakan An-Naml, gerakan An-Nahl yang berproros pada upaya merebut kembali hari Jum’at sebagai Sayyidul Ayyam dalam konteks ekonomi.
Dalam perasaan saya hadirnya persekutuan kaum Humazah, Lumazah, Muthoff, Al Fiil dan ‘Ankabut sebagai klaster ekonomi yang tumbuh menjadi kartel ekonomi (menarik dikaji: dari klaster menjadi kartel ekonomi) sungguh menggemaskan dan mencemaskan. Agar optimisme kita bisa berkelanjutan dan berkemajuan maka gerakan Adl-Dluha, Alam Nasrah, An-Naml, An-Nahl, dan gerakan Ababil ekonomi perlu diwujudkan dalam suatu sinergi dan orkestra gerakan yang indah, tepat, cepat dan full manfaat untuk semua warga masyarakat.
Tanpa hadirnya gerakan ekonomi alternatif seperti ini kita hanya akan diposisikan sebagai penonton yang ndomblong terkagum-kagum melihat kemenangan orang lain dan sekaligus mendongkol dan sedih menyaksikan kekalahan orang kita di bidang ekonomi.
Yogyakarta, 1-3 Juli 2021.