CakNun.com

Tuhan yang Maha Jowo

Diambil dari buku Secangkir Kopi Jon Pakir, Mizan, Bandung, 1992, hal. 381-382
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit

Kalau Anda sering bergaul dengan orang Luar Negeri, terutama auslander yang tergolong ‘modern’ dan ‘rasional’ — mungkin saja sering Anda sampai pada kesimpulan begini: “Pantas dulu kita bangsa Jawa ini gampang dijajah. Lha wong kita ini terlalu baik”.

Terlalu ‘baikan’ sama orang. Sangat menyambut. Akomodatif. Suka menyuguh dan memberikan apa saja yang kita bisa kepada para tamu. Itu namanya “jowo”. Kalau pelit, itu “ora jowo”. Tentulah. Karena kita semua memang pengagum Tuhan, dan berusaha meniru sifat-sifat-Nya. Bukankah Tuhan Maha Jowo?

Bayangkanlah kalau Allah mengurangi jowo-Nya, misalnya pagi ini Ia kurangi anugerah-Nya kepada Anda dengan mengambil mata atau telinga yang nempel di tubuh kita dan disimpan kembali di gudang-Nya.

Lha, ya begitulah, beberapa lama ini saya menemani tamu monco saya. Tak habis-habisnya saya nraktir, membelikan lurik, batik, berbagai sovenir, T-shirt, dan lain-lain. Sampai pada suatu hari saya berdebat dengannya dan menemukannya sebagai seorang materialis sejati.

Materialis itu bukan dalam arti gila materi, tapi ia melihat seluruh kehidupan ini hanya sebagai materi. Ia menertawakan filsafat, tak percaya kepada jiwa dan mengenali nilai-nilai hanya sejauh menyangkut struktur keberadaan materi. Maka manusia dilihatnya hanya sebagai perut, dan segala urusan politik hanyalah berkisar pada distribusi nasi. Maka ia fanatik kepada orang miskin dan ‘sentimen’ kepada orang kaya.

Saya mencoba berontak dengan menunjukkan kepadanya bahwa saya ini lebih melarat dibanding dia yang punya gaji tetap dan besar dan bisa sering tamasya ke luar negeri dan bisa pelit. Maka kalau saya mentraktirnya ini itu, semata-mata karena filsafat hidup saya, karena rasa sosial (bukan solidaritas rasional) dan karena nilai cinta kemanusiaan.

Nilai-nilai itu ternyata tak ada maknanya bagi materialisme yang menjadi tulang punggung kehidupannya. Saya jadi anyel.

Saya katakan kepadanya bahwa rakyat Indonesia bisa bertahan hidup karena filsafat, karena ketahanan moral dan nilai-nilai kejiwaan. Kalau tak punya itu, dengan takaran materi yang amat rendah, mereka sudah hancur hidupnya. Dengan nilai-nilai itu mereka tetap sanggup memanusiakan dirinya di tengah derita dan kemelaratan.

Karena si monco ini memang tak tahu banyak tentang manusia Indonesia, maka dia tak mampu membantah argumentasi saya. Saya lantas merasa iba, kasihan, dan segera saya traktir lagi.

Lainnya

Topik