CakNun.com
Kebon (172 dari 241)

Tombo Ati 11 Triliun

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Porong, Sidoarjo, 25 Juli 2007.
Foto: Adin (Dok. Progress).

Ketika KiaiKanjeng membuat album musik pertama yang maskotnya adalah “Tombo Ati” di Studio Misty Jalan Kaliurang Yogya, tidak pernah saya bayangkan bahwa akan ada momentum di mana satu kali melantunkan lagu kuno dari entah abad keberapa itu saya memperoleh honorarium hampir 11 triliun rupiah.

Tapi lha kok sampai sekarang saya tidak kaya? Pertama, karena itu bukan peristiwa transaksional. Bukan akad jual beli. Bukannya saya minta uang untuk korban lumpur, lantas dipenuhi dengan syarat saya mau menyanyikan Tombo Ati. Hidup ciptaan Allah ini jauh lebih luas dan kaya dibanding sekadar segaris linier dan teknis manusia berjual beli. Kedua, 11 triliun itu memang bukan untuk saya. Ketiga, yang terjadi adalah “tashadduq binni’mah”. Tidak sekadar “tahadduts binni’mah”. Bermurah hati kepada sesama manusia, dalam hal ini 13.256 KK, karena mensyukuri limpahan kenikmatan dari Allah Swt.

Dan lagi 100% saya bukan seorang penyanyi. Tidak punya bakat dan kepantasan untuk hadir sosial sebagai penyanyi. Penyanyi level kamar mandi pun tidak, karena saya hampir tidak pernah mandi sambil bernyanyi-nyanyi. Yang mengoperatori studio rekaman dan yang memandu saya membawakan Tombo Ati adalah Baud, salah satu sahabat dan sedulurnya teman-teman KiaiKanjeng.

Gagap-gagap dan canggung saya terpaksa menghadap mikrofon studio. Tidak mengerti teknik bernyanyi, cara mengekspresikan suara, apalagi memperindahnya. Ketika lagu itu selesai direkam, hasilnya jelas sangat jauh dari yang dipandukan oleh Baud. Naik turunnya suara saya, bahkan pause-pause di antara kalimat atau kata, sama sekali tidak memenuhi kaidah orang bernyanyi. Saya sungguh pekewuh dan hati saya penuh permintaan maaf kepada Baud dan semua KiaiKanjeng.

Tetapi kelak setelah 10-20 tahun, ketika saya mulai tahu sedikit-sedikit tentang bagaimana seharusnya orang bernyanyi, sampai hari ini, hasilnya malah lebih jelek. Tidak pernah saya berhasil membawakan Tombo Ati di Maiyahan-maiyahan bersama KiaiKanjang yang pencapaiannya sepadan, atau apalagi lebih tinggi, dibanding ketika di Misty saya belum bisa bernyanyi.

Rupanya ada faktor yang namanya “akting”, “pretensi” dan “kepandaian”. Ketiga hal itu tidak saya memiliki ketika di Misty, sehingga menurut teman-teman KiaiKanjeng ekspresinya lebih alamiah, orisinal, otentik, dan lebih berjiwa. Saya lantas mewaspadai yang namanya profesionalitas yang membuat seorang pemeran menjadi pretensius. Juga terhadap kepandaian atau kecanggihan yang justru menggerus dan menghilangkan kemurnian hati. Dan itu efeknya muncul pada keluaran suara tatkala bernyanyi.

Hidup ini sering membingungkan. Kalau tidak belajar itu salah, kalau belajar malah bisa kehilangan sesuatu yang mendasar. Itu membuat saya merasa beruntung tidak pernah menjadi manusia terpelajar, tidak pernah berhasil bersekolah apalagi sampai menjadi sarjana. Mungkin kalau dulu saya khatam mondok di Gontor, kemudian tamat UGM, lantas siapa tahu terseret sampai ke S3 entah di mana, mungkin yang ada sekarang bukanlah saya yang ada sekarang.

Kalau perspektifnya diperbesar atau diperluas, mungkin itu suatu peringatan untuk berintrospeksi. Jangan-jangan semakin banyak anak-anak bangsa yang bersekolah maka sejarah bangsa ini justru semakin kehilangan jati dirinya. Jangan-jangan semakin membengkak dan maju jumlah serta kiprah kaum profesional dan penempuh karier, maka masyarakat dan bangsa ini menjadi semakin kehilangan kepribadian atau semakin tidak berkarakter. Jangan-jangan semakin banyak jumlah sarjana dan kaum terpelajar, maka sejarah bangsa ini semakin tidak mandiri dan tidak berdaulat atas kehidupan.

Seandainya album Tombo Ati itu direkamnya sekarang ketika saya sudah sedikit-sedikit belajar teknik dan profesionalitas bernyanyi, hasilnya tidak bisa seperti dulu ketika masih polos, lugu, awam dan bodoh. Termasuk mungkin hati Ibu Bakri, Ibunya Ical dan Nirwan, tidak tersentuh sehingga juga tidak terpanggil hatinya untuk meminta saya bernyanyi di depannya sambil jongkok pada suatu malam.

Berarti akibatnya 13.256 KK korban lumpur Sidoardjo juga belum tentu dilimpahi rizqi melimpah oleh Allah Swt. Sebab sang Ibu ini yang dawuh kepada Nirwan agar semua orang yang kehilangan rumah itu dibikinkan rumah baru oleh anaknya itu. Sang Ibu mengatakan “Mudah-mudahan besok-besok rakyat Sidoarjo berkata dalam batin mereka: alhamdulillah ada luapan lumpur”.

Keputusan bahwa semua korban lumpur itu dibikinkan rumah, atau dibekali biaya untuk membangun kembali rumahnya, adalah hasil dua pertemuan. Pertama dengan Sang Ibu yang menyuruh saya menyanyikan Tombo Ati sambil jongkok di depan beliau yang duduk di kursi. Kemudian diteguhkan oleh hasil pertamuan 4 (empat) menit dengan Nirwan putranya di kantor Indofoodnya Pak Franky Welirang.

Pertemuan itu dipersambungkan oleh Pak Franky dan Pak Andi Darussalam Tabussala tokoh PSSI. Bukan untuk diplomasi atau negosiasi. Saya hanya bertanya kepada Nirwan: “Bung, almarhum Bapak dimakamkannya di mana tho?”. Nirwan menjawab seperti keajaiban: “Ya Cak, kalau soal lumpur Sidoarjo tidak saya bereskan ntar saya takut Bapak bangkit dari kuburnya dan marah kepada saya”.

Maka berlangsunglah secara bertahap sedekah 11 Triliun itu. Pertemuan dengan SBY di Cikeas yang saya pimpin dan berlangsung cukup 40 menit, berposisi seperti resepsi pengantin. Tetapi akad nikahnya berlangsung dengan Nirwan dan Ibunya sebelumnya. Tentu masih sangat banyak detail, mozaik, romantika dan dialektika, duka dan derita dari kasus lumpur yang bisa dituturkan.

Kalau di setiap Maiyahan Jamaah Maiyah membiasakan diri meneguhkan tauhidnya kepada Allah swt dengan melantunkan bersama-sama:

إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡ‍ًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ
فَسُبۡحَٰنَ ٱلَّذِي بِيَدِهِۦ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيۡءٖ وَإِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ

Sesungguhnya demikianlah keberlangsungan urusan-Nya. Apabila Ia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. Maka Maha Suci Allah yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”

Maka Tombo Ati seharga hampir 11 triliun Rupiah itu merupakan pembuktikan rahmat Allah kepada manusia. Kadang-kadang ada teman yang mengingatkan saya kok tidak memposisikan diri sebagai makelar, sehingga bisa memperoleh minimal 2,5% dari jumlah yang ajaib itu. Bahkan kalau melihat ketidakseimbangan bargaining power-nya, saya bisa memperoleh 5-10%. Bayangkan makmurnya gerakan Maiyah.

Lainnya

Menadahi Cliwikan atau Grojogan

Menadahi Cliwikan atau Grojogan

Allah mentanazzulkan dua pelajaran hidup kepada saya melalui Sidoarjo. Yang pertama adalah Gus Ud atau di sana dikenal dengan panggilan Mbah Ud yang makamnya di Pagerwojo.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version