Tidak Mencari Seniman-Seniman Hebat
Dari tulisan tentang Gaple kemarin tidak ada pretensi saya untuk menceminkan apapun tentang nilai kependidikan sosial dan budaya pada level bebrayan dan tidak institusional. Tetapi saya yakin kita bisa mencoba menyepakati bahwa Pendidikan bukanlah menjaring “peserta-peserta didik” dan menjebak mereka ke dalam kurungan kurikulum, tanpa mempedulikan kapasitas per individu, kadar dan jenis keberagaman, serta pluralitas latar belakang mereka. Pendidikan bukan peternakan yang mengumpulkan sekian kambing dengan perlakuan dan konsumsi seragam. Semua kambing mungkin adalah setiap kambing. Tetapi setiap manusia sama sekali tidak sama dengan semua manusia.
Kita ulang kutip lagi firman Allah Swt yang sangat umum dan populer, yang setiap dan semua orang pernah mendengarnya dan relatif mengerti isinya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Megabarkan.”
Saling kenal-mengenal. Guru harus berproses mengenali setiap muridnya, sebagaimana murid-muridnya mengenali gurunya. Pasti tidak hanya namanya, keluarganya, komunitasnya, suku dan bangsanya. Tetapi juga tipologi kepribadiannya. Kecenderungannya. Yang disukainya dan yang dibencinya. Fadhilahnya. Bakatnya. Minatnya. Mungkin juga IQ-nya.
Demikianlah “lita’arofu” itu seyogyanya berlangsung timbal balik, dialektis dinamis, antara orangtua di rumah dengan anak-anaknya, ulama dengan ummatnya, pemerintah dengan rakyatnya. Bahkan meskipun tidak utuh timbal balik: antara manusia dengan alam yang dihuninya, antara manusia dengan Tuhan yang menciptakannya.
Allah mengenal manusia dan semua ciptaannya secara “kaffah”, utuh dan menyeluruh. Sementara manusia tidak perlu melakukan riset untuk mengetahui siapa Tuhannya, apa saja sifat dan kehendak-Nya, juga peta yang disukai-Nya dan dibenci-Nya. Itu bisa didapatkan oleh manusia melalui pantulan-pantulan kekuasaan-Nya dalam kehidupan manusia dan alam. Adapun tentang siapa Allah, hal-hal yang menyangkut dzat-Nya, ke-Diri-annya, hanya ada satu kemungkinan: manusia dan semua makhluk tidak akan punya alat dan akses untuk mengetahuinya, kecuali Allah sendiri yang menginformasikannya.
99 Asmaul Husna, juga sifat Allah 20 dll, bukan hasil penelitian manusia, melainkan rumusan manusia atas informasi dari Allah sendiri. Innalloha ‘Alimum Khobir. Allah saja yang sungguh-sungguh mengetahui segala hal, dan Ia bermurah hati untuk mengabarkan sebagian sangat kecil dari pengetahuan-Nya itu kepada manusia.
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي
لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي
وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”
Maka mata pelajaran yang pertama, yang utama serta yang puncak atau tertinggi, adalah kerendahan hati. Bahwa manusia itu sangat tidak tahu dibanding tahu. Kalau lembaga pendidikan membuat alumnusnya merasa tahu atau sering sok tahu, berarti pendidikan yang ditempuhnya tidak mendasarkan dirinya pada hakikat hidup manusia.
Sarjana yang tertinggi mestinya menjadi manusia yang paling rendah hati. Menjadi manusia yang paling mengerti bahwa sesungguhnya ia sangat tidak mengerti. Gelar sarjana berbanding lurus dengan tingkat kerendahan hatinya. Maka pelajaran utama di usia balita adalah shalat dan bersujud. Dan ujian tertinggi semua sarjana utama adalah shalat dan bersujud.
Kalau kita kembali ke kisah-kisah sederhana dari Kadipaten, Dipowinatan hingga Kadipiro, hampir seluruh kesibukannya adalah “lita’arofu”. Di setiap fasenya dirembug dan dirumuskan bersama parameter perkembangan, kemajuan dan keberhasilan setiap orang dengan landasan “Inna akromakum ‘indallahi atqakum”.
Dinasti hingga Sanggar Salahudin, Teater Jiwa, Perdikan Teater, untuk memproduksi pementasan tidak pernah mencari aktor-aktor terbaik dari lingkungannya. KiaiKanjeng tidak merekrut pemain musik yang dianggap jagoan memainkan alat musik tertentu. Kedua kelompok itu tidak mencari seniman-seniman hebat, melainkan menerima apa adanya siapa saja dari proses alamiah pergaulan yang berlangsung, kemudian mengolah diri dan berlatih tekun bersama-sama. Bahkan kalau ada anggota yang meninggal dipanggil Allah, penggantinya menunggu ketentuan Allah melalui proses bebrayan mereka.
Dinasti maupun KiaiKanjeng tidak mencari seniman-seniman hebat. Karena yang utama persyaratannya adalah kompatibilitas seseorang terhadap nilai-nilai dasar yang dianut bersama. Misalnya, setia diperjalankan oleh Allah, setia mengolah karya bersama-sama dengan setiap orang punya tonjolan fungsinya masing-masing.
Kalau sewaktu-waktu berjumpa Nevi, Jijid, Blothong, Jujuk, Islamiyanto atau siapapun, bukalah obrolan tentang ayat di bawah ini. Bagaimana mungkin firman di Al-Qur`an menjadi pintu pengolahan proses bermusik, berteater dan bebrayan mereka:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا
مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”