The Garuda and The Emprit
Akhirnya generasi-generasi baru yang lahir merupakan “Garuda-garuda yang berubah mengkerdil menjadi Emprit”. Fenomena itu diungkapkan di dalam lakon drama Teater Perdikan Kadipiro yang berjudul “Tikungan Iblis”. Garuda-garuda Indonesia semakin kehilangan kebesaran, kepribadian, dan kegagahan sejarah. Kakeknya dicabuti kuku dan paruhnya. Bapaknya ditambah dicabuti helai-helai sayapnya. Cucunya tidak dilatih terbang dan dikurung di dalam kandang yang namanya mewah: Sangkar Pancasila. Maka cicit-cicitnya adalah Generasi Emprit. Tubuhnya tidak besar kuat seperti Elang, Ulung atau Garuda. Tidak pula memiliki kemampuan terbang berlaga di angkasa seperti nenek moyangnya, karena sejak lahir sudah dikurung meringkuk dalam sangkar di kandang bikinan rezim Globalisasi.
Di dalam kandang itu Emprit-emprit dikasih makan “tahi”, yang diinformasikan sebagai “roti”. Dan para Emprit Milenial ini tidak hanya percaya bahwa itu roti, bahkan mereka sanggup menikmati tahi itu sebagai roti. Dan siapa saja yang sok-sok tahu dan berani bilang itu tahi, ia akan di-bully, diejek, dinista, dibunuh eksistensinya, bahkan kalau perlu dimusnahkan.
Kalau di zaman dahulu Rezim Fir’aun memerintahkan para aparatnya untuk membunuh setiap anak laki-laki yang lahir, maka di Fir’aun Milenial menerapkan algoritma yang otomatis di mana para Menteri hingga seluruh ASN, bahkan kampus-kampus dan lembaga-lembaga apapun, membunuh “kelelakian” rakyatnya. Membunuh kebenaran, membutuh keteguhan, konsistensi, daya juang, dan kritisisme.
Bangsa Indonesia sejak awal Proklamasi Kemerdekaannya di tahun 1945 sudah “turun dari sorga”. Kalau turun dari sorga, bisanya ya ke neraka, atau ke bumi yang beresensi neraka. Untung Tuhan memandu sikap mereka.
قُلۡنَا ٱهۡبِطُواْ مِنۡهَا جَمِيعٗاۖ فَإِمَّا يَأۡتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدٗى
فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ
Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Sialnya Rezim Penyiram Air Dingin kepada Monyet-monyet itu berkecenderungan untuk menghalangi rakyatnya berhubungan dengan Tuhan. Mereka memperolok-olok Tuhan dengan pura-pura menyebut nama-Nya dalam filosofi kenegaraannya, tetapi praktiknya mereka menjadi tembok penghalang hubungan antara rakyatnya dengan Tuhan, terutama dalam praktik-praktik kehidupannya. Bahkan ketika merebak wabah Covid-19, Tuhan juga sama sekali tidak mereka sebut, apalagi dilibatkan, apalagi diakui peran-Nya.
يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَمَا يَخۡدَعُونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمۡ وَمَا يَشۡعُرُونَ
“Mereka menipu atau mempolok-olokkan Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.”
Bahkan kalau ada rakyat yang berkumpul melakukan istighatsah memohon perlindungan dari Tuhan, mereka malah ditangkap dan dipenjarakan.
Padahal secara resmi, tidak ada orang kafir di Indonesia. Negara kita adalah satu-satunya negara yang secara formal konstitusional meletakkan Tuhan sebagai acuan utama kehidupan bernegara. Jadi secara formal dan administrartif semua warganegara Indonesia adalah manusia pemeluk agama, entah agama atau “agama”. Kalau agama itu nalarnya harus atau hanya Tuhan berhak mutlak membuatnya, menciptakannya, dan mewajibkannya kepada makhluk-Nya. Kalau “Agama” itu ciptaan manusia. Muatan nilainya, namanya, syariatnya, semua bikinan manusia sendiri, yang di Indonesia diakui sebagai agama.
Kalau agama itu otoritas Tuhan dari langit ke bumi. Kalau “agama” itu upaya manusia dalam mencari Tuhannya. “Agama” lahir dalam kebudayaan dan peradaban manusia. Itu juga harus dihargai sebagai iktikad dan perjuangan yang baik, meskipun nalarnya Tuhanlah satu-satunya yang punya otoritas untuk menciptakan agama. Karena Tuhan yang bikin alam dan menciptakan manusia, maka Ia juga yang punya hak untuk menyusun aturan-aturan alam dan manusia.
Di dalam wacana antropologi dan sosiologi persekolahan modern dikenal ada yang dinamakan “Agama Jawa” atau “Kejawen”. Sehingga ilmuwan membuat kategori ada agama Langit dan ada agama Bumi. Agama Kita menghormatinya dan memuji ketulusan pencarian bangsa Jawa untuk menemukan Tuhannya. Hanya saja tidak rasional kalau kita tidak memperhatikan prinsip atau substansi hakiki bahwa kalau agama atau “Religion” atau religi itu adalah ciptaan Tuhan, sedangkan yang diikhtiarkan oleh manusia itu bukanlah “Religion” melainkan “Religiousity” atau religiusitas atau keagamaan. Sekali lagi, kalau agama itu dari langit ke bumi. Kalau “Agama” itu dari bumi ke langit.
Cak Nur pernah mewacanakan agama “Millah Ibrahim”. Kebanyakan orang tidak paham dan kalangan ilmuwan sendiri gagal paham. Cak Nur tidak sedang memproklamasikan agama baru di luar yang disampaikan olah Nabi Pamungkas Rasulullah Muhammad Saw. Cak Nur justru melakukan peneguhan bahwa “Millah Ibrahim” adalah akar atau cikal bakal dari Islam yang diperkenalkan oleh Kanjeng Nabi.
Kalau di dalam wacana Maiyah, Nabi Ibrahim memperkenalkan “Bluluk” berupa embrio atau benih atau Bayi Tauhid, kemudian berevolusi pada Rasul-Rasul berikutnya, misalnya Nabi Daud kemudian Nabi Isa As, sampai akhirnya menjadi “Kelapa” pada Muhammad Saw. Cak Nur secara implisit menurut saya mengemukakan wanti-wanti agar bluluk “Millah Ibrahim” jangan sampai dibiarkan oleh ummat Islam untuk tidak menjadi Kelapa atau gagal menjadi Kelapa, misalnya karena terkontaminasi oleh nilai-nilai peradaban Barat yang mengintervensi pemikiran Kaum Muslimin sejak pasca Perang Salib dan memuncak di Zaman Renaissance.
Cak Nur adalah arèk Jombang. Jombang punya keterkaitan, dialektika, dan simbiosis mutualistik secara antropologis dengan Islam. Bagi saya mustahil putra Bareng Mojoanyar ini “murtad” atau “mentidakkan” Rasulullah Saw dengan Islamnya. Pada level apapun. Cak Nur adalah santri Gontor yang tidak terikat oleh penggolongan-penggolongan dalam Islam. Cak Nur tidak punya jiwa “firqah”. Cak Nur mungkin bisa dalam hal-hal tertentu sependapat dengan suatu Madzhab, tapi Cak Nur tetangganya dan satu aura dengan “Jiwa Ludruk” yang merdeka dan segar. Cak Nur adalah santri langsung dari KH Ahmad Zarkasyi pendiri Gontor yang inisiatif Pondok Gontornya lahir dari sejumlah ketidaksamaan pendapat dengan Republik Indonesia dan Departemen Agama di tahun 1946.
Sampai-sampai ijazah tamatan Gontor tidak diakui oleh Kementerian Pendisikan Negara Indonesia, dan Pak Zarkasyi berpidato kepada semua yang masuk Gontor: “Kalian nyantri di sini, nanti ijazah kalian dari Gontor tidak diakui oleh negara sehingga tidak bisa dipakai untuk mencari pekerjaan. Kalau kalian keberatan dengan kenyataan itu, hari ini juga silakan gulung tikar angkat koper kembali ke kampung kalian, kemudian carilah Sekolahan yang menurut kalian punya masa depan”.
Tapi Cak Nur tetap nyantri di Gontor dan menjadi salah satu alumnus yang legendaris. Kemudian menempuh prosedur administratif kenegaraan untuk bisa melanjutkan ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sampai akhirnya melanjutkan studi di Chicago Amerika Serikat. Dari Chicago Cak Nur pernah mengirim surat ke Jombang yang isinya memperjelas bahwa dia adalah bagian dari Nahdlatul Ulama. Tetapi sampai hari ini kaum Nahdliyin tidak pernah “merasa memiliki” Cak Nur, dan masyarakat Indonesia pada umumnya menganggap Cak Nur lebih sebagai HMI dibanding NU. Karena Cak Nur memang salah satu Ketua PB HMI yang paling cemerlang. Kita bangsa Indonesia dan kaum muslimin sungguh tidak belajar untuk mengelola keberagaman, bahkan tidak pula melakukan tahap awal untuk mengenali ini dan itu sehingga menganggap Cak Nur itu bukan NU.
Mungkin karena kekurang-waspadaan kita di dalam memaknai firman-firman Allah, sehingga menisbahkan atau menerapkannya hanya sebatas lingkup asosiasi sempit kita hasil dari kontaminasi mainstream dan wacana-wacana pop culture, maka ayat ini tidak kita berlakukan untuk Cak Nur:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ
إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Mungkin karena kita terjebak oleh terjemahan “berbangsa-bangsa dan bersuku-suku”, sehingga kita menutup pikiran dan imajinasi kita sendiri untuk membuka cakrawala berpikir bahwa keragaman itu tidak hanya menyangkut bangsa dan suku, melainkan bisa detai-detal atau motif-motif bergerombolnya manusia atas dasar atau pertimbangan yang bermacam-macam, tidak hanya karena hubungan darah, kesukuan atau kebangsaan.
Di satu kampung saja ada ribuan “syu’uban wa qabail”. Ada teman sesama alumni sekolah. Ada penggolongan karena pekerjaan. Ada kategorisasi karena hobi. Karena bersama-sama mencari nafkah di bidang yang sama. Ada yang berhimpun karena pilihan parpolnya sama. Ada yang berkumpul karena kecenderungan psikologis atau selera budayanya sama, dan bermacam-macam lagi. Dan Cak Nur ketelingsut di bawah tumpukan jerami kesembronoan sosiologis kita.
Kata anak sekarang, “Kaciaaaan deh Elu”. Sudahlah Garuda menjelma Emprit, sesama Emprit pun tidak “lita’arofu”satu sama lain.