Terus Laku lan Nglakoni
Bagaimana cara kita menjaga stamina jangka panjang untuk meladeni bukan hanya pandemi yang disebabkan oleh virus tapi juga pandemi kegelapan akibat tumpulnya akal sehat, bebalnya rasa keadilan serta runtuhnya harkat kemanusiaan?
Bagaimana cara kita menjaga nyala optimisme agar tidak tersungkur dalam kubangan putus asa yang dinyatakan Allah sebagai: “Tidak berputus asa kecuali orang-orang kafir” (Q.S. Yusuf: 87).
Bagaimana cara kita memelihara kesadaran cinta kepada-Nya di tengah hegemoni thaghut yang menyorong manusia menuju situasi mahjuro: bergeser dari cahaya menuju kegelapan karena abai terhadap Al-Qur’an.
Kita ngengleng menanggung keterhimpitan, kesempitan, kemunafikan yang bertebaran bersama virus ahmaq. Situasi dholuman yang ngendon dalam ruang kesadaran manusia menghasilkan produk jahuula. Politik jahuula, ekonomi jahula, budaya jahuula, pendidikan jahuula, konten jahuula.
Kontinuasi dholuman yang memproduksi jahuula adalah keniscayaan. Kendati demikian ia bisa dikelola, dimanajemeni, dikhalifahi melalui kejernihan hati dan keseimbangan pikiran. Untuk itu kita perlu kembali menata hati dan menjernihkan pikiran untuk mengolah perjodohan (zaujaini) yang ditetapkan Tuhan.
Perjodohan merupakan keniscayaan karena mustahil terjadi dinamika pergerakan tanpa dua hal yang berpasangan (zaujaini). Sebagaimana juga mustahil melangsungkan hidup di dunia dengan hanya mengandalkan fakta materialisme tanpa rohani, tulang tanpa daging, darah tanpa jantung, siang tanpa malam, atas tanpa bawah.
Menafikan, membungkam, membuang, memenjarakan, membunuh salah satu pasangan sehingga yang berlangsung adalah situasi mono: monopoli opini, monopoli tafsir, monopoli hegemoni, hingga monopoli surga dan neraka, demi melanggengkan nafsu berkuasa dan menumpuk kekayaan, adalah perilaku jahuula akibat dholuman gelap pekat dalam batin manusia.
Tatanan serba mono itu sama sekali bukan tatanan yang bertasbih. Ia melanggar kaidah sunnatullah. Maksud tasbih di sini bukan bacaan Subhaanallah, melainkan sabbaha–yusabbihu–tasbiihan, yang berarti gerak terus-menerus dan berkesinambungan (al-harokah al-mustamirrah). Maiyah membahasakannya sebagai getaran yang mengalir, aliran yang bergetar.
Tasbih berlangsung dan bisa dilangsungkan karena dua hal yang berpasangan sekaligus bertentangan (zaujaini). Kata zauj ini pun perlu diletakkan pada maqam etimologi karena zaujaini kerap diartikan sebagai pasangan suami istri. Padahal ia lebih luas dan mengakar pada tatanan sistem penciptaan, bukan urusan perjodohan suami istri semata.
“Dan Dia yang menghamparkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai di atasnya. Dan padanya Dia menjadikan semua buah-buahan berpasang-pasangan; Dia menutupkan malam kepada siang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir” (QS. Ar-Ra’d: 3).
Zaujaini adalah dua pihak yang berpasangan dan berlawanan lalu melangsungkan dialektika sehingga terjalin gerak berkesinambungan.
Kehidupan yang mekar dari kematian, kematian yang melanjutkan kehidupan. “Sungguh, Allah yang menumbuhkan butir (padi-padian) dan biji (kurma). Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Itulah (kekuasaan) Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?” (Q.S. Al-An’am: 95)
Semua makhluk yang ada di langit dan bumi melakukan tasbih: mereka diciptakan bersama pasangannya masing-masing lalu melangsungkan gerak yang terus bergetar dan mengalir.
“Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi senantiasa bertasbih kepada Allah. Maharaja, Yang Mahasuci, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana” (Q.S. Al-Jumu’ah: 1).
Selalu ada dua pihak yang berlawanan sebagai jodoh. Laki-laki berjodoh dengan perempuan, panas berjodoh dengan dingin, terang berjodoh dengan gelap, fana berjodoh dengan abadi, dan seterusnya.
Ada perjodohan yang berlangsung secara alami, seperti pergantian siang dan malam, namun ada perjodohan yang perlu dikelola, dimanajemeni, dan dikhalifahi manusia. Perjodohan antara gelap dan terang adalah keniscayaan. Adapun kita melakukan hijrah dari gelap ke terang ataukah mahjuro dari terang ke gelap, sepenuhnya di tangan kita.
“Dan katakanlah (Muhammad), Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir” (Q.S. Al-Kahfi: 29).
Potensi, fakta, dan sunnatullah ciptaan Allah yang memiliki jodoh dan melangsungkan tasbih telah dihamparkan di alam semesta. Iman dan kafir juga jodoh dalam konteks hubungan zaujaini. Keduanya berdialektika melalui dua hal. Pertama, antara iman dan kafir sebagai sepasang perjodohan yang saling menegasikan adalah keniscayaan. Kita mengerti iman karena ada dinamika fakta tentang kekufuran, dan begitu juga sebaliknya.
Kedua, dialektika faktual yang membawa manusia menjadi iman atau kafir, monggo dikelola, dihikmahi, diputuskan sendiri. Sak karepmu!
Hal itu juga berlaku pada makhluk bernama Indonesia. Tidak masuk akal seperti apa pun itu makhluk menjalani kehidupannya, sedholuman bagaimana pun ruang kehidupannya, sejahuula model apa pun produk perilakunya, hal itu merupakan bahan dialektika zaujaini. Mau tenggelam dalam kegelapan atau bergabung bersama semburat cahaya dari timur, silakan dipilih sendiri.
Yang pasti, rasa syukur kita tidak boleh habis karena terkuras oleh omong kosong yang diproduksi oleh situasi dholuman jahuula. Konteks rasa syukur ini bukan bergembira ria atas kehancuran demi kehancuran yang diselenggarakan Indonesia secara gagah perkasa. Kita mensyukuri kebenaran yang disampaikan Allah: bersama datangnya gelap datang pula terang. “Bersama kesulitan ada kemudahan” (Q.S. Al-Insyirah: 5).
Segelap-gelapnya Indonesia dikurung gelap, semburat juga cahaya terang. Kita bersyukur cinta Allah melalui Maiyah mencahayai kita. Cahaya paseduluran, cahaya keseimbangan, cahaya kejernihan, yang bermuara pada Rahman Rahim Cinta-Nya.
Jadi, kepada siapa kita berguru dan menyandarkan optimisme kalau tidak kepada Allah? Bertasbihlah, bergerak terus, teruslah bergerak, dalam keseimbangan irama dialetika zaujaini.
“Terus laku lan nglakoni,” ujar kinasih Allah, Mbah Iman Budi Santosa.