Tersungkur
Saya sangat senang pada penggunaan kata “tersungkur” oleh Allah swt di dalam AlQur`an. Saya merasakan keindahan yang sangat populer dan akrab dengan hati keseharian saya. Saya arek Menturo. “Jongor! Ndlosor ta gak koen!”. “Bongko koen! Nggeblag ta gak koen!”. “Njungkel ta gak koen!”. Jangan salah sangka. Kalimat-kalimat itu bukan nyapatani atau mendoakan kehancuran siapa pun, melainkan merayakan ketersungkuran saya sendiri.
Bahkan ada parikan dengan lagu “Sholli wa sallim”:
“Ono memedi jenenge toktok kerot
Rupane nggantheng cangkeme pèrot
Numpak sepeda bane kempot
Arek wedok ayu dadakno mlorot”
فَأُلۡقِيَ ٱلسَّحَرَةُ سَٰجِدِينَ
“Maka tersungkurlah ahli-ahli sihir sambil bersujud kepada Allah.”
Saya pernah tersungkur dan meringkuk di depan gerbang Apartemen asrama mahasiswa di Amstelveen dalam cuaca di bawah nol derajat. Saya cari tembok untuk amping-amping berlindung dari hembusan angin yang menambah dingin berlipat-lipat menembus tulang. Hari-hari itu hidup saya tidak menentu. Tidak punya tempat tinggal, bikin visa izin tinggal belum dapat dari Kepolisian Amsterdam, Den Haag, Rotterdam dll yang saya datangi. Pulang ke Indonesia mustahil dan keadaan keluarga saya di Yogya juga sedang tidak nyaman. Sehari-hari saya menggelandang di Central Statsioon, DAM atau Leidsplein. Bergaul dengan gelandangan-gelandangan pengungsi atau pengecer narkoba di sekitar sungai depan Stasiun.
Hidup saya benar-benar tersungkur. Satu-satunya tempat yang ikhlas saya tumpangi adalah kamar apartemennya Siswa Santosa yang sekarang beliau menjadi sesepuh Maiyah Mafaza Eropa. Malam itu dari menggelandang sekitar Stasiun saya naik bis ke Amstelveen. Itu pun salah nomor, sehingga tersesat hingga jauh ke pelosok dan pesawahan. Balik lagi ke tempat Siswa, ternyata beliau tidak ada. Saya tidak bisa buka gerbang. Jadi saya hanya bisa menunggu. Tersungkur di samping tembok, meringkuk kedinginan sampai pagi sekitar pukul 07.00 Siswa nongol entah dari mana.
Tetapi rahmat Allah tetap dilimpahkan kepada saya. Normalnya saya bisa mati begadang di luar dalam cuaca di bawah 0 derajat. Atau sekurang-kurangnya kesakitan entah flu tulang, perut dan dada hancur isinya atau kepala bisa diprekes luluh lantak. Dan akibatnya bisa seumur hidup. Belum lagi ditambah kesepian hati, kesunyian batin, kehancuran mental, penderitaan politik, keterpinggiran budaya, meskipun secara rohaniah saya tetap sehat walafiat. Alhamdulillah jaket rohaniah perlindungan Allah tetap dipakaikan ke saya. Sampai hari ini saya tidak mendapatkan efek apa-apa dari hari-hari dan malam-malam gelandangan saya di sejumlah kota di Netherland.
Saya membayangkan tersungkur di hadapan Allah adalah puncak karier Jamaah Maiyah. Saya juga menanti-nantikan Indonesia dan globalisasi ini tersungkur sebagaimana para tukang sihir Fur’aun dulu. Jernihkan hati dan pikiran untuk merasakan dan menyadari bahwa kondisi atau sikap “tersungkur” dalam firman Allah itu adalah sebaik-baiknya posisi manusia kepada Tuhannya. Sejak dalam kandungan Ibunda setiap manusia mlungker, kemudian lahir sebagai bayi yang bisanya cuma lathang-lathang, menangis, tanpa bisa menolong dirinya sendiri. Itulah kenyataan paling riil dari eksistensi manusia yang sekarang malah anggak pethakilan cengengesan dan memuncak kesombongannya di era Globalisasi ini.
فَأُلۡقِيَ ٱلسَّحَرَةُ سُجَّدٗا قَالُوٓاْ ءَامَنَّا بِرَبِّ هَٰرُونَ وَمُوسَىٰ
“Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: Kami percaya kepada Tuhannya Musa dan Harun.”
Bahkan sebenarnya tidak perlu muter-muter dulu melewati kedhaliman dan kehancuran. Mestinya cukup dengan menyadari eksistensi dan keberadaannya sebagai manusia, sudah membuat tersungkur.
فَإِذَا سَوَّيۡتُهُۥ وَنَفَخۡتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُۥ سَٰجِدِينَ
“Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.”
Sesungguhnya setiap orang pernah mengalami tersungkur. Bahkan setiap orang memiliki ketersungkurannya masing-masing. Bulan Maret 1967 saya diusir dari Pondok Gontor dan saya tersungkur. Ibu dan Ayah saya tidak paham bahwa situasi saya tidak seperti sedang mengalami keterpurukan karena dikeluarkan dari Pondok. Saya tenang-tenang saja dan juga tidak usul apa-apa tentang apa yang akan saya lakukan berikutnya.
Tetapi berkat “mathrud” (diusir) dari Gontor itu saya mengalami peningkatan dan peluasan pembelajaran. Di Gontor hanya 2 tahun beberapa bulan. Hanya belajar Mauhfudlat, Muthalaah, Hadits, dan pelajaran-pelajaran elementer lainnya. Bahkan andaikan saya terus di Gontor sampai tamat juga tidak akan mendapatkan pelajaran Kitab Kuning apa-apa, yang selama ini menjadi msinstream pembelajaran Islam.
Kalau pakai ilmu hikmah, maka kondisi kurikulum Gontor yang modern itu tidak mungkin memberikan kepada saya infrastruktur pengetahuan untuk masa depan saya dengan kelengkapan yang diperlukan. Yang dididikkan oleh Gontor kepada saya adalah kemandirian, keuletan hidup, disiplin prima, serta luasnya pergaulan. Itu sangat bagus, tetapi tidak cukup untuk modal masa depan amanah-amanah hidup saya. Maka saya “harus” diusir balik ke Menturo. Ternyata gunanya adalah supaya Ayah saya sendiri yang mempesantreni saya. Ayah saya dulu alumnus Pesantren Tebuireng, sempat mengajar beberapa tahun. Kemudian nyantri lagi di Sedayu Gresik. Benar-benar nyantri dari awal. Sampai akhirnya ketahuan oleh salah seorang Ustadznya bahwa sebenarnya Ayah saya adalah gurunya Ustadznya.
Pendidikan Kakek saya di Sumobito menjadikan Ayah saya manusia luar biasa di mata saya. Kalau menyapu kurang bersih atau melakukan kesalahan tertentu, Ayah saya diusir dan baru boleh pulang ke rumah kalau sudah khatam Al-Qur`an. Kesalahan lain harus diongkosi dengan penguasaan atas Kitab Kuning tertentu. Maka Ayah saya adalah guru saya untuk segala jurusan pengetahuan Islam. Ayah saya adalah aktivis NU yang Muhammadiyah dan pendiri Muhammadiyah di Jombang Timur yang NU. Di Menturo semua itu berada dalam satu ruangan inklusif, bahkan PNI dan PKI diakomodasi oleh Ayah saya. Sebagaimana Rasulullah Saw. diutus untuk semua ummat manusia. Sebagaimana Al-Qur`an sendiri adalah “hudan linnas”. Petunjuk bagi seluruh makhluk manusia, bahkan Jin.
Maka setelah diusir dari Gontor, beberapa lama di Menturo itulah saya “nyantri” kepada Ayah saya sendiri. Dari filsafat dan lelaku hidup, pokok-pokok Kitab-Kitab Kuning, pengetahuan dan pengalaman Santet, dunia hantu dan Jin, berbagai olahraga baku dari pingpong badminton volley ball hingga sepakbola, media komunikasi internasional, BBC, ABC, NHK. Tidak ada orang desa seperti Ayah saya yang selalu ke Surabaya pulang ke Menturo membawa majalah dan koran-koran nasional. Rutin mengikuti berita-berita internasional. Dan semua fasilitas modern itu disiapkan oleh Ayah saya tidak sebagai kemewahan atau hedonisme, melainkan untuk pengetahuan dan “thalabul ‘ilmi”. Sampai pun ke urusan emblim dan kostum seragam Ishari (Ikatan Seni Hadrah Indonesia). Bahkan banyak dimensi-dimensi pengetahuan dan pengalaman hidup lainnya yang tanazzul dari Ayah saya langsung, atau lewat Ibu saya. Bahkan saya niatkan beberapa lama “ngawula” kepada Mbah Abdul Lathif Sumobito (Mbah Dul), mencuci sarung dan pakaiannya, menimbakan air untuk kamar mandinya, menyapu rumahnya, sampai akhirnya beliau mentransfer saya sejumlah “jurus” yang saya perlukan dan saya daya gunakan sampai hari ini.
Maka sesudah tersungkur diusir dari Gontor, tatkala kemudian saya berhijrah ke Yogya, saya sudah disangoni oleh Ayah Ibu saya paket-paket “tirakat Malaikatan” dari Menturo, “jurus-jurus” dari Mbah Dul yang dikawal oleh Mbah Ud sehingga berpindah tempat dari Kedungcangkring Sidoardjo ke Betek Mojoagung untuk mendekat ke Sumobito. Kalau Idul Fitri, sebelum kami sekeluarga Menturo sowan ke Sumobito, selalu sudah keduluan oleh Mbah Ud atau Gus Ud sudah ngapurancang ke Mbah Dul. Juga saya masuk Yogya, di samping berkat Menturo dan Sumobito, di dalam aliran darah saya juga ada zat-zat Gontor, sehingga speed perjuangan saya di Yogya menjadi tinggi. Di dalam Persada Studi Klub “Pelopor Yogya” asuhan guru saya Umbu Landu Paranggi, untuk merangkat naik ke level “Sabana” rata-rata butuh waktu 2-3 tahun. Alhamdulillah saya cukup 5 bulan untuk bertengger di sana.
Ini bukan kisah tentang kehebatan. Ini informasi tentang validitas hulu ledak, tentang kuda-kuda, tentang kelengkapan jurus dan interrelasi pengetahuan dan ilmu.
تِلۡكَ ٱلرُّسُلُ فَضَّلۡنَا بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۘ مِّنۡهُم
مَّن كَلَّمَ ٱللَّهُۖ وَرَفَعَ بَعۡضَهُمۡ دَرَجَٰتٖۚ
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat.”
Informasi kebijakan Allah ini berlaku untuk semua makhluk-Nya atau semua manusia, meskipun kadarnya tidak sebagaimana “fadhilah” kepada para Nabi. Dan saya 100% sama sekali bukan Nabi. Tetapi saya dan kita semua adalah makhluk, yang kacang diberi fadhilah yang tak diberikan kepada jagung. Sebagaimana keistimewaan tebu juga tidak sama dengan keistimewaan pohon jati.
Allah menganugerahkan semacam algoritma kehidupan, formula, coding kesalehan. Dan puncak sikap hidup bagi dan pada manusia adalah bersujud kepada-Nya. Berendah hati, ambruk, tersungkur, dan menyerah sepenuh-penuhnya kepada Allah. Kalau “pasrah” itu mewah. Ini menyerah. Ketidakberdayaan total.
Saya meyakini bahwa para penghuni strata dholimun dari susunan masyarakat, pemegang kuasa Negara Plagiat, Demokrasi Taqlid, para penggerak, penggiat, dan pemlagiat atau followers internet dan medsos yang like like dalam fir’aunisme Globalisasi segera tiba saatnya la’allaum matèke nylorot. Mengacu kepada sekali peristiwa di Menturo di mana jenazah seseorang nylorot meluncur dari bendosa dan jatuh ke tanah. Saya meyakini dalam waktu tidak terlalu lama ke depan, Allah akan men-tanazzul-kan kejutan dan hiburan bagi para pengabdi dan penyembah-Nya.