Teror Es Coklat Susu
Bulan Maret tahun lalu (2020) tampaknya menjadi titik pijak perantauan yang saya jalani. Dari Blora, Tuban, Jombang, Surabaya, hingga saat ini di Kadipiro, Yogyakarta. Tepatnya di Syini Kopi. Tidak terasa sudah setahun lebih melayani pelanggan, bikin kopi, masak mendoan, hingga cuci gelas dan piring di Syini Kopi. Selain beberapa pekerjaan yang memang sudah semestinya saya kerjakan di Syini Kopi, ada hal yang lebih menarik, yakni penerima tamu atau resepsionis.
Seperti yang banyak diketahui khalayak, Kadipiro menjadi salah satu sasaran utama bagi orang-orang yang ingin berkeluh-kesah, memecahkan masalah, hingga “berobat” ke Mbah Nun. Dari pagi buta sampai dini hari, banyak orang datang ke Kadipiro untuk menemui Mbah Nun. Dan saya tak jarang juga menerima, ngobrol, hingga ngancani mereka. Tamu bukan sembarang tamu, ada yang dengan percaya dirinya ia mengaku waliyullah, ada yang membawa sedih sebab ditinggal (mantan) kekasihnya menikah dengan pria lain, hingga mbak-mbak yang mengaku telah dinobatkan sebagai ratu dari para ratunya bangsa Jin.
Kebanyakan saya menjumpai orang-orang tersebut di jam operasional Syini Kopi, atau mungkin hingga mendekati waktu subuh. Terakhir yang saya ingat, ada bapak-bapak sekitar usia 40-an tahun datang seorang diri ke Rumah Maiyah sore hari. Kebetulan saya sedang nyantai sebab kondisi warung tidak terlalu ramai. Jadilah bapak itu bertanya-tanya apa ini betul kediaman Pak Emha Ainun Nadjib, saya nyelinguk ke Pendopo dan nampaknya tidak ada Om-om Progress di sana. Walhasil saya persilakan bapak tersebut untuk duduk, dan kami ngobrol-ngobrol mengalir saja.
Bapak itu bilang kalau baru saja mendengar tayangan Jurnal Cak Nun di salah satu tempatnya beristirahat. Menceritakan si “Nur”, orang gila yang dienggan-enggankan kehadirannya oleh rombongan orang alim yang mertamu ke Mbah Nun. Bapak tersebut bilang kalau apa yang dilakukan Mbah Nun tidak seperti kebanyakan orang sekarang, yang menolak, mengusir, mengucilkan, hingga membenci habis-habisan orang gila beneran atau yang dibikin gila oleh masyarakat yang menganggapnya orang gila. Dan itulah apa yang bapak tersebut rasakan. Merasa dijauhi dan dikucilkan oleh orang-orang sekitarnya, bahkan saudaranya sendiri.
Ia bilang kalau selama ini mendapat teror dimanapun ia berada. Sejak ia dari Kuningan, Semarang, Gresik, hingga Yogya pun tidak luput dari teror-teror itu. Bukan diteror oleh orang-orang asing, melainkan bunyi kicauan burung Emprit Gantil, yang kata orang kicauannya menandakan akan adanya kematian atau sakit yang akan hinggap pada pendengarnya atau orang-orang dekat si pendengar. Sejauh bapak itu bepergian baik di rumah saudara-saudaranya hingga ke tempat penginapan, selalu saja diteror suara burung itu.
Sewaktu menginap di rumah saudara-saudaranya lah, ia bercerita ke saudaranya kalau seringkali mendengar kicauan Emprit Gantil dengan lantang dan tidak mengenal waktu. Dan bunyi itu semakin lantang ketika adzan berkumandang. Direspons enteng saja oleh saudaranya, bahwa itu cuma perasannya saja. Wong tidak ada orang serumah pun yang mendengar suara burung itu. Sampai bapak itu merasa terus terganggu, di situlah ia memutuskan untuk berpindah tempat, bepergian ke kota lain tanpa tujuan. Intinya, ia hanya ingin tenang tanpa mendengar teror-teror suara burung itu.
Sampai pada waktunya bapak itu di Yogyakarta, menyusuri setiap tempat tanpa tujuan yang jelas kemana arahnya. Lantas bapak itu mendengar Jurnal Cak Nun yang saya sebutkan di atas, dan mencari tahu siapa Cak Nun dan di mana Cak Nun bisa ditemui, dan Kadipiro lah tempatnya. Berhubung sedang mampir di Syini Kopi, bapak itu memesan seporsi mendoan dengan es coklat susu yang jelas-jelas lezat dinikmati. Dulur-dulur pembaca CakNun.com tiada salahnya untuk coba langsung ke Syini Kopi buat membuktikan kelezatannya.
Sayang sekali, waktu itu si bapak belum dipertemukan dengan siapa yang ia cari. Sedangkan ia harus segera meninggalkan Yogya malam itu juga. Tapi bapak itu tidak menyesal atau kecewa, sebab yang betul-betul bisa mengubah dirinya ya cuma dirinya sendiri. Bi idznilah. Saya dipesani untuk terus eling lan waspada atas apa-apa saja yang saya perbuat. Memperhitungkan sebab-akibat, mendatangkan manfaat atau mudharat, menimbulkan keindahan atau justru kebobrokan.
Itu baru satu dari sekian banyak Para Pencari Cak Nun yang saya temui. Berdasarkan klasifikasinya, tipikal Para Pencari Cak Nun bisa dulur-dulur ketahui di tayangan Mocopat Syafaat Oktober 2020 yang dijelaskan Cak Zakki dan Om Helmi.
***
Hidup dan bekerja di Syini Kopi yang menjadi bagian dari Kadipiro rasanya eman-eman kalau tidak saya gunakan untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Mulai dari cara menyeleksi biji kopi mana yang punya value lebih untuk penikmat kopi di Syini Kopi, belajar musik dari Pakdhe-pakdhe KiaiKanjeng dan Mas-mas Letto, sinau penulisan dengan Om Helmi dan Mas Roni, dan lain-lain.
Lingkaran pertemanan yang bermula dari Syini Kopi juga menjadi nilai tambahan buat saya. Bertemu founder salah satu media penulisan online yang tentunya nambah semangat untuk menulis, hingga barista-barista andal yang ngobrol ngalor-ngidul perihal kopi dengan lancarnya.
Dan tak terkecuali Para Pencari Cak Nun, saya banyak belajar juga dari mereka. Perihal kesabaran, kegigihan menjalani hidup, dan menjadi tempat dimana saya harus bisa menjadi wadah bagi keluh-kesah siapapun, tanpa memposisikan bahwa saya lebih baik dan beruntung daripada siapapun saja.
Kadipiro, 19 April 2021.