Ternyata Nyata Senyata-nyatanya
Bu Novia Kolopaking murka serius dan marah besar kepada suaminya, yaitu saya. Karena menurut sejumlah spanduk di Sidoarjo dan narasi-narasi di milis tertentu di internet, suaminya melakukan kedhaliman di Sidoarjo. Melakukan kebohongan dan penipuan, bahkan menerima uang haram dari Bakrie Lapindo.
Bu Novia adalah keturunan seorang Bapak yang dulu kepalanya dihantam sebongkah batu oleh mertuanya sendiri. Dibunuh tidak melalui suatu duel atau perang tanding, melainkan melalui jebakan budaya di mana sang menantu bersembah sujud kepada mertuanya, kemudian dihajar bagian belakang kepalanya.
Maka turun-temurun sampai Bu Novia sangat sensitif atas kepalanya. Sangat keras sikapnya dan defensif kecenderungannya terhadap segala sesuatu yang mungkin akan menyentuh kepalanya, martabat kemanusiaannya atau harga diri kehidupannya. Dalam keadaan normal saja budaya manusia Jawa tidak memperbolehkan “ngendhas-endhasi” orang lain.
Maka semua narasi di Sidoarjo dan di internet membuat Bu Novia kalap dan berang kepada suaminya. Si suami tidak berdaya apa-apa kecuali njepiping ketakutan. Turunan alur nasib trauma kepala ini sangat teliti dan peka terhadap lalu lintas informasi. Di hari-hari Reformasi Mei 1998 dulu beliaulah pemasok data dan informasi setiap saat kepada suaminya. Kalau ia temukan sedebu ketidakjujuran atau sedharrah kebohongan, ia akan incar sampai setapak langkah sebelum gerbang sorga-neraka.
Bu Novia mengirim pernyataan kepada para aktivis lumpur melalui milis yang sama, email maupun telepon langsung. “Saya akan datang ke Sidoarjo, saya akan berada di sana pukul 09.00 pagi hingga 17.00 sore. Saya minta semua yang mengetahui dan punya bukti tentang kedhaliman dan kebusukan suami saya dalam mengurusi lumpur, saya mohon menyampaikannya kepada saya. Kalau secara moral dan hukum suami saya memang pantas dipancung lehernya, maka saya sendiri yang akan menjadi eksekutornya. Karena sayalah yang paling berhak atas suami saya”.
Bu Novia pun berangkat ke Sidoarjo. Suaminya diajak tapi tidak boleh omong apa-apa, juga tidak diizinkan untuk hadir di pertemuan di Rumah Makan “Porong” yang akan ia gelar. Ini adalah peperangan dan pertaruhan “kepala”. Harga diri. Martabat hidup. Sesudah segala sesuatunya dipersiapkan dan mulai dilaksanakan, saya pergi ke suatu tempat yang ada deretan warung-warung, ditemani oleh Muhammad Hadiwiyono, anak saya sejak di Patangpuluhan yang tinggal di Semboro Jember.
Saya tentu saja sangat bisa merasakan apa yang bergejolak di hatinya Bu Novia. Saya “menyihir” Nirwan Bakrie sehingga ikhlas mengeluarkan uang sekitar 10-T, bukan sebagai pelaksanaan vonis hukum, melainkan sebagai shadaqah kemanusiaan. Sebab Minarak tidak salah menurut Mahkamah Agung maupun menurut mayoritas Geolog dunia.
Bahkan Lapindo itu gabungan saham Minarak dengan Medco dan Santos perusahaan Australia, tetapi karena atmosfer kedengkian nasional antar sesama pribumi — yang diundat-undat hanya Bakrie dengan Minaraknya. Itu pun para Ahmaq pengundat-undat itu menyebut-nyebut nama Aburizal Bakrie, padahal yang diamanati oleh Bu Bakrie adalah Nirwan Bakrie. Aburizal sudah udzur dan off dari segala dinamika Bakrie Group.
Malah saya dituduh dikasih uang oleh Bakrie, padahal saya yang “morotin” mereka agar Ibunya berfatwa supaya anaknya menolong penduduk korban lumpur. Ini dunia aneh, otak terbalik atau bermental Ahmaq: ada orang saya giring masuk kesulitan besar, merelakan hilangnya 10-T, dan untuk itu dia menyogok saya. Pasti itu orang gila.
Sementara penduduk korban lumpur yang mendapatkan rumah kembali dengan harga berlipat-lipat, malah saya larang memberikan uang berapapun kepada saya. Dan itu merupakan salah satu pasal resmi Surat Perjanjian di antara kami, yang terdokumentasi di Kadipiro. Saya pasti juga Ahmaq yang gila.
Mestinya kalau ibarat makelar, saya punya hak hukum dan moral untuk memperoleh 1-2,5 persen atau bisa saja lebih dari jumlah semua uang yang diterima oleh penduduk. Lha itu malah saya sendiri yang mengharamkan, dan saya hanya mau menerima beberapa porsi Rawon Nguling plus beberapa bungkus rokok. Saya adalah sebodoh-bodohnya orang yang hidup di zaman materialisme maniak dan kapitalisme ultra-liberal sekarang ini.
Sepanjang perjalanan Yogya-Sidoarjo, turunan Watu Gilang nyicil menelepon para pengutuk suaminya. Rata-rata menjawab bahwa mereka tidak tahu dan tidak ikut apa-apa. Sebagian menghibur Bu Novia: “Saya juga heran lho Mbak Novia, kok bisa-bisanya mereka omong begitu tentang Cak Nun, padahal Cak Nun berjasa sangat besar kepada korban lumpur”. Padahal si penghibur itu sendirilah yang memaki-maki suami Bu Novia di internet dan media-media lain.
Saya baru sadar bahwa terminologi dan kategori tentang manusia yang dikasih Tuhan tentang “Asfala Safilin” itu ternyata memang nyata senyata-nyatanya.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia menjadi yang sebaik-baiknya makhluk di antara semua makhluk yang ditegakkan. Kemudian Kami kembalikan dia ke keadaan yang sehina-hinanya di tempat yang serendah-rendahnya.”
Bu Novia sewa ruangan di Rumah Makan “Porong” jam 09.00 sampai 17.00 sore. Di hadapan para wartawan yang hadir beliau menjelentrehkan secara detail yang beliau ketahui dalam koordinasi dengan Kadipiro. Tapi tidak ada satu pun di antara para pem-bully suaminya yang datang.
Bu Novia coba mengejar dan mendapat jawaban bahwa mereka tidak datang karena khawatir akan dikeroyok, dikriminalisasi atau ditawur. Seolah-olah Bu Novia adalah pemangku para Gali dan Preman.
Bu Novia menyatakan sedang menunggu rekonfirmasi tentang kejahatan suaminya. Tetapi kemudian yang datang beramai-ramai justru adalah penduduk korban lumpur, sampai lebih dari 300 orang. Kemudian atas izin Bu Novia, saya menemui mereka, berdiri di atas bak truk dan mengemukakan:
“Saya sudah berusaha maksimal apa yang bisa saya perjuangkan untuk Anda semua. Sekarang tinggal menunggu giliran dengan sabar untuk menerima cicilan bayaran dari Pak Nirwan. Saya mohon pamit karena semua sudah jelas dan tinggal menunggu waktunya. Saya harus mengurusi banyak kasus lain di daerah yang lain. Semoga semua lancar. Kalau ada keterlambatan pembayaran cicilan, saya masih tetap akan ikut menagih ke Pak Nirwan.”
Dan sekian puluh kali memang saya yang menagih kepada Nirwan kalau ada ketersendatan pembayaran.
Tiba-tiba massa lumpur itu berteriak-teriak: “Jangan Cak! Jangan pergi! Jangan tinggalkan kami!”.
Bambang Sakri, yang badannya tinggi besar, salah satu perwakilan kelompok korban, menyongsong saya dari bawah truk, memegang kaki saya, nggandholi sambil menangis meraung-raung.
Tetapi saya belajar kepada orang-orang bijak di masa silam, Yesus Kristus, Sayidina Ali dan Imam Al-Ghazali: “fatrukhum”. Tinggalkanlah. Tentu yang saya tinggalkan bukan korban lumpur, melainkan para Humaqa yang memanipulasi untuk kapitalisme picisan tapi berlagak membela mereka. Jembek reang.