Terminologi dalam Metodologi Khidlir
Semua apa saja yang kau alami, kau capai, menimpakan ujian kepadamu atau menganugerahkan kegembiraan pada hidupmu, adalah cipratan keajaiban. Kecuali engkau mampu menciptakan, merencanakan, mendaftar, memprogram dan menentukan itu semua atas dirimu, dari tidak ada apa-apapun hingga terjadi.
Saya dianugerahi keajaiban oleh Allah berupa sahabat-sahabat sejati seperti Pakde Nuri, Mas Uki Bayu Sejati, Edy Winarto, Markesot, dan banyak lagi. Di Dipowinatan dan Dinasti ada Nevi Budianto dan Jemek Supardi, bagaimana itu semua bisa disebut tidak ajaib. Tentu saja itu di luar Rendra dan sekian figur-figur lain yang istimewa bagi saya. Bahkan di setiap lingkaran silaturahmi saya saya alami sejak Menturo, Gontor, Yogya, Jakarta, selalu ada makhluk-makhluk ajaib yang Allah anugerahkan kepada saya.
Kau bertamu ke rumah Gus Umar, disuguhi teh panas. Cangkir dan lepeknya berjalan sendiri kemudian meletakkan diri di meja depanmu. Kau ambil kertas hijau bertuliskan teks wirid, tapi setiap kali kau pegang di tanganmu, ia menjadi merah. Kau disuruh mandi oleh beliau tapi di bak mandi rumahnya tidak ada air. Setelah kau kembali dan bilang tidak ada airnya, beliau mempersilakanmu kembali ke kamar mandi dan ternyata penuh airnya.
Seorang penampil di Alun-alun Tuban menjulurkan kedua tangannya ke depan dengan telapak terbuka, semua massa di lapangan itu rebah ke belakang seperti padang rumput. Satuan petugas Pemerintah berombongan ke suatu Pesantren untuk menangkap Kiainya, di tengah jalan mobil mereka mengalami kecelakaan sehingga batal program penangkapannya. Beberapa waktu kemudian diulang rombongan itu ke sana, tetapi ternyata tidak ada pesantrennya, tidak ada bangunannya. Rombongan petugas itu hanya melihat hamparan air laut. Dua orang pencuri membobol rumah seorang Mbah tetapi mereka gagal untuk keluar. Sampai pagi mereka berenang-renang seolah-olah sedang menyeberangi sungai. Sampai kemudian tuan rumah memaafkan, baru mereka bisa keluar dan pulang. Seorang kekasih Allah marah kepada kekasih Allah yang lain karena menitipkan salam kepadanya melalui seseorang. Padahal ia ditugasi Allah untuk bersembunyi dan disembunyikan oleh Allah dari pengetahuan manusia. Maka ia sepata: “Wis kit biyen singitan malah kok umum-umumno, titip-titip salam barang. Nek ngene carane aku tak matek ae…”. Dan ia meninggal di pojok pasar sebuah kota pesisir utara Pulau Jawa bagian tengah.
Saya tidak mampu memahami itu semua. Maka itu ghaib. Tetapi saya tidak menolak atau menganggapnya tidak ada. Demikian juga hal yang sama yang terjadi di medan sosial budaya manusia, di urusan kesehatan dan kedokteran, politik dan peradaban.
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَۚ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِۚ
وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةٖ فِي ظُلُمَٰتِ ٱلۡأَرۡضِ
وَلَا رَطۡبٖ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab Lauh Mahfudz”.
Nabi Musa “meguru” kepada Sayidina Khidlir dengan syarat sederhana: tidak boleh bertanya. Tiga kali berturut-turut Nabi Musa bertanya, bahkan mempertanyakan dengan nada menggugat, maka “hadza firaqun baini wa bainika”.
قَالَ هَٰذَا فِرَاقُ بَيْنِى وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
أَمَّا ٱلسَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَٰكِينَ يَعْمَلُونَ فِى ٱلْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
“Khidir berkata, ‘Inilah perpisahan antara aku dan engkau. Nanti aku akan memberitahukan kepadamu mengenai takwil peristiwa yang mana engkau tidak dapat sabar untuk segera mengetahuinya. Adapun perahu itu kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku sengaja merusaknya, karena di hadapan mereka terdapat seorang raja yang mengambil setiap perahu secara paksa”.
Ini momentum perpisahan kamu dariku. Kapal dirusak dan dibikin bocor-bocor oleh Khidlir demi menyelamatkannya dari kapal perampok. Itu dimensi kekinian. Terjadi sekarang. Khidlir mencekik anak kecil, karena anak ini sangat kuat kepribadiannya tapi kafir kepada Allah dan itu bisa mempengaruhi orang tua dan lingkungannya. Ini dimensi masa depan yang Khidlir bisa membacanya. Khidlir menegakkan pagar hampir roboh, karena di bawahnya tersimpan harta karun. Ini dimensi masa silam dan hanya Khidlir yang punya metodologi untuk meneliti, mengetahui, dan menyimpulkannya.
Itu terminologi dalam metodologi Khidlir. Waktu tidak linier dalam kesadaran manusia. Ia berputar dalam siklus. Kalau Bapak marah kepada anaknya: “Kenapa kamu bolos Sekolah”. Itu masa kini. “Mau jadi apa kamu besok-besok?”. Dimensi masa depan. “Bapakmu dulu….”. Dimensi masa silam.
Tetapi tidak ada kaum intelektual modern yang belajar kepada Profesor Doktor Khidlir, sehingga pengetahuan mereka sepetak. Sehingga spektrum ilmu mereka tidak merangkum “tiga massa” itu sejak kosong hampa pra Nur Muhammad hingga sorga Jannatun-na’im. Sebenarnya tidak apa-apa tidak belajar kepada Baginda Khidlir, asal jangan merasa benar sendiri, keminter, kemeruh, dan mengklaim semua kebenaran ada di tangannya. Dan cacat itu dipakai untuk mengatur Negara, menata kesejahteraan rakyat, sampai mempedomankan kepadanya urusan wabah Covid-19.
Manusia modern abad 21 sangat mandiri dan berdaulat. Sehingga mereka mainstream seluruh dunia menolak klaim Allah:
أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ لَهُۥ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۗ
وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ
“Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.”
Dalam skala luas, masyarakat, Negara, bangsa-bangsa sedunia, posisi atau maqam makhluk adalah pelengkap penderita yang lemah dan terbatas. Pada maqam “abdullah”, hamba Allah, kebenaran adalah bertauhid. Pada maqam “khalifatullah”, kebenaran dirumuskan dalam aplikasi yang berdasarkan terminologi “merusak atau membangun”, “bermusuhan atau bersaudara” sampai tingkat menumpahkan darah atau saling menjaga kehidupan sesamanya.
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ
قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ
وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ
قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Maka seluruh pergaulan saya sejak Menturo hingga Filipina, Amerika, Jerman, Belanda, Belgia, Yunani, Maroko dan mana-manapun, bukan mengukur orang berdasarkan identitas administratifnya: Muslim atau Kafir atau Musyrik dan Munafik. Melainkan merusak atau tidak, menista dan membunuh atau memusnahkan eksistensi sesama makhluk Allah atau tidak.
Lima minggu saya keliling Pulau Luzon Filipina ketemu segala jenis rakyat, “syu’uban wa qabaila” bersama teman Pastur dan Pendeta. Dari petani di Sorsogon, kaum intelektual di University of Phillipines hingga buruh-buruh di pabrik-pabrik Pulau Mariveles. Kemudian di Jerman dan Belanda saya ikut jamaah dan jumatan di Mesjid-masjid kelompok-kelompok Islam, tapi juga berientraksi erat dengan mahasiswa Orba maupun Orla. Bahkan bergaul dengan teman-teman PKI hingga ke Hannover, Frankfurt, Amsterdam dan Yunani untuk Kongres Partai Komunis Dunia.
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَأَصۡلِحُواْ ذَاتَ بَيۡنِكُمۡۖ وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
“Oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”
Bahkan saya tidak keberatan bersilaturahmi dengan makhluk-makhluk lain yang bukan manusia. Karena informasi Allah “sesamamu” di ayat itu menurut saya adalah semua sesama makhluk Allah.
Coba cari pepustakaan atau temui para Profesor atau Ulama dan minta informasi dan penjelasan apa siapa serta sejarah Zalitun, Watsin, Laqus, A’wan, Haffaf, Murrah, Masuth, Dasim dan Walhan. Syukur sekalian Khanzab, Zalanbur, Tabri, Matun dan Abyad. Kalau tidak ya cari yang regional: Qafandar, Akwariya Zawal, Wahhar, Tamrih, Matkun dan Ruha. Kalau kebetulan belum ada kepustakaan dan tidak jelas sanadnya, coba konfirmasi yang lokal saja: Durgo Neluh, Bolo Batu, Locaya, Sidokare, Aburaduk, Surabanggi, Kalakathung, Kolodurgi, Sembung Yudho, Suwarda, Nyi Ragil, Monda-monda atau Rajeg Wesi.