Teknologi Insani Wujud “Advancing Humanity”
Revolusi teknologi memboyong cita-cita kemajuan, kemudahan, serta efektivitas. Di mana letak manusia serta kemanusiaan dalam proses teknologisasi segala bidang?
Perguruan tinggi memiliki kelengkapan fasilitas untuk melakukan produksi pengetahuan. Dari modal laboratorium, ilmuwan, hingga cetak biru rancangan penelitian, perguruan tinggi punya otoritas mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu terapan atau bersifat kajian, universitas tinggal menentukan skala prioritas.
Termasuk pola pengembangannya. Apakah bebas nilai atau terikat nilai. Bebas nilai berarti ilmu pengetahuan ditempatkan secara objektif. Sebaliknya, terikat nilai mengandaikan progres pengembangan ilmu pengetahuan tak terlepas oleh intervensi tertentu. Yakni pertimbangan etis maupun moral.
Teknologi adalah medium perpanjangan kehendak manusia. Ibarat perpanjangan atau the extension of human, teknologi punya dua sisi mata pisau. Teknologi mengakselerasi revolusi industri tapi sekaligus berpotensi membuat orang teralienasi. Itulah sebabnya, teknologi seyogianya mempertimbangkan aspek insani.
Institut Teknologi Sepuluh November (ITS Surabaya) menghendaki agar teknologi — sesuai moto almamater — punya daya lenting advancing humanity. Semboyan inilah yang melandasi Sinau Bareng ITS bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng Selasa malam (19/10) di Pendopo Rumah Maiyah.
Walau ITS berlokasi di Sukolilo Surabaya, berkat teknologi pula, helatan acara dilaksanakan di Kadipiro Yogyakarta. Teknologi internet menghapus bentangan jarak berikut mempertemukan keduanya secara virtual lewat tayangan di YouTube CakNun maupun ITS.
Teknologi muncul karena inovasi dan kreativitas. Kedua kata tersebut acap disalahartikan. Bahkan kerap dipertukarkan kedudukannya. Mas Sabrang mencoba menjernihkan posisi keduanya di hadapan teknologi. “Kreativitas adalah ide yang sengaja dimunculkan. Ide ini muncul dari tindakan yang sengaja maupun tidak sengaja,” ucapnya.
Tanpa permasalahan atau orientasi tertentu kreativitas mustahil muncul. Orang kreatif justru sering lahir di tengah kondisi tidak pasti. Setidaknya dia menghadapi suatu tantangan di luar keadaan biasanya. Tantangan inilah yang mendorong orang mengeluarkan kreativitas. “Masalahnya, ide dan kreativitas ini sifatnya abstrak,” sambungnya dengan yakin, “Nah, apa bedanya dengan inovasi? Inovasi adalah ide yang diimplementasikan.”
Inovasi sebagai anak kandung dari ide dan kreativitas memiliki tolok ukur. Beliau menuturkan lebih lanjut kesinambungan inovasi dan teknologi. Pertama, inovasi membersitkan inspirasi kepada orang lain. Kedua, inovasi membangun sedemikan rupa kebiasaan tertentu yang berdampak pada orang banyak. Ketiga, inovasi yang terejawantah ke dalam teknologi memberikan efektivitas waktu.
“Sejak peradaban apa pun waktu tetaplah konstan. Misalnya, kesepakatan sehari 24 jam dari dulu sampai sekarang sama. Tapi berkat inovasi di dalam teknologi orang bisa lebih efektif memanfaatkan waktu,” jelasnya. Teknologi komputasi yang berdampak pada “melipat jarak dan menghemat waktu” seperti sekarang menyeruak karena progres ilmu pengetahuan sebelumnya. Mas Sabrang juga menyentil tonggak-tonggak tiap peradaban. Dia menjabarkan lintasan sejarah dari revolusi penemuan tulisan sebagai teknologi memori hingga revolusi digital penanda masyarakat informasi.
“Jadi, jelas di sini kalau advancing humanity ya membuat teknologi agar sesuai manfaat orang banyak. Bagi manusia, setidaknya teknologi dapat mengefektifkan ruang dan waktu,” imbuh Mas Sabrang. Soalnya kemudian teknologi memberikan dampak tak terduga bahkan kurang terprediksi sebelum diluncurkan.
Persoalan ini memposisikan manusia sebagai makhluk berakal serta multidimensional. Kekhasan yang tak dimiliki bagi hewan maupun tumbuhan. Sebab mereka, kata Mas Sabrang, sekadar berurusan dengan perut, sedangkan manusia lebih kompleks. Pada kaitan teknologi dan psikologi manusia, misalnya, terlihat dari keresahan yang timbul hanya karena kurang mendapatkan atensi sosial. Antara lain kurangnya perolehan jempol maupun komentar dari orang lain. “Kok cuma dapat like sepuluh ya padahal kan akunnya udah centang biru,” Mas Sabrang mencontohkan.
Di luar variabel kemanusiaan tersebut beliau menyimpulkan dengan kritis. Kreativitas dan inovasi memang ditujukan untuk menjawab masalah. Sementara efek keduanya, tatkala telah terteknologisasi, akan menuai persoalan lain yang tak kalah kompleks.
“Saya kira di sini kita melihat dua hal yang berbeda. Maksudnya begini. Pengembangan teknologi ini terikat oleh logika reduksionis. Artinya, dia bersifat ceteris paribus. Nah, itu untuk sains sangat efektif. Tapi tidak bagi ilmu-ilmu sosial,” tuturnya.
Ilmu sains, ujarnya menambahkan, cenderung melakukan pengkotakan. Hal ini tak dapat diterapkan bagi ilmu humaniora. “Wajar kalau semua penemuan teknologi menghasilkan efek samping tertentu.” Mas Sabrang lalu menjelaskan secara bernas akar dari efek samping teknologi dengan mengambil perspektif ilmu empiris (empirical science) dan ilmu testimonial (testimonial science).
***
Tema Advancing Humanity merupakan payung besar di balik perayaan Dies Natalis ke-61 ITS. Cak Nun mengapresiasi seremoni tahunan tepat di hari perayaan Maulid Nabi 1443 Hijriah. “Dies Natalis sekaligus maulid ini mencerminkan kelengkapan ilmu ITS. Kampus ITS memperlihatkan kelengkapan memandang kehidupan dengan utuh. Saya mengucapkan selamat dan assalamu’alaikum,” ungkapnya.
Menurut Cak Nun, advancing humanity hendaknya dibarengi dengan jiwa ahsanu taqwim. Namun, beliau memiliki sudut pandang berbeda terhadap beban diksi humanity tersebut. Implikasi kemanusiaan yang diemban kata ini dianggapnya relatif berat. Sebab meniscayakan universalitas. Alih-alih memfokuskan pada manusia sebagai sosok, Cak Nun menawarkan konsep advancing creativity atau advancing quality.
“Kalau keduanya ini fokusnya adalah manfaat. Pada persoalan kualitas. Kalau humanity risikonya besar karena harus sesuai seperti Tuhan ciptakan dulu. Meskipun manusia sendiri adalah ciptaan paling lengkap. Bahkan di dalamnya terdapat unsur ketuhanannya,” tegas Cak Nun. Tawaran beliau menunjukkan aplikasi manfaat yang akan diberikan ITS sebagai institusi akademik.
Bagi Cak Nun, persoalan istilah yang cenderung aplikatif tersebut mendorong “manajemen kelembagaan” yang berdampak langsung kepada masyarakat. Sesuatu yang kurang terengkuh kalau memakai terma advancing humanity.“ Saya kira frame ITS ya jā‘ilun fil ardhi yang primernya adalah ilaihi rajiun dengan kembali kepada kelembutan. Jadi, kalau pakai advancing humanity ya puncaknya berperilaku fathonah ,”terangnya.
Paparan itu diamini Dr. Darmaji, salah satu perwakilan ITS yang tadi malam turut hadir di Kadipiro. Kepala Laboratorium Pemrograman dan Komputasi Visual Matematika ini mengharapkan agar civitas akademika ITS jangan hanya pintar saja. Mahasiswa ITS digadang-gadang memiliki pula sikap lembut yang kelak ikut memajukan kemanusiaan.
“ITS berjibaku dengan sains dan teknologi tapi juga diharapkan memberikan manfaat lebih luas kepada masyarakat. Ya lewat kurikulumnya, kegiatan mahasiswanya, dan lain-lain. Semoga dengan dies yang juga di hari maulid nabi ini kita diberkahi Allah melalui ekspresi cinta dari Kanjeng Nabi,” katanya.