Tekanan Penyakit Gila
Mungkin semua, atau kebanyakan masyarakat aslinya tidak paham kepada “manajemen Kadipiro”. Tentu sedikit demi sedikit ada sebagian yang pelan-pelan berikhtiar untuk memahaminya.
Kita para pelaku Maiyah tidak memperjuangkan, menempuh, bertujuan atau berobsesi mencapai apa yang kebanyakan orang di bumi ini mencarinya. Tidak bisa diukur mana atau siapa yang lebih maju atau yang tertinggal, karena berjalannya ke arah yang berbeda dengan arus seluruh dunia. Maiyah tidak mencari apa yang penduduk bumi cari.
Maiyah tidak mengejar apa yang kebanyakan manusia mengejar. Maiyah tidak menggilai kebanyakan hal yang kebanyakan orang tergila-gila, nggendhengi atau mungkin sampai gila beneran. Gila tidak dalam arti kenthir atau sinting, tetapi memanggul, nyunggi, mengikatkan diri, memperbudak diri terhadap sesuatu yang sebenarnya berposisi budaknya manusia.
Cobalah pahami ayat ini dan perluas kata “riba” menjadi “dunia” atau “keduniaan”:
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ
إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Karena yang dicari bukan yang seharusnya dicari. Karena yang dikejar tidak selayaknya oleh manusia dikejar. Karena yang dicita-citakan dan diperjuangkan bukan yang Allah meniscayakan di dalam qadar-Nya untuk diperjuangkan oleh manusia makhluk-Nya.
Sungguh semakin modern manusia semakin tidak paham apa saja yang ada di dalam dirinya, serta apa saja di luar dirinya yang mereka kejar-kejar sampai menginjak-injak harkat kemanusiaannya sendiri. Sampai hari ini para cendekiawan modern maupun ulama agama tidak pernah merumuskan konteks dan proporsi tata dan dialektika nilai yang menyangkut hal-hal yang non-barang. Tidak pernah memusyawarahkan apa bedanya orang beli barang di pasar atau pesan lewat go-send dengan orang bersekolah, memberi pengajian, shalawatan atau mengimami shalat Jumat atau mengaji di bulan Ramadlan. Apakah semua itu berada dalam tema kapitalisme materialistik ataukah ada dimensi yang berbeda.
Bahkan kalau ada seminar, simposium, diskusi atau forum-forum ilmu semacam itu, pembicara yang diundang disebut “pemberi materi”. Apa itu materi maksudnya? Ilmu adalah roh. Ilmuwan, dosen, guru, adalah rohaniawan, pelaku transformasi rohani. Seniman pun adalah rohaniawan, karena seluruh yang digelutinya adalah nilai, dan nilai itu software, bukan hardware, bukan benda, bukan materi. Malahan semua yang dilakukan oleh manusia disebut profesi. Pedagang itu profesi. Dokter profesi. Dosen profesi. Guru profesi. Ustadz profesi. Ulama profesi. Semuanya aktivis kapitalisme. Semua pemeluk syariat materialisme.
Maka KiaiKanjeng dan saya sebisa mungkin sangat menghindar dari perhubungan kapitalistik dan materialistik. Apakah kami tidak butuh uang? Butuh. Apakah kami tidak wajib menafkahi keluarga dan sekolah anak-anak? Wajib. Apakah kami tidak mau uang? Mau. Tetapi sampainya uang ke tangan kami kalau bisa karena proses akhlaq, saling empati, kasih sayang dan toleransi.
Silaturahmi dan kerjasama antar manusia dalam kehidupan kalau bisa jangan dipersempit menjadi hanya hubungan transaksi ekonomi. Kami tidak berani melecehkan ciptaan Allah Yang Maha Agung atas kehidupan yang sangat indah ini. Kami juga tidak mau rezeki dan kesejahteraan hanya kita pandang secara linier, sempit dan pendek, tanpa rentang dari dasar-dasar nilai sejak awal penciptaan hingga ke sorga. Apalagi Allah maha bertanggung jawab atas kehidupan dan penghidupan semua makhluk ciptaan-Nya.
وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا
كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan tidak ada makhluk di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam mereka itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”
Minimal KiaiKanjeng pekewuh kepada Tuhan. Rasa pekewuh atau sungkan kepada Allah itu kami rasakan sebagai buah dari tanaman taqwa di dalam perkebunan jiwa kami. Dan takut kalau sampai didakwa oleh Allah sebagai makhluk yang tidak percaya kepada tanggung jawab penciptanya. Seumur hidup saya tidak pernah mengerjakan sesuatu dengan fokus niat mencari uang. Uang selalu saya dapatkan sebagai akibat dari kerja keras dan ketekunan kerajinan saya. Rezeki tidak pernah tidak dihadirkan oleh Allah melalui bermacam-macam jalan, ada yang logis dan bisa saya perkirakan atau pahami. Ada juga yang “min haitsu la yahtasib”, melalui cara atau jalan atau medium yang tidak bisa saya perhitungkan.
Sampai hari ini cara hidup dan langkah-langkah saya, KiaiKanjeng dan lingkaran-lingkaran inti Maiyah tidak menempuh sebagaimana para pelaku kapitalisme dan materialisme dunia menempuhnya.
Kiai atau Ustadz diundang untuk kasih pengajian, kemudian pengundangnya “nyagoni” sejumlah uang. Tetapi itu bukan bayaran, bukan harga di Kiai dan Ustadz, melainkan manifestasi dari komitmen terhadap akhlaq antar manusia. Barang-barang di toko ada harganya, tetapi KiaiKanjeng dan saya tidak ada tarifnya. Bahkan Rasulullah Saw menjual barang dengan sikap “Saya kulakan sekian, terserah Anda mau membelinya berapa”. Fokus perhubungan antara manusia bukan perekonomian pasar, melainkan saling mengorangkan, saling menghargai kerja dan usaha di antara sesama manusia.
Apa yang engkau materikan dan apa yang engkau tidak materikan? Apa yang jasad apa yang roh? Jasad berupa tempe, seduhan kopi, kaos atau benda lainnya mudah dirumuskan rupiahnya. Tapi ilmu? Pendalaman? Peluasan? Detailing? Penyambungan seribu titik kawruh jagat semesta manusia yang selama berabad-abad tidak pernah dipersambungkan konteks dan nuansanya?
Sekolahan adik saya dinilai berprestasi oleh pemerintah, sehingga akan diberi insentif atau penghargaan berupa sejumlah uang. Tetapi diminta untuk mengajukan proposal. Cara pemerintah menghargai karya rakyatnya adalah dengan disuruh mengemis. Sehingga tidak satu kali pun adik saya bersedia menyusun proposal, yang memang merupakan salah satu bentuk kebijakan birokrasi pemerintah yang salah satu pertimbangannya adalah untuk menertibkan dan memproteksi keuangan negara dari kemungkinan korupsi. Tetapi tidak lebih parah uang rakyat dikorup dibanding rakyat dijadikan pengemis.
Hampir semua pemerintahan sejak Orla, Orba hingga sekarang mencerminkan mereka punya kesadaran bahwa uang yang ada di kas mereka adalah uang rakyat. Ribuan berita di media “Pemerintah memberikan bantuan”, ada idiom “Bansos”, “Bandes” dlsb. Dari mana pemerintah mendapat pemasukan? Siapakah yang membiayai pemerintahan, termasuk gaji presiden hingga kepala desa kalau bukan rakyat? Tapi semua pemerintah yang saya alami merasa dirinya boss dan rakyat adalah pengemis yang mereka santuni.
Padahal, dari dimensi filosofi hingga fakta keuangan: rakyat adalah juragan. Rakyat adalah boss. Rakyat adalah penyandang dana setiap pemerintahan. Rakyat adalah pemilik saham utama, bahkan mutlak dari hidupnya sebuah negara. Dalam konteks urusan itu, pemerintah kita termasuk yang sekarang sering sekali menyatakan paham yang sangat manipulatif dan eksploitatif, bahkan dholim dan imperialistik. Pemerintah hampir selalu mengidentifikasikan dirinya dengan negara. Yang berhadapan melawan pemerintah disebut melawan Negara. Yang Negara hanya pemerintah, bukan rakyat. Padahal rakyatlah pemilik tanah air, yang menyuruh sebagian di antara mereka untuk mendirikan negara, kemudian memilih pengurus negara itu yang disebut pemerintah.
Pemerintah hampir selalu mempersempit kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan negara, padahal rakyatlah yang berdaulat terhadap negara. Kemudian pemerintah menganggap kedaulatan pemerintah adalah kedaulatan negara, lantas dalam banyak hal: kedaulatan palsu itu dipakai untuk menindas rakyatnya, yang sejatinya adalah pemilik dan pemegang kedaulatan di tanah airnya.
Pemerintah selalu merasa berkuasa atas Pegawai Sipil Negara, padahal namanya saja bukan Pegawai Sipil Pemerintah. Atau kemudian diubah namanya menjadi Aparat Sipil Negara. Sudah jelas cetho welo-welo terang benderang bukan Aparat Sipil Pemerintah, tapi Pemerintah mengkonsep para ASN ini adalah bawahan mereka, sehingga merasa berhak memperlakukan apa saja sebagaimana juragan kepada buruhnya.
Sementara para pengemis otoritas yang berhimpun sebagai wakil-wakil rakyat, tidak pernah berperan lebih dari benalu-benalu yang sama sekali tidak memfokuskan pekerjaannya untuk sungguh-sungguh mempelajari kebutuhan rakyatnya kemudian memperjuangkannya.
Itulah demokrasi. Para calon wakil rakyat, para calon pejabat, mengemis-ngemis jabatan, meminta-minta kedudukan, merayu-rayu, mengarang-ngarang pencitraan, memuji-muji diri sendiri di baliho dan spanduk. Maka demokrasi semacam itu mutlak kami tolak.
Jangan sampai kelak ketika berkumpul di oro-oro makhsyar kita digiring para Malaikat dan dikumpulkan bersama golongan orang-orang yang “alladizi yatakhobbatuhus syaithonu minal massi”.