Tegang Fiqih dan Main-main Syariat
Banyak orang Islam memeluk dan menjalankan Islam dengan tegang, atau sebaliknya dengan main-main.
Tegang fiqih atau tegang syariat, sehingga kaku dan sempit seolah-olah muatan badan ini hanya tulang belulang, tanpa ada daging, darah, saraf, otot dan kosmos ruh.
Tegang iman atau tegang aqidah tetapi dipahami dalam aplikasi identitas administratif. Sehingga tidak mampu menggunakan keluasan dan kelembutan untuk melihat kebaikan manusia. Sampai-sampai orang berbuat baik dan semulya apapun, tetap diukurnya berdasarkan penglihatan identitas dan administrasi formalistik.
Di Patangpuluhan hingga Kadipiro kita tidak tegang, tapi juga tidak boleh main-main. Tidak memewah-mewahkan kepatuhan beragama, tidak mendramatisir praktek ibadah, tidak menonjol-nonjolkan kesalehan. Tetapi juga tidak main-main terhadap satu huruf pun yang difirmankan oleh Allah.
Menjaga keteguhan pengertian atau kawruh, merawat kesetiaan terhadap makna, memelihara konsistensi terhadap nilai apapun yang Allah (memang sangat berhak mutlak) mengikat kita.
Kecuali Allah subhanahu wata’ala nya adalah kita sendiri, sebagaimana banyak dijumpai melalui analisis logika balik dari praktek pandangan hidup, sikap ilmu, kebudayaan dan peradaban manusia modern.
وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ
وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.”
Senda gurau itu memiliki kesungguhan tata aturannya sendiri. Permainan apapun itu memiliki batas etika dan norma yang wajib dipraktekkan dengan sungguh-sungguh. Permainan sepakbola bukan main-main bola. Senda gurau antar teman atau antara orangtua dengan anak-anaknya memiliki pagar-pagar regulasinya sendiri yang tidak boleh dilanggar.
Anda naik sepeda, nyetir motor atau mobil, bermain silat, tidak tegang. Rileks, lentur, luwes, tapi tidak santai. Perlu merasakan kembali perbedaan halus antara berbagai kosa kata dan idiom itu. Shalat saja tidak usah tegang, kaku dan seperti membeku. Tapi juga tidak main-main dan santai. Ada area “tawassuth” atau “khoirul umuri ausathuha”, ada wilayah tengah-tengah dalam suatu perilaku atau daerah manapun dalam kehidupan yang Anda jangan kaku-beku tapi juga jangan santai dan main-main.
“As-shalatu ‘ala waqtiha”, artinya waktu shalat itu di rentang interval antara jam menit detik tertentu dengan jam menit detik berikutnya. Bukan kita bikin tegang bahwa begitu bedug berbunyi lantas wajib saat itu juga waktunya shalat. Meskipun semakin rajin bersegera shalat memang semakin baik, karena Allah melihatmu tidak sabar memenuhi kerinduan kepadaNya.
Mengimami shalat memang sebaiknya berpakaian lebih bersih, tapi dan bagus dibanding para makmumnya. Tetapi jangan menjebak jamaah dengan dramatisasi kostum-mu. Surban gamis dan pakaian-pakaian khusus lain yang bisa menimbulkan bisa persangkaan pada orang banyak.
Tetapi juga salah kalau kau mengimami shalat hanya dengan mengenakan sarung yeng menutupi atas pusar sambai bawah lutut, mentang-mentang demikian fiqih menyebut batas aurat laki-laki. Apalagi ngimami shalat dengan pakaian blarak daun kelapa atau kawul padi yang direnda menjadi sarung.
Demikian juga dalam ranah yang lebih luas: hubungan keummatan dengan para Ulama, Kiai, Asatidz dan Habaib. Demikian juga lebih luas lagi dalam silaturahmi Islami antara Kaum Muslimin dengan masyarakat lain yang beragama bukan Islam.
Jangan sampai ketegangan kostum menimbulkan salah sangka, sehingga yang terjebak bukan hanya rakyat, tapi juga Pemerintah. Nanti mereka salah identifikasi, dan terbiasa memahami tokoh-tokoh Agama berdasarkan pakaiannya.
Apalagi kesalahpahaman bisa lebih mendalam: Pemerintah dan rakyat memilih Ulama tidak berdasarkan reputasi akhlaqul karimah-nya, melainkan berdasarkan kefasihan bicara, kenyaringan vocalnya dan peta ilmunya. Asal sering meneriakkan “Takbiiir!”, lantas disimpulkan sebagai Imam Besar Kaum Muslimin Indonesia.
Di Patangpuluhan sore-sore ada beberapa tamu. Tanpa kulo nuwun, beberapa orang menyeret salah seorang ke ruang tengah Patangpuluhan. Kemudian salah seorang berkata: “Cak. Tolong ditadahi, saya akan serang dia!”. Ia lantas melakukan semacam gerakan tai chi atau silat entah aliran apa, menyorongkan kedua telapak tangannya ke arah seseorang yang saya disuruh menadahinya. Anak itu terlempar dan saya menangkapnya.
Ternyata yang diserang adalah Jin yang merasuki orang itu. Saya tidak tahu apa-apa tentang Jin. Pokoknya “wa inihtadaitu famiba yuhiya ilayya Rabbi”. Kalau saya melakukan sesuatu, itu semata-mata tas hidayah dari Allah. Kalau saya salah atau sesat, saya sendiri yang salah dan sesat.
Saya gendong dia masuk kamar saya. Saya geletakkan di ranjang dan saya berkata: “Kamu jangan main-main sama saya. Kamu harus baik-baik dan kooperatif kepada sesama makhluk Tuhan. Saya akan keluar, saya kunci pintu kamar, nanti saya akan masuk lagi. Kalau kamu masih main-main saya, kamu akan tanggung akibat dari tindakan saya…”
Sekitar 10 menit kemudian saya masuk kamar, orang itu tersenyum kepada saya. Kemudian saya peluk dan saya bimbing keluar menemui teman-temannya.
Saya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Saya tidak tegang oleh itu, tapi saya juga tidak main-main terhadap periatiwa itu. Saya hanya menjalankan tugas dan kewajiban, sebagaimana dulu saya mematuhi tugas dan kewajiban untuk lahir dari rahim Ibu Chalimah dan ayah Muhammad.