Tarian Semiliar Malaikat Mengelilingi Arasy
Kalau Allah ngijabahi, karena menganggap kita lulus dan lolos dari kehidupan dunia yang penuh dilema, paradoks, ironi, dan ketidakmenentuan ini namun kita bertahan dengan kekukuhan taqwa, maka salah satu fragmen adegan yang sungguh ingin saya saksikan adalah Koreografi Satu Miliar Malaikat yang melingkar dan menari-nari mengelilingi Arasy atau jagat raya. Jagat raya masa depan, yang bermiliar kali lebih besar, lebih luas dan lebih idibanding yang kita kenali dengan sistem pandang materi sekarang ini.
Saya diletakkan Allah hidup berpuluh-puluh tahun di area kesenian. Di habitat estetika dan artistika. Di tengah sesrawungan para seniman sastra, tari, teater, senirupa dan semuanya. Saya terlibat di dalam dunia kesenian itu semata-mata karena diperjalankan oleh Maha Pencipta saya. Bukannya saya keliling menyusuri kampung-kampung Yogya lantas memilih Dipowinatan. Juga bukannya saya menimbang-nimbang komunitas-komunitas teater lantas saya memilih Teater Dinasti. Semua tiba-tiba saja dan mak bedunduk. Teater Dinasti, Teater Salahuddin, Dinasti Ampas, Teater Jiwa, dan beberapa tahap lagi sampai akhirnya Perdikan Teater.
Sebagaimana saya tidak bisa napak tilasi bagaimana ceritanya kok dari domisili Yogya saya lantas ke Kelapa Gading, kemudian terlibat Reformasi, Hankam, Pasukan-pasukan Islam, Soeharto, Prabowo, Gerakan Shalawat, Hamas, KiaiKanjeng di Monas 1995, dan akhirnya Novia Kolopaking hingga Sabrang, Haya, Jembar, dan Rampak sekarang. Sejengkal pun saya tidak pernah merancangnya dan tidak bisa mengidentifikasi begaimana alur kisah semua itu disusun oleh Allah menjadi rentang keindahan dan misteri yang luar biasa.
Dan atmosfer, suasana, dan dorongan berkesenian, berpuisi, berteater dan lain-lainnya itu tidak berakhir sampai hari ini. Kalau Jujuk Prabowo nongol di Kadipiro, adrenalin dan libido estetika saya kambuh. Betapa sesudah Dinasti dulu, semua pentas teater di Patangpuluhan hingga Kadipiro sangat bergantung pada Jujuk Prabowo. Ya proses penyutradaraannya, dan terutama kreativitas koregrafisnya. Tadi malam sesudah Yasinan untuk 7 hari wafatnya Kiai Muzammil saya nyeletuk kepada Joko Kamto dan Nevi Budianto bahwa sesudah “Suminten Edan” Lima Gunung di Mocopat Syafaat, kenapa kita tidak bikin yang kecil-kecil dan sederhana sehubungan dengan batasan-batasan protokol Covid-19. Misalnya bikin monolog-monolog kecil untuk para aktor Perdikan.
Kemudian di rumah saya membaca firman Allah:
وَتَرَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةَ حَآفِّينَ مِنۡ حَوۡلِ ٱلۡعَرۡشِ
يُسَبِّحُونَ بِحَمۡدِ رَبِّهِمۡۚ وَقُضِيَ بَيۡنَهُم بِٱلۡحَقِّۚ
وَقِيلَ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
Dan engkau melihat malaikat-malaikat melingkar di sekeliling ‘Arsy bertasbih sambil memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”.
Dan wajah yang langsung nongol di ingatan saya adalah Jujuk Prabowo. Jujuk yang punya pengalaman, bakat dan kemampuan untuk merancang tarian massal di sekeliling Arasy itu. Dulu almarhum Agung Waskito menyutradarai “Lautan Jilbab”, seharusnya ada adegan “Tarian Malaikat” putih-putih mengelilingi jagat raya. Wa taral Malaikata khaffina min haul ‘Arasy.
Itu adalah the Supreme Materpiece of Coreography yang disutradarai oleh Allah sendiri dengan aktor-aktor para Malaikat yang tidak disebutkan jumlahnya. Mungkin karena di luar jangkauan Matematika Meteriil Manusia. Tetapi mungkin kita bisa mencicipi barang sepercik keindahannya. Dan hanya Jujuk Prabowo saat ini yang punya kapasitas untuk pencicipan itu, karena dia sutradara teater sekaligus koregrafer berpengalaman. Bahkan dasar berkesenian Jujuk adalah tari, sebagaimana Azied Dewa drummer KiaiKanjeng.
Sekarang yang menari-nari mengitari hidup manusia adalah virus Corona dengan banyak anak turunnya. Dan ummat manusia di seluruh dunia tidak berdaya atas tarian tebaran virus itu. Rasanya ada nalar dan logikanya kalau “Tarian Malaikat Mengeliling Arasy” menjadi bentuk perlawanan, “counter culture” atau opsi semestawi untuk mengantisipasi tebaran virus. Sebagaimana di Menturo zaman dulu ketika pageblug menyebar, anak-anak Langgar berkeliling jalanan-jalanan desa, dan di setiap perempatan atau pertigaan jalan berhenti dan Cak Fuad melantunkan adzan.
Pasti kalimat dan aspirasi ini ditertawakan oleh para intelektual, kaum modernis, Satgas Covid, WHO dan semua stakeholders kehidupan dunia. Karena begi rasio dan intelek mereka Covid-19 tidak ada hubungannya dengan shalawat, adzan, doa, wirid atau hizib. Pandemi tidak ada kaitannya dengan Allah, Malaikat, Nabi, Qur`an apa saja yang menurut mereka itu semua hanyalah mitologi alias khayalan-khayalan.
Bagi kita itu semua tidak menjadi masalah, sebab kita memang tidak hidup untuk memohon perlindungan dari mereka. Mereka bukan yang menentukan hidup dan mati kita. Kita tidak bersujud kepada mereka. Kita tidak bershalawat untuk mendapatkan syafaat mereka, karena mereka memang tidak punya syafaat, bahkan tidak memahami apa itu syafaat. Mereka adalah tuhan-tuhan kerdil yang merasa menciptakan diri dan kehidupan mereka sendiri serta melakukan segala sesuatu, negara, kebudayaan, peradaban, atas dasar hak asasi dan kemampuan azali mereka sendiri. Tak ada hubungannya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Tarian Malaikat Mengeliling Arasy” itu adalah ilustrasi yang bahasa Jawanya “nabuhi” atau mangayubagya adegan di mana segolongan manusia berjalan berduyun-duyun memasuki neraka.
وَسِيقَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِلَىٰ جَهَنَّمَ زُمَرًاۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءُوهَا فُتِحَتۡ أَبۡوَٰبُهَا
وَقَالَ لَهُمۡ خَزَنَتُهَآ أَلَمۡ يَأۡتِكُمۡ رُسُلٞ مِّنكُمۡ يَتۡلُونَ عَلَيۡكُمۡ ءَايَٰتِ رَبِّكُمۡ
وَيُنذِرُونَكُمۡ لِقَآءَ يَوۡمِكُمۡ هَٰذَاۚ قَالُواْ بَلَىٰ
وَلَٰكِنۡ حَقَّتۡ كَلِمَةُ ٱلۡعَذَابِ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ
Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?” Mereka menjawab: “Benar, telah datang”. Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir.
قِيلَ ٱدۡخُلُوٓاْ أَبۡوَٰبَ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَاۖ فَبِئۡسَ مَثۡوَى ٱلۡمُتَكَبِّرِينَ
Dikatakan kepada mereka: “Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya” Maka neraka Jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.
Sementara segolongan yang lain di antara manusia berbondong-bondong memasuki gerbang sorga.
وَسِيقَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ رَبَّهُمۡ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ زُمَرًاۖ
حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءُوهَا وَفُتِحَتۡ أَبۡوَٰبُهَا
وَقَالَ لَهُمۡ خَزَنَتُهَا سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمۡ طِبۡتُمۡ فَٱدۡخُلُوهَا خَٰلِدِينَ
Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Kesejahteraan dilimpahkan atasmu. Berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya”.
Saya tidak menyatakan bahwa pihak-pihak yang saya sebut di atas adalah yang berbondong-bondong menuju gerbang neraka, sementara kita berduyun-duyun memasuki gerbang sorga. Saya juga tidak mengklaim bahwa kita yang masuk neraka sementara mereka yang masuk sorga. Itu bukan ranah ilmu yang bisa disentuh oleh jangkauan ilmu manusia. Bahkan itu juga bukan domain logis yang bisa dicapai dengan logika pilihan antara amal saleh dan kedhaliman.
Kita hanya kumpulan manusia yang tidak berdaya sehingga satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah terus menerus memohon rahmat Allah. Dan kita tidak bersikap rewel kepada orang lain yang bukan hanya tidak meminta rahmat Allah, melainkan bahkan Allah pun tak ada bagi mereka, termasuk tatkala ditaburi virus ke seluruh permukaan bumi.
Kita tidak melakukan politik dan budaya takfiry. Kita tidak mengkafir-kafirkan siapapun. Kita tidak merasa kita ini baik dan mereka buruk. Kita tidak mengklaim bahwa kita ini saleh dan mereka dhalim. Kita hanya tekun siang malam memohon rahmat Allah, apalagi di tengah misteri dan keghaiban Covid-19 dan anak-anak turunnya. Rasulullah Muhammad Saw mengungkapkan satu algoritma kehidupan yang luar biasa:
سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا فَإِنَّهُ لَا يُدْخِلُ أَحَدًا الْجَنَّةَ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِمَغْفِرَةٍ وَرَحْمَةٍ
“Tepatlah kalian, mendekatlah, dan bergembiralah, karena sesungguhnya amal tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.” Para shahabat bertanya: “Termasuk juga anda wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat kepadaku.”
Andaikan Tarian Semiliar Malaikat Mengelilingi Arasy itu terlaksana untuk kita kepyakkan, mudah-mudahan diterima oleh Allah sebagai bentuk permohonan kita terhadap rahmat-Nya. Bahkan andaikan tidak pernah terlaksana, maka niat kita saja pun sudah dihisab Allah sebagai pengakuan atas ketidakberdayaan kita serta kebutuhan mutlak dan permohonan kita atas limpahan rahmat-Nya.