Tandur Mashlahat Panen Mudlarat
Kalau ditarik garis dari “Dzikrul Ghofilin” anak-anak muda gaple dengan dasar dan puncak pendidikan adalah shalat dan sujud, maka bisa dipakai sebagai cara pandang bahwa salah satu blunder utama manusia dalam membangun peradabannya adalah salah fokus. Tidak tepat membikin skala prioritas. Terbalik-balik dalam menentukan yang primer dengan yang sekunder.
Tentu saja ini dilihat dari prinsip “amrullah” dan “irodatullah”, dari kehendak perintah Allah kepada makhluk-Nya. Kehendak perintah ini bukan milik selain Allah, karena Ia yang punya gagasan, yang melaksanakan gagasan-Nya, kemudian mentanggungjawabi seluruh urusan makhluk-makhluk ciptaan-Nya.
Sementara manusia merasa dan menyimpulkan bahwa mereka merdeka. Bahwa mereka berposisi demokratis dan liberal. Padahal mereka bukan pensuplay dan pemilik saham dari hidupnya sendiri. Peradaban ummat manusia adalah hamparan karya-karya lukisan yang menentukan sendiri warna dan semua goresan guratan di lukisan itu, menentukan seberapa besar kanvas dan bingkainya, bahkan menentukan sendiri lalu lintas perhubungan jual beli lukisan itu. Manusia adalah lukisan yang membangkang kepada pelukisnya.
Jadi meskipun seseorang, sebuah keluarga atau sekumpulan ummat dan masyarakat rajin melakukan shalat secara administratif atau syar’i, ada kemungkinan mereka, menurut Allah, lalai dalam hal pemaknaan shalat terhadap kehidupan. Lalai dalam menterjemahkan konteksnya, mentransformasikan hikmahnya, mengejawantahkan manajemennya, dalam kebudayaan dan peradaban:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ
الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَا تِهِمْ سَاهُوْنَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai tentang shalatnya.”
Manusia modern di abad 20 dan 21 ini kan pandai-pandai. Pinter-pinter. Jagoan-jagoan intelektual. Mestinya tidak sukar bagi para cendekiawan modern menerapkan makna shalat dalam kehidupan sehari-hari. Menyusun proyeksi nilai-nilai shalat untuk urusan pertanian, pasar, dan kesenian atau kebudayaan. Bahkan negara dan pemerintah sangat mudah mengaplikasikan tuntunan hikmah-hikmah shalat itu di dalam tata negara dan pengelolaan pemerintahan.
Tetapi saya lihat-lihat, para pemimpin Indonesia memaknai Pancasila yang dikarangnya sendiri saja sampai hari ini masih sebatas analisis per-item, datar, linier, dan statis. Belum ada pemaknaan Pancasila yang menggunakan metodologi eskalatif-transformatif misalnya.
Bahwa harus beres dulu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, supaya daun-kembang-buahnya jelas untuk menjadi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dari mana dan siapa kalian pinjam kosakata “adil” dan “adab” itu dulu? Dari nenek moyang abad keberapa atau dari Kitab peninggalan zaman Kerajaan apa di Nusantara? Coba saya minta padanan kata “adil” dan “adab” itu dari bahasa Jawa, Sunda, Minang, Bugis, Madura atau manapun. Kalau memang kalian hanya bisa pinjam, kenapa yang kalian ambil hanya kata-katanya, dan tidak mempelajari apalagi mendalami lautan maknanya beserta sanad kesejarahan etimologis hingga asbabun-nuzulnya?
Kalau kelas Sila pertama dan kelas Sila kedua belum beres dalam dialektika dan komprehensi sosial budaya kehidupan bangsa kalian, bagaimana mungkin kalian mendengung-dengungkan “Persatuan Indonesia” tanpa menjadi omong kosong dan kecongkakan sejarah belaka. Mana mungkin pula kalian akan menata mekanisme “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”, yang selama sekian kali pemerintahan terbukti nggedebus dan bualan-bualan sampah, tahi angin, isapan jempol, halusinasi, impian di siang bolong.
Ini bangsa terutama kelas menengah dan elitnya memang terkubur dalam kebiasaan-kebiasaan “asfala safilin”. Keterlaluan kegemarannya untuk memuja-muja sesuatu yang sebenarnya hina. Membesar-besarkan yang kerdil. Menjunjung-junjung orang tanpa hujjah atau alasan rasional. Sampai-sampai akhirnya hidup tanpa punya apa-apapun yang bisa dibanggakan, tidak punya prestasi, tidak punya martabat, tidak punya pemimpin, tidak punya sesepuh bangsa, tidak punya panglima pengetahuan, tidak punya insinyur kebudayaan dan sutradara peradaban. Sibuk membenci, hobi salah paham, riuh rendah mengutuk, melecehkan membully, menista, menghina. Dan rata-rata itu dilakukan bukan hanya salah sasaran, melainkan bahkan terbalik-balik sasarannya.
Entah berapa ratus kali saya harus mengulang menuliskan ayat ini:
وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
Informasi dari Allah ini sudah bisa diakses sejak 15 abad silam, tetapi belum pernah menjadi pelajaran bagi bangsa kita sampai hari ini, bahkan tampaknya sampai besok lusa dan masa depan. Terutama karena kepemimpinan kelas menengah intelektualnya “la yadri wala yadri annahu la yadri, wa huwa jahilun murokkab”, kata Imam Al-Ghazaly. Tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa mereka tidak mengerti. Tapi guwwayane koyok ngerti-ngertio. Merekalah orang dungu kuadrat.
Apalagi dengan media komunikasi maya yang terbuka lebar untuk digunakan sebagai alat perusak pendapat, penyempit akal pikiran, pengacau ilmu dan pengetahuan, peleceh makna, pemusnah kejernihan dan objektivitas, pengobrak-abrik mental, hati dan rohani manusia. Tidak ada kebenaran dikemukakan kecuali dibathili. Tidak ada kebaikan disebarkan kecuali menjadi keburukan. Tidak ada wewangian ditaburkan kecuali menjadi kebusukan. Ini adalah zaman di mana ilmu ditanam berbuah bencana. Benih manfaat tumbuh celaka. Tandur manfaat panen mudlarat. Tabbat yadaa fa’ilina medsos.
Masa depan bangsa Indonesia dibuntu oleh tembok sangat besar dan tebal, yang Yesus Kristus menggambarkannya: “Sungguh aku telah mengobati orang-orang yang sakit, dan aku sembuhkan mereka dengan izin Allah; juga aku sembuhkan orang buta dan orang berpenyakit lepra dengan izin Allah; juga aku obati orang-orang mati dan aku hidupkan kembali mereka dengan izin Allah; kemudian aku obati orang dungu namun aku tidak mampu menyembuhkannya!”. Maka beliau pun ditanya, “Wahai ruh Allah, siapa orang dungu itu?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang kagum kepada pendapatnya sendiri dan dirinya sendiri, yang memandang semua keunggulan ada padanya dan tidak melihat beban (cacat) baginya; yang memastikan semua kebenaran untuk dirinya sendiri. Itulah orang-orang dungu yang tidak ada jalan untuk mengobatinya”.