Tak Usah Kau Minta Maaf
Siapa sajakah dalam pemahaman berdasarkan pengalaman hidup kita “golongan yang berbondong-bondong menuju neraka, ila jahannama zumaro” sementara ada “golongan lain yang berduyun-duyun ke gerbang sorga, ilal jannati zumaro”?
Secara otomatis kita menghitung dan mempetakan dua golongan itu berdasarkan dua jenis kisah: kisah tentang kesetiaan dan kisah tentang pengkhianatan, yang kita alami, meskipun presisinya tidak bisa kita tentukan.
Tetapi salah satu fakta hidup yang saya alami adalah bahwa jumlah manusia setia di sekitar saya adalah mayoritas, sementara jumlah pengkhianat sangat minoritas.
Di Menturo Ayah saya tahun 1973 dipanggil Allah di puncak kesulitan hidup dan penderitaan hati. Pada pemahaman saya sekarang: di puncak tekanan-tekanan hidup, sebagaimana yang juga saya alami sampai hari ini meskipun dengan kadar, konteks, dan wilayah urusan yang berbeda. Wallahu a’lam. Tetapi sampai hari ini kami sekeluarga mencatat secara sengaja maupun tanpa diniati muatan kisah-kisah kesetiaan dan pengkhianatan yang pernah kami alami. Secara pribadi saya hanya mencatat yang sungguh-sungguh berkhianat hanya satu orang pengkhianat di Menturo dan satu pengkhianat di Yogya.
Yang dua orang itu lakukan di Menturo dan di Yogya sama persis. Pertama, diantarkan proses pembelajarannya, difasilitasi sekolahnya, dicarikan tempat bekerja dan amal salehnya, tetapi menghapusnya dengan pengkhianatan. Kedua, mereka merampok kekayaan ilmu dan budaya dari Gurunya, Sekolah, perpustakaan dan kepustakaan, wacana dan skillnya dari sejarah orang yang mengayomi dan menyayanginya. Ketiga, melakukan hal-hal yang berniat menghancurkan martabat, reputasi dan citra sosial, bahkan menghasut massa secara gerilya maupun mengumpulkan sejuta orang di Alun-alun untuk penghancuran itu.
Yang mereka timpakan kepada kami bukan sekadar kebohongan-kebohongan umum atau ketidakjujuran kecil sebagaimana yang selalu menghiasi bebrayan antar manusia, melainkan sudah sampai tingkat penghancuran eksistensial, pembunuhan nilai-nilai dasar dan penghapusan sejarah. Bahwa upaya-upaya itu tidak menghasilkan penghancuran tetapi malah kejayaan yang baru dan lebih berkualitas, itu tidak membatalkan fakta bahwa mereka menghancurkan. Kalau kau membunuh seseorang, fakta yang dicatat oleh kehidupan bukan apakah ia mati atau tidak, melainkan momentum dan peristiwa ketika engkau bertindak membunuhnya.
Memang ada sejumlah kekhianatan lainnya di berbagai tempat. Ada juga kekhianatan yang berjarak jauh dan online, termasuk mungkin anak cucu saya sendiri. Namun sampai detik ini saya masih menanggapinya dengan jiwa pengayoman.
Masalahnya adalah urusan utama para pensetia maupun pengkhianat tidaklah dengan saya atau kita, melainkan dengan Allah. Dan pasti saya dan kita semua sama sekali tidak berkuasa apa-apa atas tindakan Allah.
إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌ
“Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi.”
إِنَّمَا تُوعَدُونَ لَصَادِقٌ
“Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar.”
إِنَّ مَا تُوعَدُونَ لَآتٍ ۖ وَمَا أَنتُم بِمُعْجِزِينَ
“Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti datang, dan kamu sekali-kali tidak sanggup menolaknya.”
Bermacam-macam yang dialami oleh bermacam-macam manusia. Ayah saya dikuburkan pada pukul 00.00 dengan ribuan obor dari ribuan masyarakat desa-desa sekeliling. Kakek kami, Mbah Dul, memutuskan untuk memakamkan putra sulungnya di dekat rumahnya, di tepi sungai Kali Gunting yang sewaktu-waktu bisa disapu air bergolak banjir.
Mbah Dul selalu menyembunyikan eksistensi dan nasab keluarga kami. Ayah saya tidak dimakamkah di komplek Sayyid Saulaiman di Betek Mojoagung, yang dijaga oleh Mbah Ud. Tetapi Mbah Dul sendiri tidak bisa mengelak untuk dimakamkan di Mojoagung. Dan kami di Menturo beberapa tahun yll memindahkan makam Ayah kami ke “Sentono Arum” di komplek rumah beliau sendiri.
Ibu kami Halimah dipanggil oleh Allah pada hari Padhangmbulan. Sama dengan Gus Dur dan Rendra. Di Yogya senior kita Pak Prof. Dr. Umar Kayam, Mas Darmanto Yatman, Mas Danarto, dipanggil Allah dalam posisi jiwa yang berbeda-beda. Sahabat saya Alisyahbana di akhir-akhir hayatnya memang seperti sudah tidak “krasan” tinggal di dunia manusia yang semakin rusak. Pak Harwanto, Rahmat Mulyono, Pak Ismarwanto, Mas Heru dan Mas Budi Santosa sesepuh Maiyah di Jakarta lain-lain lagi suasananya ketika dipanggil oleh Allah.
Maut selalu misterius dan indah. Kesadaran kejiwaan yang tertinggi adalah istiqamah ingat tentang mati. Kata Kanjeng Nabi “khoirul mau’idlati mautun”. Nasihat yang terbaik adalah kematian. Beberapa waktu belakangan guru besar Umbu Landu Paranggi dan Pak Suprapto Kolopaking bapaknya Bu Novia dipanggil oleh Allah. Setiap kali ada teman-teman Yogya dipanggil Allah, atau keluarganya, saya hampir selalu diberi hidangan kenikmatan dari indahnya kematian di dalam hakikat kehidupan, dengan cara memberikan pengantar sebelum pemakaman.
Sejak bersama keluarga di Menturo kami dan saya dianugerahi Allah banyak saudara dan sahabat-sahabat dalam kesetiaan. Sejak di Gontor hingga di Kadipiro saya dikerumuni oleh banyak saudara dan sahabat-sahabat yang berkesetiaan penuh. Kesetiaan tidak layu atau lapuk oleh waktu, berpuluh-puluh tahun hingga usia senja saya sekarang. Saya memohon maaf kepada para pensetia itu semua karena tidak mungkin menyebut satu persatu atau menuliskan kisah-kisah kesetiaan itu dengan tartil dan lengkap.
Yang saya utamakan di dalam seri tulisan-tulisan Kebon selama ini bukanlah detail figur-figurnya, atau fragmen kisah-kisahnya, melainkan pemaknaan dan penghikmahannya. Saya mohon dimaafkan kalau yang yang saya utamakan itu frekuensi dan volumenya lebih tinggi dibanding mozaik kisah-kisah teknis naratifnya. Karena memang Kebon ini bukan novel, cerita pendek, apalagi biografi dan yang semacam itu. Yang menjadi kewajiban primer saya adalah menggali ilmu, makna, dan hikmah untuk rabuk tetumbuhan Maiyah. Syukur bisa menambahi biji-bijinya untuk solusi dan kreativitas kehidupan anak-anak cucu Maiyah di masa depan.
Sementara itu Kadipiro mengemukakan kepada saya: “Non JM yang menggunakan video kita sangat banyak, dan efeknya sangat besar karena subscriber channel nya juga besar. Channel-channel ini yang mayoritas berisi adu domba, framing”? Akan tetapi juga para peleceh Allah, yang meremehkan permakluman-Nya, sebagian di antara mereka adalah Jamaah Maiyah sendiri. Yang melukai hati Simbahnya sendiri. Yang malah berkesimpulan: “Kalau Mbah Nun tidak mungkin marah. Mbah Nun tidak mungkin tidak memaafkan”. “Yang rewel adalah anjing-anjing herder Kadipiro”.
Separah apapun yang saya alami, secelaka apapun yang ditimpakan kepada saya, semangat Maiyah dan saya sendiri tetaplah pengayoman dalam persaudaraan, pendamaian dan kedamaian, paseduluran tanpa tepi, kemesraan bercinta karena sama-sama mencinta Allah dan Rasulullah. Akan tetapi saya dan siapapun bukanlah penentu atau penjamin nasib atau keselamatan atas sesamanya.
إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌ
لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ
إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً
بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu lantaran mereka taubat, niscaya Kami akan mengazab golongan yang lain disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”
إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌ
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan ingatlah juga tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Itulah ayat yang dulu di Restoran Kendi Sidoarjo dan dalam acara Sumpah di Kantor Bupati saya pakai untuk menangani masalah korban lumpur. Dan Allah mengaplikasikan permakluman-Nya itu dengan pembuktian-pembuktian faktual cetho welo-welo di mana para pendurhaka dan pengkhianat mengalami kehancuran, kebangkrutan bahkan kematian.
Dan adzab Allah tidak lantas batal hanya karena kalian tidak membaca tulisan di caknun.com ini. Allah tidak melakukan “haqq”-Nya atas dasar caknun.com. Allah Maha Mandiri dan Maha Berdaulat.
إِذَا وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ
لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ
“Apabila saat pembalasan itu tiba, tidak seorangpun dapat berdusta tentang kejadiannya.”
Dalam kasus lumpur di Sidoarjo, Slamet dan kawan-kawan penggiat Maiyah memiliki catatan detail tentang siapa saja korban lumpur dan penduduk Sidoarjo yang ditimpa “ila jahannama zumaro” serta siapa-siapa yang “ilal jannati zumaro”? Padahal baru neraka dunia dan hanya sorga dunia. Belum sorga dan neraka yang sesungguhnya.
Saya sekeluarga di Menturo sangat menyesal dulu belum ada teknologi untuk merekam adegan Bu Halimah memarahi Din Syamsudin Ketua Umum Muhammadiyah setengah jam lebih, mirip sekian tahun sebelumnya Bu Halimah mendatangi podium ketika Pak Bupati pidato ngawur. Edaran No 149 PP Muhammadiyah dimanipulasi oleh pengurus menengah bawahnya untuk memfitnah kami dan merekayasa merebut tanah dan Gedung-gedung Sekolah milik kami yang diklaim oleh mereka berdasarkan Edaran 149 itu. Akhirnya karena proses tabayyun dilecehkan, diultimatum oleh Cak Anang Anshorullah dan hasilnya Sekolahan Muhammadiyah yang dulu datang minta tolong dan kami murahi selama 18 tahun, akhirnya kakak adik saya mengusir mereka dari tanah dan Gedung yang saya bangun dengan honor tulisan Markesot di Surabaya Post. Bu Halimah mengangkat tangannya dan berkata: “Sopo koen iku rèk, kate musuhi anakku sepuluh lanang kabeh glundhang glundhung…”
Apalagi saya sendiri, sudah selalu menahan diri untuk merawat kemashlahatan bersama. Dan itu atas Pendidikan Ibu dan Ayah. Ibu yang sekitar tahun 1970-an memerintahkan agar saya berhenti meng-hizib-hizib atau wirid-wirid yang membuat orang bisa celaka karena kejahatannya sendiri.
Sejak itu saya tidak pernah “menggunakan tangan kanan” saya lagi. Ibu saya memparabi saya sebagai manusia puasa. Manusia jenis karakter puasa. Manusia katuranggan puasa. Manusia berwatak dan bernasib puasa. Sampai-sampai kalau Ramadlan saya pulang dari Yogya ke Menturo, pagi-pagi Ibu membikinkan kopi. Saya bilang bahwa saya puasa, Ibu dawuh “Hidupmu itu selalu puasa seluruhnya. Kalau sekadar puasa tidak makan minum sehari, itu bukan penyempurnaan puasa hidupmu”. Ibu bilang saya musafir sepanjang masa. “Puasamu tidak mungkin dilakukan oleh yang bukan kamu.”
Saya ingat ketika Kadipiro bergolak karena sebaran SMS Zaki bahwa “Kadipiro dalam ancaman”. Suatu pihak atau kelompok akan membunuh Emha dan Bu Novia. Seluruh Yogya diubeg oleh KiaiKanjeng dan anak-anak Maiyah. Pak Ismarwanto pura-pura beli rokok ternyata pulang ambil kelewang. Yang bersangkutan akhirnya tertangkap dan dibawa ke Kadipiro. Nevi Budianto mendadak hilang ternyata ditemukan sedang mencekik orang-orang di rumah terdakwa. Untuk bisa distop tidak sampai menjadi kriminal. Yang tertangkap diadili oleh Jijit, Sp Joko dan Yoyok dengan santun dan dingin. Mendadak Nevi nongol, menjulurkan tangannya ke leher pemuda itu dan berkata pelan: “Kami ini kumpul di Kadipiro bertahun-tahun dalam rangka latihan berpuasa”. Tiba-tiba suara Nevi berubah menjadi berteriak dan hampir memekik: “Lha kok kamu nawari kami untuk berhari raya!”.
Sangat banyak muatan kisah-kisah yang kalau saya ungkapkan secara apa adanya, akan banyak menabrak habitat budaya dan etika komunikasi sampai yang paling modern dan mutakhir pun. Apalagi kultur komunikasi politik bangsa kita yang sama sekali belum dewasa. Indonesia sudah bernegara hampir tiga perempat abad, tetapi sama sekali tidak ada evolusi pendewasaan dan pematangan yang mencukupi untuk tidak salah tingkah, berang, uring-uringan, bahkan marah dan murka jika sebuah cermin besar dihadapkan pada wajahnya.
Tidak terbatas pada masyarakat Maiyah sendiri. Juga keseluruhan masyarakat dan Indonesia. Sampai-sampai saya harus merelakan mereka berkesimpulan dengan mengukur saya berdasar batas-batas saya menahan diri. Bukan potensialitas seberapa yang sesungguhnya bisa saya lakukan atas dholuman jahula Republik ini. Pada suatu peristiwa yang menyangkut Patangpulan, siang-siang Markesot sumbar: Arek-arek iki anggite dhep-dhepan musuh sopo. Kemènyèk. Cengèngèsan. Nek gak agi-agi njaluk sepuro ciker bungker koen ngko gèpèng dadi ilir mbarèk iler.
Kami sudah selalu mengalah, minimal sejak 1957 tahun-tahun PKI dan satu ormas Islam sir-siran. Sangat banyak hal tentang substansi Indonesia, kemerdekaannya di 1945, fakta-fakta sejarah dan analisisnya, tokoh-tokoh nasionalnya sejak awal hingga hari ini, dimensi-dimensi kenyataan di sekitar itu, harus “diauratkan” seketat-ketatnya. Maka ibarat tema hantu, Kebon ini paling jauh dan tinggi hanya menyebut level Tuyul. Kadar muatan maupun cara melihat muatan itu juga berlevel Tuyul. Tidak sampai kelas Banaspati, Rangda, Palasik, Kuyang atau Perayangan. Sedangkan kelas Jenglot atau Jailangkung saja pasti akan memancing pembiasan dan syubhat, trolling, dan bullying. Misalnya kalau ditanya “Siapa koruptor paling awal tapi terbesar dalam sejarah NKRI?” tak seorang pun tidak marah kalau dijawab, meskipun dengan fakta sangat rasional dan terang benderang.
Dari dulu banyak datang ke Padhangmbulan orang aneh-aneh, tapi rata-rata bukan Tuyul-tuyul seperti yang saya tuliskan terakhir-terakhir ini. Misalnya tamu yang yakin dirinya adalah Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, dengan keluarga dan semua pengiringnya. Seorang Gus, Kiai yang termasyhur Namanya di Nusantara mengirim utusan menyerahkan cincin yang diinformasikan bahwa itu titipan dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Ketika mengurusi korban lumpur di Sidoarjo, Mbah Ud almarhum yang makamnya di Pagerwojo menemui seorang Jamaah Maiyah dan berpesan “Saya kawal untuk ketemu Presiden SBY”. Atau datang di Kadipiro murid-murid dari berbagai perguruan, yang malah bertanya kepada saya apa sebenarnya tugas Gurunya. Atau datang juga Guru atau Kiai atau Mursyidnya.
Teman-teman KiaiKanjeng dan beberapa kolega harus sering menangani orang yang kesurupan. Sebagaimana saya, mereka juga tidak mengerti apa-apa tentang hal semacam itu. Tapi mereka tetap datang demi kewajiban melayani dan menolong sesama manusia. Begitu datang, yang kesurupan berteriak “Waaah Santrinya Mbah Nun lagi! Ya sudah saya pergi. Bilang Mbah Nun bahwa saya juga jamaah Padhangmbulan”. Kemudian masalah jadi terselesaikan tanpa teman-teman itu melakukan sesuatu.
Tak ketinggalan wanita yang meyakini ia adalah titisan Kencanawungu salah satu Ratu Majapahit yang rakyat mengenalnya melalui kisah Damar Wulan pemuda Jombang dan Menakjinggo Blambangan Banyuwangi. Atau tamu-tamu dari luar negeri tetapi dengan berita-berita mistik, termasuk seorang Syekh dari Arab Saudi yang bertamu karena meyakini bahwa saya adalah orang yang “tahu apa kehendak Allah”. Atau benda-benda dari langit, atau Keris amanat dari Kraton di Jawa Tengah.
Itu semua sangat merupakan ancaman kepada integritas hidup saya di hadapan Allah Swt. Sebab prasangka-prasangka seperti itu sangat mudah membuat dada membusung dan melahirkan kesombongan, rasa hebat, pada diri manusia.