Tak Lain Tak Bukan, Kita Hanya Diuntungkan
Kentongan besar di Kadipiro kiriman dari masyarakat makam Mbah Jabbar dan Mbah Ganyong itu bukanlah hak saya, karena faktanya saya sungguh-sungguh tak pernah berinisiatif, meminta serombongan tukang apalagi menyediakan biaya untuk memugar komplek makam Mbah Ganyong dan Mbah Jabbar di Bojonegoro itu. Tetapi saya yang mendapatkan dan menikmati ungkapan rasa syukur penduduknya
Itu suatu jenis atau ragam dari anugerah kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dari jantung yang berdetak, darah yang mengalir, rambut yang tumbuh, nyawa yang dipelihara, derajat yang kita dijunjung, kekayaan yang kita disejahterakan, jabatan yang kita didudukkan, serta apa sajapun – pada hakikatnya Allah-lah Maha Pekerjanya.
Saya hanya diuntungkan. Kita semua hanya diuntungkan. Di tengah proses KiaiKanjeng, saya yang tidak punya keterampilan memainkan alat musik apapun, juga tidak memiliki pengetahuan teknis tentang musik, oleh Allah dirasuki kreativitas yang teraplikasi menjadi nomor-nomor lagu, yang sampai saat ini jumlahnya hampir 30.
Tidak masuk akal bahwa saya bisa bikin lagu. Tidak rasional bahwa saya bisa menyusun notasi-notasi dan mewungkulkannya menjadi suatu satuan karya musik. Kata orang Menturo: diguyu tengu bahwa saya bisa mengarang lagu. Itu pasti Allah yang bikin gara-gara. Dan tidak hanya di urusan musik, tapi sangat banyak kejadian dalam berbagai bidang yang Allah mengaransir adegan yang menampakkan saya seakan-akan punya kemampuan, kehebatan atau kesaktian.
Tidak sedikit orang jadinya terkena dampak untuk lantas mengagumi saya. Padahal itu salah sasaran dan merupakan bentuk ketersesatan pengetahuan. Mungkin sebagian orang yang mengalami seperti saya akan “mengambilnya” atau “mengakuinya” bahwa itu memang kehebatan dirinya. Kemudian ia merasa bangga dan bahkan membanggakan dirinya kepada orang-orang lain maupun diam-diam kepada dirinya sendiri.
Alhamdulillah saya tidak punya infrastruktur logika maupun rohani untuk membiarkan diri saya mengakui bahwa itu semua adalah karya saya. Kentongan raksasa dari Bojonegoro itu saya terima sebagai kewajiban silaturahmi, namun saya tetap menyatakan bahwa saya tidaklah melakukan apa yang mereka kemukakan yang membuat mereka memberi hadiah kentongan kepada saya. Bahkan berulang-ulang saya nyatakan bahwa Maiyah bukanlah hasil karya saya, meskipun secara administratif keduniaan saya bisa disebut Founding Father of Maiyah.
Tetapi tidak sedebu pun di dalam batin saya berani mengaku-aku bahwa itu karya saya. Itu rahmat Allah dan posisi saya hanya dilimpahi.
وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ
ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ
فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ
“Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Ia yang mempunyai ‘Arsy, lagi Maha Mulia. Maha Mengerjakan apa saja yang dikehendaki-Nya.”
Kalau karya-karya KiaiKanjeng dibajak orang, sudah biasa kami merelakannya. Kalau tulisan saya diplagiat orang, seperti pernah cerita pendek saya diklaim oleh orang lain dan dimuat oleh Majalah Wanita “Kartini” dengan namanya, saya bikin pernyataan: “Mulai hari pemuatan cerpen itu di Kartini, ia sudah bukan karya saya lagi, maka saya akan memohon kepada Tuhan agar dikasih cerpen lagi”. Jadi, orang itu aman, tidak dituntut secara hukum hak cipta, dan punya karya tanpa bekerja kecuali menulis ulang atau copy-paste.
Itu terbalik kasusnya dengan media, Youtube dan Medsos yang di satu wilayah saya ditiadakan, di wilayah lain saya diada-adakan. Dan menurut teman-teman di Kadipiro sangat ruwet mentabayyunkan hal itu ke radaktur youtube atau para pengurus medsos.
Sekali lagi, semua itu bukan karya atau milik saya. Utamanya, tidak ada program saya untuk menampil-nampilkan diri tiap saat di media-media online itu. Saya dianiaya dan dirugikan oleh ambisi manusia, tetapi pasti sekaligus saya diuntungkan oleh kemurahan Allah Swt yang amat sangat dan maha berkuasa atas segala keruwetan.
Manusia hidup ini hanya diuntungkan oleh asal-usul penciptaan. Kita menikmati kangkung dan ayam, tetapi tidak mampu menciptakan keduanya. Bahkan belum tentu punya gagasan rintisan untuk menjadikan tidak ada menjadi ada kangkung dan bayam. Andaikan kita yang menciptakan makhluk, kita tidak bisa menentukan ragam pluralitasnya. Ada malaikat, ada jin, setan, manusia, binatang, tetumbuhan, batu dan debu-debu. Andaikan kita kebagian menciptakan manusia saja, kita tidak akan punya gagasan tentang bentuknya, ragam organ-organnya. Apalagi mengkonsep dan menyusun cara kerjanya. Lebih-lebih lagi keindahannya.
Semua ciptaan Allah tidak hanya sangat indah, tetapi juga fungsional dan efektif. Messi menjadi jagoan sepakbola karena formasi bentuk tubuhnya sedemikian rupa, panjang pendek bagan-bagannya tertentu, belum lagi mesin di dalam otaknya dan arus dalam hatinya. Siapapun yang secara detail dan dengan mata kelembutan memperhatikan sekadar jari-jemari tangannya, bahkan sekadar seekor semut, kutu atau serangga terkecilpun saja, sesungguhnya mustahil tidak lantas merasakan ketakjuban atas itu semua.
Pada hakikatnya tidak ada yang tidak ajaib dan ghaib. Ajaib dan ghaib adalah segala sesuatu yang perangkat akal pikiran tidak sanggup mengidentifikasinya, merumuskan, dan mereperesentasikannya dalam ilmu dan pengetahuan. Bagaimana memahami dan menjelaskan bahwa Bung Karno lahir di Solo dari orang tua yang bangsanya tidak ada yang mengetahuinya. Kenapa tidak lahir di Lumajang dan menjadi anaknya Pak Kromo. Kenapa beliau dilahirkan tahun 1901 sehingga di usia matangnya, 44 tahun, beliau siap memproklamasikan kemerdekaan negaranya. Kenapa tidak lahir tahu 1891 atau 2011 atau bahkan kenapa tidak lahir di Mekah bersamaan dengan Nabi Muhammad, sehingga mungkin beliau potensial untuk berjuang bersama Sayidina Aku Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Bukan Allah yang mengucapkan kalimat itu, meskipun Ia yang memfirmankannya. Manusia yang disuruh mengucapkan ketakjuban itu. Dan akal manusia mestinya tahu bahwa untuk bisa sampai pada logika ucapan itu, diperlukan penelitian dan kesadaran sedemikian rupa terhadap segala keajaiban ciptaan Allah, sehingga manusia berada dalam posisi kepantasan, relevan, bahkan berkewajiban untuk mengucapkan itu.
فَلَمۡ تَقۡتُلُوهُمۡ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ قَتَلَهُمۡۚ
وَمَا رَمَيۡتَ إِذۡ رَمَيۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ رَمَىٰ
وَلِيُبۡلِيَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ مِنۡهُ بَلَآءً حَسَنًاۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ
“Maka bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Kalau kulemparkan batu kepadamu, Allah tinggal menyuruh Malaikat-Nya untuk mengunggangi batu itu dan mengubahnya menjadi snack, roti, makanan atau rizki apapun yang Allah mau. Demikian juga kalau kau lempari aku dengan batu.
Allah pula yang melemparkan saya ke Dipowinatan sehingga memperoleh istri yang kemudian beranak Sabrang Mowo Damar Panuluh. Yang karena saya tidak cukup intensif menemani dan mendidiknya selama masa kanak-kanak, maka Tuhan menghendakinya lebih luas pengetahuannya dibanding saya.
Sudah dan selalu pasti bahwa saya bukanlah “the main subject” atas hampir semua yang saya alami dan menimpa sepanjang hidup saya sampai hari ini. Para Malaikat dan semua manusia adalah aktor-aktor yang berlaga di panggung kehidupan yang diselenggarakan dan disutradarai oleh Allah Swt. Tentu ada batas-batas yang sangat samar dan sulit diidentifikasi di antara kehendak Allah Swt dengan “free will” manusia.
Sabrang pernah menjelaskan hasil penelitian kepada saya bahwa “human free will” sesungguhnya tidak solid-solid dan tidak valid-valid amat. Menurut penelitian itu kebanyakan manusia sudah melaksanakan sesuatu dan kehendak atau niat atau “free will”nya baru muncul kemudian meskipun hanya dalam hitungan sepersekian detik. Wallahu a’lamu bis-shawab dan Sabrang lebih artikulatif menjelaskan itu dibanding Bapaknya.
Sangat banyak pengetahuan anak saya yang membuat saya lebih berhati-hati dalam bertindak. Wama romaita idz romaita walakinnallaha roma.