CakNun.com
Kebon (30 dari 241)

Tajdid dan Ijtihad Teater

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Festival Arsip “Ephemera” dan Pekan Seni Dipowinatan, 16 Desember 2020.
Foto: Adin (Dok. Progess).

Mudik yang dilakukan oleh proses kreativitas Dipowinatan, Dinasti hingga KiaiKanjeng sebenarnya juga tidak sampai sejauh wilayah memori-memori asal-usul sebagaimana yang disebut Sabrang, apalagi hingga memori cahaya Nur Muhammad. Kalau pakai istilah yang dijelaskan oleh Sabrang, apa yang dilakukan oleh komunitas yang pelan-pelan saya kisahkan ini sekedar taraf memori Articulate-conscious, kenangan dari lubuk jiwa kehidupan yang disadari dan kemudian dilakoni sungguh-sungguh. Proses yang berlangsung dari Dipo hingga Dinasti dan KiaiKanjeng bukan proses seram dan gawat sebagaimana santri-santri kaum Salikin, para pencari kesejatian. Jangankan lagi hingga ranah Khidliriyah, di mana Guru Utamanya adalah Baginda Nabi Khidlir sendiri.

Kami hanya anak-anak kampung biasa, yang tampak luarnya lebih seperti kaum “abangan”. Pimpinan Teater Dinasti, Mbah Tertib Suratmo, meskipun taat beribadah, tetapi juga tidak berpotongan Santri. Mbah Fajar Suharno juga agak belakangan ketahuan bahwa ternyata beliau juga seorang pemeluk teguh Islam di desanya, Sorobayan, Bantul Selatan. Apalagi Mbah Gadjah Abiyoso, yang “display”-nya lebih tepat dituduh Cowboy campur Dukun.

Tetapi seluruh yang dilaksanakan dalam berkesenian teater adalah ideologi mudik. Sejak awal berdirinya sampai bertahun-tahun kiprahnya di jagat perteateran Yogya tidak pernah Dinasti mementaskan naskah terjemahan dari luar negeri, apalagi dari negeri Inggris yang tidak punya rempah-rempah, tidak punya menu lotek, tahu guling atau tongseng. Dinasti tidak ngoyoworo mengejar sesuatu untuk menjadi apapun atau siapapun, karena mensetiai diri sendiri atau nyengkuyung budaya nenek moyang sendiri saja belum tentu sanggup.

Itu sama sekali tidak berarti bahwa Dinasti “anti modernisme” atau fobi terhadap hal-hal yang berbau asing. Buktinya Dinasti tidak membangun dirinya sebagai grup Ketoprak atau Wayang Wong. Dinasti menerima dan mengakomodasi opsi drama modern, formula teater “kontemporer” atau apapun namanya. Bagaimanapun pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh seni-seni tradisional memang memerlukan pembaharuan, pengembangan, tajdid dan ijtihad.

Namun semua pembelajaran itu ditempuh tidak sampai menjadi kehilangan diri sendiri. Tidak belajar untuk menjadi lebih tinggi dari siapapun saja. Itu juga bukan urusan Barat Timur. Tidak ada anti-Barat atau fanatik-Timur. Setiap manusia belajar kepada apa dan siapa saja tanpa batas wilayah dan arah. La syarqiyah wala gharbiyah. Andaikan Timur belajar kepada Barat, atau sebaliknya, tidak lantas pencapaiannya menjadikan Timur menjadi lebih tinggi dibanding lainnya. Belajar tidak untuk ngasorake. Sinau tidak untuk gemedhe dan nggdheni lain-lainnya.

Dinasti juga tidak mengecam Bengkel Teater atau kelompok lainnya yang mementaskan naskah-naskah Barat. Tidak merendahkan, tetapi juga tidak meninggikan. Tidak menista, tapi juga tidak menjunjung kalau tidak pada konteks yang tepat.

Bahkan Azwar AN Teater Alam yang relatif berposisi sama dengan Tertib Suratmo, Fajar Suharno dan Gadjah Abiyoso, memisahkan diri dari Bengkel Teater Rendra, juga banyak mementaskan naskah-naskah Barat. Dinasti dengan Teater Alam tidak berkompetisi karena pilihan Barat Timur, melainkan memperkreatifkan kualitas dan pencapaian dimensi-dimensi universal kemanusiaan.

Mbah Harno menulis naskah sendiri yang digali dari sejarah bangsanya sendiri, menyusun formula pementasannya dengan mengapresiasi kecenderungan-kecenderungan budaya masyarakatnya sendiri melalui naskah-naskah “Dinasti Mataram”, “Jendral Mas Galak”, “Raden Gendrek Sapujagat” sampai “Patung Kekasih” dan “Geger Wong Ngoyak Macan” — tanpa merasa dirinya lebih benar, lebih baik atau lebih unggul. Semua pilihan dan ragam itu adalah bagian sah dari bebrayaning urip di antara sesama manusia Yogya yang merupakan salah satu mata air dan penawahan nilai Jawa.

Mungkin karena kemurnian Nevi Budianto dan teman-teman, Tuhan membukakan hidayahnya, sehingga ide aransemen musik-puisi “Tuhan, Aku Berguru KepadaMu”, bagi saya pribadi menjadi semacam monumen dan legenda yang keindahannya tidak pernah sirna dari kedalamaan jiwa saya. Dan sampai hari ini saya selalu sangat ingin mengulang keindahan itu:

Tuhan, aku berguru kepadaMu

Mendengarkan batu dan angin yang bisu

Kedunguan memberiku pengertian
Buta mata menganugerahi penglihatan
Kelemahan menyimpan berlimpah kekuatan

Jika aku tahu, terasa betapa tak tahu
Waktu melihat, betapa penuh rahasia gelap
yang dikandung cahaya

Tuhanku, aku berguru kepadaMu
tidak tidur di kereta waktu
lebur dalam ruang
karena setiap satu mengandung seribu

Tuhan aku berguru kepadaMu
Meragukan setiap yang kutemu
Kutimba ilmu dari yang paling dungu
Tuhan, aku berguru kepadaMu
Gelap dan terang saling menegaskan
Garis batasnya memusnahkan jaraknya
Pada pertentangannya memancarkan kesatuannya

Lainnya

Kota Santri dan Kampung Gali

Kota Santri dan Kampung Gali

Selama bergaul dengan lingkungan manusia dan budaya Dipowinatan sejak Dinasti hingga KiaiKanjeng, saya merasa seperti ada yang aneh dengan agama di Indonesia, khususnya Islam.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version