Tafakkur Anak Ratu
Meneruskan Kerasukan Iblis di Gontor: di luar Gontor peristiwa itu tidak otomatis dipahami atau dinilai se”positif” itu dalam konteks standar “nahi munkar” atau maqamat umara-ulama. Ada kelompok dalam masyarakat yang tetap menuduh saya sebagai “anteknya Cendana”, meskipun kubu politik Cendana hari ini sudah loyo dan kehilangan langkah, karena memang tidak terdidik oleh Pak Harto menjadi keluarga yang tujuan hidup utamanya adalah membangun ambisi dan teknokrasi kekuasaan.
Saya mengungkapkan ketersandungan saya selalu oleh term “ahmaq”. Salah satu manfaat kita melakukan sesuatu yang orang lain belum tentu mampu atau berani melakukan adalah penyaringan atau verifikasi siapa yang ahmaq dan siapa yang bukan. Siapa yang berjuang untuk kepentingan egosentrisme golongannya sendiri dan siapa lain yang murni untuk rakyat Indonesia. Siapa yang berkiprah berangkat dari subjektivisme kelompok dan siapa yang objektif mengutamakan rakyat. Siapa yang alim saleh dan siapa yang ahmaq atau dholuman jahula.
Ahmaq itu mudahnya semacam sakit jiwa. Suatu bangunan kejiwaan yang sedemikian rupa susunan saraf hati dan otaknya mengalami disproporsi dan mismanajemen dilihat dari objektivitas yang normal dan berlaku universal. Kalau pakai parameter IQ, kebanyakan pasti IQ rendah. Atau bisa juga IQ tinggi dan istimewa tetapi cacat di wilayah lainnya dalam hitungan keseluruhan kejiwaannya.
Berarti Allah sendiri yang memang menciptakan kapasitas manusia yang demikian. Dan ragam beda kapasitas itu termasuk di dalam spektrum yang sering dipakai umum, yakni pluralisme. Tetapi Allah sudah menata pengelolaan ragam manusia itu dengan menyediakan tempat yang bermacam-macam. Ibarat perusahaan, tidak semua menjadi direktur dan manajer. Ada yang bagian mencatat saja, menyapu saja, membersihkan toilet saja, atau jaga pintu depan saja. Allah sangat “kaffah” menciptakan, memperhitungkan, dan menata bangunan peradaban manusia.
Hanya saja ilmu-ilmu manusia sepanjang sejarah hingga hari ini belum mencukupi untuk mengenali manusia sendiri. Jangankan yang sehari-hari. Sedangkan sampai sekarang kebanyakan orang tidak punya presisi ilmu atau cara pandang untuk mengetahui apa sebenarnya perbedaan antara Soekarno, Soeharto, Gus Dur atau Jokowi. Bahkan sisi administratifnya saja belum menentu pengetahuannya. Anak siapa Bung Karno, siapa Bapaknya Suharto dan Jokowi, yang adik kandungnya Suharto itu Probo Sutejo ataukah Sudwikatmono. Apa keterkaitan darah antara SBY dengan Megawati, Antara Budi Gunawan dengan Mbak Tutut. Dst. Dst.
Yang paling celaka bagi bebrayan manusia dan kebersamaan nasional rakyat suatu negara adalah golongan ahmaq yang disandera oleh kepentingan kekuasaan sepihak, didorong setiap ucapan dan langkahnya oleh kedengkian, iri, cemburu yang tidak pada urusannya. Sampai Allah sudah menyiapkan anak-anak balita mengaji sudah hapal “wa min syarri hasidin idza hasad”. Sejak kanak-kanak kita sudah dituntun untuk selalu rajin memohon perlindungan Allah dari para pendengki ketika melemparkan kedengkian, lewat jalan apapun, yang sekarang dipermudah dan diperluas jangkauannya oleh medsos dan komunikasi online lainnya.
Bahkan puluhan tahun sesudah Pak Harto mengalah dengan turun jabatan masih ditimpa kedengkian. Dulu mereka dengki karena kenapa Presidennya Soeharto, kok bukan mereka atau dia. Setelah Soeharto turun tetap melempar kedengkian, kenapa yang bikin Soeharto turun kok orang itu, bukan dia atau mereka.
ذَٰلِكَ مَبْلَغُهُم مِّنَ الْعِلْمِ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدَىٰ
“Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
Bambang Tri tidak keluar kamar tiga hari tiga malam sesudah mengalami kejutan parah di Gontor itu. “Anak Ratu” itu merenung, bertafakkur, berkontemplasi. Dan tidak mengeluhkan atau melaporkan kepada Bapaknya yang Raja Besar apa yang ia alami di Gontor. Malah Bu Halimah Bambang, istri beliau, yang akhirnya berinisiatif untuk menghubungi saya. Beliau ceritakan bahwa suaminya tidak mau keluar kamar tiga hari tiga malam dan tidak mau diajak omong, diam seribu basa. “Mbok Cak Nun kerso rawuh ngerih-erih hatinya Mas Bambang”.
Saya bukan orang besar dan tidak hebat, sehingga dengan ringan saya penuhi permintaan Bu Halimah. Saya ke Jakarta, kebetulan bersamaan harinya dengan pentas KiaiKanjeng di Senayan. Saya sempatkan berkunjung ke rumah beliau, saya diantarkan mengetuk pintu kamar Mas Bambang, beliau bertanya siapa, dan Bu Bambang menjawab “Dicari Cak Nun, Mas”. Beliau pun buka pintu dan mempersilakan saya masuk ke kamarnya. Kami omong-omong bisik-bisik. Mas Bambang yang pendiam itu alhamdulillah tersenyum dan menjadi bercahaya wajahnya. Kemudian kami pindah ke meja kursi ruang tengah, Bu Bambang menyiapkan Es Limun. Berikutnya saya diajak mas Bambang ke Gedung GNOTA tempat beliau dan timnya mengelola shadaqah nasional. Saya diantar dari ruangan ke ruangan, memperkenalkan pegawainya kepada saya, dan Mas Bambang menyuruh pegawainya untuk menjelaskan apa tugasnya serta hal-hal GNOTA secara keseluruhan.
Selesai di kantor, kami ke latihan KiaiKanjeng di Senayan. Mas Bambang sangat pendiam, sopan, dan pemalu. Ketika asyik menyaksikan persiapan musik KiaiKanjeng, yang mendampingi saya adalah bidadari Halimah, sedang Mas Bambang duduk jarak beberapa kursi.
O, jadi karena saya memenuhi permintaan silaturahmi dan tabayyun dengan Bambang Tri Hatmojo, maka saya disebut “antek Cendana”. Andaikan sudah ada medsos ketika itu, foto saya berjalan dengan Mas Bambang dan duduk berdampingan dengan Bu Halimah, insyaallah akan disebar dan diupayakan untuk viral. Mungkin dengan dua tema. Pertama, tema politik “Antek Cendana” untuk foto saya Bersama Bambang Tri. Kedua, dugaan perselingkuhan untuk foto saya jejer Bu Halimah.
Sayang teknologi fotografi yang paling modern pun sampai saat ini hanya bisa mengakses “barang katon”, sehingga seluruh caption dan dialog pertengkarannya juga hanya sebatas “ngelmu katon”. Padahal kita semua adalah sahabat Setan, Iblis, Dajjal dan Ya’juj Ma’juj, yang mengerubungi kita di mana saja dan kapan saja. Tetapi teknologi fotografi kita masih jauh untuk menyentuh “kasyful hijab”.