Tabbat Qulhu, Kamu Hebat Aku Dungu
Selama mondok di Gontorlah, 1966-1968, saya pernah mengalami “mengantuk sejati”. Mengantuk yang benar-benar mengantuk. Mengantuk karena secara alamiah atau sunnatullah sungguh-sungguh mengantuk. Dan mengantuk di Gontor itu sedemikian nikmatnya, sebab kelelahan yang menimpa saya adalah sesudah seharian penuh sejak pkl 04.00 hingga 21.00 malam menjalani disiplin pondok yang amat sangat ketat.
Hidup para santri dikendalikan oleh terompet dari Markas Pramuka Pondok. Kemudian oleh lonceng atau bel besar seperti di Gereja yang dibunyikan oleh petugasnya. Terompet bangun dini hari pkl 04.00. Para santri melompat dari tikar atau kasurnya, kecuali saya. Maksudnya saya curang selama nyantri di Gontor. Tidak punya kasur atau tikar. Setiap malam saya menunggu semua 40 orang sekamar tertidur, baru saya mencari sela-sela yang bisa saya geletakkan badan saya.
Mungkin saya pernah bercerita juga bahwa saya tidak pernah membeli sabun mandi atau odol untuk sikat gigi. Banyak sekali sisa-sisa sabun yang dibuang oleh ratusan santri. Tinggal sedikit, kecil, dan tipis. Saya punguti, saya kumpulkan dan saya plethet-plethet untuk menjadikannya satu gumpalan sabun sebesar sabun yang baru. Sisa-sisa pasta gigi juga saya ringkas di satu tempat. Baju saya cuci hanya setiap hari Jumat pagi, dijemur di atas bebatuan di seberang Gedung Tunis. Jumat berikutnya celana saya cuci. Selama di pondok saya hanya memakai satu celana dan satu baju. Ibu dan Ayah saya menyiapkan satu koper cukup besar pakaian-pakaian, tetapi saya memakai hanya sehelai celana dan sehelai baju yang berwarna coklat dan coklat tua. Jadi bisa untuk tugas Pramuka, sekaligus bisa untuk sehari-hari.
Bel pkl 04.00 membuat setiap santri melompat, membenahi tikar atau kasurnya. Kemudian santri yang piket menata kasur dan tikar itu menjadi satu tumpukan, yang permukaannya dihias dan nanti seminggu sekali disiapkan hadiah bagi yang dinilai paling rapi dan indah. Setelah estetika tikar kasur selesai, kami berlomba lari menuju tempat wudlu, kemudian berjamaah Subuh di Masjid depan rumah Pak Sukarto, Lurah Gontor, yang adalah kakak sulungnya Trimurti, 3 Kiai Gontor: KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fanani, dan KH Imam Zarkasyi.
Sehabis shalat Subuh bergerak ke progam olahraga masing-masing: sepakbola, volley ball, badminton, pingpong, atau maraton. Sampai kemudian terdengar bel berikutnya tanda selesai olahraga, kami bertaburan ke berbagai tempat untuk mandi. Kemudian langsung sarapan. Semuanya kita lakukan dengan derap dan kesigapan yang sangat efektif dan efisien. Dapur tempat sarapan sangat ribut. Simbok yang bertugas menghadap meja besar yang piring-piring ratusan santri berurutan berdesakan untuk dikasih makanan. Yang dimaksud makanan tidaklah memenuhi teori Empat Sehat Lima Sempurna atau paket-paket gizi dan nutrisi unggul agar kami cerdas. Yang tersedia adalah nasi plus ampas bekas parutan kelapa dicampur sambal. Masing-masing memperoleh satu dua jumput.
Kemudian bel berbunyi lagi untuk jam pertama Sekolah. Nanti setelah dluhur keluar dari jam pelajaran ke-6, kami berlomba ke dapur lagi untuk makan siang. Sebentar kemudian bel untuk sekolah sore. Semacam kursus dengan sejumlah pilihan mata pelajaran. Kecuali hari-hari Pramuka. Saya mengajar Qiro’ah di sekolah sore, meskipun saya Junior, baru tahun kedua di Muallimin Gontor. Sekolah kursus, olahraga lagi, sampai bel masuk Maghrib. Setelah Maghrib pathing bleber lagi memenuhi Dapur. Kemudian bel lagi mulai mencari tempat selera masing-masing untuk belajar, nderes pelajaran-pelajaran, mengerjakan PR atau sinau bareng. Terapi tidak boleh di kamar. Harus di gedung BPPM, di beranda gedung-gedung, atau saya sering mencari pohon dan nangkring di dahannya.
Kalau sudah pukul 21.00 mengantuk luar biasa, meskipun saya tidak pernah lantas terjatuh dari atas pohon ke tanah. Nanti pkl 22.00 bel semacam Hari Raya karena semua bergembira sudah boleh ke kamar dan tidur. Ngantuk seperti pada pkl 21.00 di Gontor itu tidak pernah saya alami lagi sampai usia tua saya. Setelah diusir dari Gontor Mei 1968, beberapa bulan kemudian saya ke Yogya dan tidak lama sesudah itu saya begadang tiap malam di Melioboro. Budaya begadang itu berlangsung sampai era demi era hidup saya. Maka Maiyahan juga sampai pkl 03.00. Andaikan tidak ada Subuh, pasti Maiyahan bisa sampai matahari naik sepenggalah.
Berpuluh-puluh tahun rasanya tidak pernah tidur malam. Bahkan sudah sangat lama saya tidak pernah mengalami mengantuk, sehingga sangat merindukan Gontor 1966-1968. Siang malam saya mungkin tidak berputar 24 jam dan rute atau rentangnya tidak sebagaimana siang malam pada kebudayaan umumnya manusia. Dalam satu kali 24 jam bisa saja saya mengalami beberapa kali siang malam. Badan psikologi saya menyesuaikan diri dan mentaati mekanisme itu, karena di dalamnya termuat kenikmatan ibadah, tafakkur, kontemplasi, dan kreativitas yang melebihi mekanisme siang malam konvensional.
Pola hidup yang saya jalani ini tidak saya ajarkan atau saya rekomendasikan kepada siapapun saja. Apalagi hal gizi, nutrisi, makan ampas sambal, sayur tewel dari tahun ke tahun. Tidak ada kisah asupan sehat dalam hidup saya kalau diteropong dari pemahaman Kedokteran modern. Seharusnya saya dungu, pekok, kecerdasan rendah, tidak punya kecemerlangan intelektual, apalagi fathonah seperti supra-genius Muhammad Saw.
Dan mungkin faktanya memang saya dungu dan pekok. Saya tidak punya penghidupan yang melimpah. Saya tidak punya gaya hidup yang elit dan mewah. Saya tidak mengerti bagaimana menempuh karier. Saya tidak pernah menjadi siapa-siapa atau apa-apa, atau “dadi uwong” kalau pakai idiom Jawa. Saya tidak mencapai kebesaran atau kehebatan yang jutaan manusia lain mencapainya.
Jangankan menjadi intelektual atau profesor doktor, di SMA saja saya diluluskan demi keamanan Sekolah. Jangankan menjadi kiai atau ulama, mengimami shalat saja baru 2-3 kali jamaah dengan 2-3 KiaiKanjeng, yang Imam resminya adalah Novi Budianto dan Islamiyanto. Itu pun saya ngimami dengan surat paling pol Tabbat dan Qulhu. Jangankan menjadi presiden atau menteri, andaikan saya melamar ingin jadi Guru SMP saja tidak mungkin diterima. Jangankan menjadi lurah, carik, kepetengan atau Kamituwo.
Jadi ketika zaman tiba di era Dunia Maya dalam Cyberspace, saya tergolong di antara sebagian kecil orang tua yang plonga-plongo, kethap-kethip, tolah-toleh dan pah-poh. Maka cita-cita saya sekarang ini adalah ketidakmampuan saya untuk terlibat di dunia Internet dan Medsos itu dimesisankan. Andaikan saya punya uang, saya siapkan minimal 1-M, untuk saya hadiahkan kepada siapa saja, orang atau kelompok, individu atau lembaga, klub atau jaringan, yang bisa menghilangkan, menghapus, mensirnakan, total delete and erase nama saya, Emha, Ainun, Nadjib, Cak Nun, Mbah Nun atau kosakata apa saja yang indikatif ke saya, termasuk wajah dan suara saya: dari Media apa saja terutama Internet dan Medsos.
Tapi maksimal biaya yang saya siap hanya 100 juta Rupiah. Kalau ada yang bisa membuktikan bahwa minimal selama tiga bulan di media-media itu sudah tidak ada nama saya dengan detail yang tadi saya sebutkan, maka saya langsung kasih cash 100 juta Rupiah di Kadipiro.
Saya akan menyatakan terima kasih dengan membungkukkan punggung saya minimal tiga kali. Saya akan bersyukur kepada Allah, kalau perlu saya bikin acara makan-makan syukuran di Kadipiro.
Saya mendengar ada orang bernama Sean Parker, yang bekerja di Facebook sudah sejak awal media sosial ini berdiri, dan ternyata akhirnya berkesimpulan bahwa Facebook memperoleh popularitas dengan cara memanfaatkan “kerapuhan psikologis manusia”. Orang ini lantas meninggalkan aktivitas yang ia dulu ikut merintis dan membangunnya.
Hmmm. Kerapuhan psikologis. Kerapuhan kejiwaan. Kerapuhan jiwa. Kadar tertentu dari cacat atau sakit jiwa manusia. Pasti termasuk saya itu. Tapi manusia yang mana yang dimaksudkan oleh Parker? Yang terpelajar atau tidak? Yang figur sentral atau awam? Yang khusyu beragama atau abangan? Yang jelas manusia sedunia tidak bisa disebut tidak mengalami kondisi kerapuhan psikologis. Sempit pengetahuan. Lemah mental. Dismanagemen ilmu. Bahkan mungkin sakit jiwa, dengan kadar yang berbeda-beda.
Parker berada pada posisi paling valid untuk menyatakan itu. Bahkan Iklan pop-up yang menggemerlapi aplikasi-aplikasi medsos, disesali juga oleh penemunya sendiri, Ethan Zuckerman. Kabarnya, orang ini kemudian woro-woro mengumumkan kalau dia benci kepada penemuannya sendiri ini, lantas non-aktif dari segala yang berkaitan dengannya.
Saya juga mendengar seorang profesor Fisika bernama J. Robert Oppenheimer menyesali Bom Atom penemuannya. Diceritakan, setelah menyadari hampir semua dampak penemuannya, ketika pamitan meninggalkan proyek Manhattan, proyek pengembangan senjata nuklir pada tahun 1942, kepada Presiden AS, Harry S. Truman, Profesor ini menggambarkan dirinya sebagai “tangan kotor“, karena tangannya selama ini sudah dipakai untuk uthak-uthek mengembangkan bom atom.
Saya “tidak potongan”, tidak punya kemampuan, tidak berbakat dan tidak punya apapun yang membuat saya layak ada di Internet dan Medsos. Saya takut akan menggangu kemashlahatan hidup masyarakat. Saya tidak berani berada di suatu tempat yang saya menjadi mudharat atau mafsadah bagi ummat manusia. Saya cemas akan menjadi faktor mafsadah di dalamnya. Saya ngeri kalau dirawuhi oleh Kanjeng Nabi saya Muhammad Saw dan memarahi saya dengan mengingatkan sabdanya 15 abad silam, yang sangat ilmiah, detail, persepsional, dan akademis:
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Dayagunakanlah lima perkara sebelum kamu kedatangan lima perkara. Yakni Masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Sehatmu sebelum datang sakitmu. Masa kayamu sebelum datang faqirmu. Waktu luangmu sebelum waktu sibukmu. Masa hidupmu sebelum datang kematianmu.”