CakNun.com

Swarga Rasa Gambang Syafaat

Memperingati Milad 22 Tahun Gambang Syafaat Semarang
Rizky D. Rahmawan
Waktu baca ± 3 menit

Berbeda dengan Kenduri Cinta, atau juga Semak Kudus, SabaMaiya dan banyak Simpul Maiyah lainnya yang mengambil jadwal rutinan di akhir pekan, Gambang Syafaat memilih menjadikan angka tanggal 25 sebagai anker keistiqamahan. Para penggiatnya mencoba mensetiai pelaksanaan rutinan bulanan pada tanggal tersebut, terkecuali ada satu dan lain hal yang memang harus digeser.

Tanggal 25 setiap bulan tentu saja jatuh pada hari yang berbeda-beda, kadang weekend, tak jarang pula weekdays. Kalau pas jatuhnya akhir pekan, penggiat cenderung leluasa. Bisa datang sedari pagi mempersiapkan acara, juga bisa pulang pagi dan mengisi hari libur dengan istirahat paska acara.

Nah, kalau pas jatuhnya di hari kerja, penggiat yang mempersiapkan forum mesti pinter-pinter mensiasati supaya bisa ikut persiapan hingga pelaksanaannya. Belum lagi pengalaman pra pendemi, di mana kerap Maiyahan selesai jam 03.00 pagi. Penggiat mengakhiri beres-beres ketika adzan shubuh berkumandang masih terbilang gasik itu. Padahal esok paginya harus ngantor seperti biasa.

“Kalau memang harus izin kantor, bunyinya biasanya saya ya izin karena akan menjadi panitia pengajian,” tukas salah seorang penggiat ketika saya tanya bagaimana ia mensiasati waktu untuk ikut membantu persiapan rutinan.

***

Bukan tanpa terasa, melainkan sebuah swarga rasa yang amat panjangnya hingga sudah 22 tahun lamanya Gambang Syafaat menjadi ruang berproses diri bagi penggiat dan jamaah Maiyah yang terlibat didalamnya. Swarga rasa berupa spiritual happiness yang sulit untuk dideskripsikan apabila kita tidak menjadi bagian dari yang ikut merasakannya.

Saya berkesempatan bekerja bersama-sama dengan teman-teman Penggiat Gambang Syafaat pada helatan Silatnas Maiyah 2019. Kerapian Menyusun TOR (Term of Reference) guna persiapan kegiatan, hingga menjalankan mata acara demi mata acara amatlah rapi. Tidak hanya itu, laporan kegiatan lengkap hingga catatan keuangan sak-nota-nota belanjaannya rapi terselesaikan tidak lebih dari 1 minggu pasca kegiatan.

Silaturahmi Nasional kali itu dihadiri oleh seluruh perwakilan Simpul dari se-Indonesia dan luar negeri. Yang hingga hari ini belum dapat terlaksana lagi hingga pandemi. Diawali dengan briefing persiapan dan diakhiri dengan briefing penutupan. Kala itu, semua menangis terharu sekaligus gembira. Kangen sekali dengan suasana itu.

Itulah, DNA dari para panitia pengajian yang tidak sekadar panitia pengajian biasa. DNA yang terbentuk evolusioner sebab tidak sekadar menggugurkan kewajiban atas terselenggaranya rutinan bulanan, melainkan menikmati kegembiraan batiniah dalam rangka memelihara keistiqamahan dalam jangka waktu yang tidak sebentar.

Dwidasawarsa bukanlah waktu yang pendek. Bukan untuk menjadi klub hobi, bukan ormas, bukan pula pesantren. Melainkan tetap sebagai simpul, yakni tempat terjadinya persambungan-persambungan.

Pada 22 tahun yang lalu, tentu tidak sesemarak hari ini adanya forum-forum kajian kontemporer, format acara ngaji yang milenial minded, yang sekarang bertebaran dan menjamur di mana-mana. Bahkan bisa jadi Gambang Syafaat secara langsung atau tidak langsung justru berperan menginspirasi kelahiran forum-forum tersebut.

***

Selamat Milad Gambang Syafaat. Sebuah inspirasi tentang praktikum keistiqamahan. Bahwa istiqamah itu bukan sekadar mitologi belaka. Yang kalau istiqamah nanti kita dapat doordprize atau giveaway tertentu dalam hidup. Tidak melulu itu. Melainkan, istiqamah tak perlu menunggu-nunggu adanya potensi kejutan apapun. Cukup kita metani diri sendiri, ada DNA baik apa yang evolutif terbangun dari laku istiqamah kita masing-masing.

Dan kita tahadduts binni’mah atas hal tersebut. Lalu menjadikan energi syukur tersebut menjadi multivitamin banitiniah. Supaya kita kuat untuk melanjutkan proses penumbuhan diri esok lusa dan seterusnya.

Walaupun sebetulnya kita tidak sedang melakukan kerja-kerja penumbuhan apapun. Sebab, seperti apa yang Mbah Nun sampaikan, ibaratnya kita mampunya hanya menaruh biji jagung di tanah, yang bekerja menumbuhkan tanaman jagung adalah Allah.

Purwokerto, 24 Desember 2021

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version