CakNun.com
Kebon (227 dari 241)

Stoicism Alias Tawakkal

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit
Foto: Adin (Dok. Progress)

Setelah menjalani hidup sejak 1953 dan menjalani usia “Abu Sittin” (usia 60-an) saya menulis Kebon sampai seri ke 226, menjadi orang tua sok tahu, berlagak mengerti banyak hal, seolah-olah paling matang dan bijaksana, sedemikian rupa sampai beberapa bulan terakhir ini saya dihinggapi rasa bosan kepada diri saya sendiri, tiba-tiba saya mendapat kejutan.

Memasuki usia 68 saya diperkenalkan oleh anak mbuncit atau bungsu saya yang baru lepas usia 15 menuju 16 tahun paralel konteks antara “tawakkal” dengan “Stoicism” (Stoikisme), suatu pandangan hidup yang berasal dari 3 abad sebelum Masehi, hampir bersamaan dengan era kehidupan Nabi Ibrahim As yang diberitakan oleh sejarah lahir pada tahun 2295 SM.

Sekitar sebulan sebelumnya dia mengajukan tulisan pendek kepada saya tentang hubungan antara “Allahus Shomad” dengan filosofi Thomas Aquinas tentang lima rumus yang membuktikan adanya Tuhan.

Ceritanya anak mbuncit itu sekarang seharusnya berada di New York, USA, untuk mengikuti babak final Genius Olympiad, sebagaimana kakak perempuannya tiga tahun silam di New York juga memenangkan Hadiah II penulisan cerita pendek Bahasa Inggris. Tapi si mbuncit ini geram karena Covid-19 menghalangi acara itu sehingga harus diselenggarakan online. Ketika saya tanya bagaimana sikapnya sekarang selama secara pasif menunggu pengumuman Genius Olympiad, ia menjawab bahwa ia sudah melakukan optimal apa yang harus dilakukan, sekarang dia tinggal pakai sikap Stoicisme.

“Apa itu Stoicism?”

“Kayaknya sih, kalau bahasa Islamnya: tawakkal”.

Benar-benar saya baru mendengar kosakata itu. Terasa betul betapa saya tidak pernah membaca sepanjang hidup saya. Saya sama sekali tidak terpelajar dan tidak mengetahui sangat banyak wacana-wacana ilmu pengetahuan di dunia. Saya hidup “ngasak” saja dan spekulatif. Maka kayaknya Tuhan mengkritik saya dengan memberikan anak sulung yang “kutu buku” dan anak mbuncit yang mulai sering mengagetkan saya.

Orang-orang Stoik percaya bahwa emosi negatif yang menghancurkan manusia dihasilkan dari keputusan yang salah. Sementara seorang Sophis, yaitu orang yang memiliki “kesempurnaan moral dan intelektual,” tidak akan pernah mengalami emosi-emosi yang merusak kebahagiaan, misalnya marah berlebihan, panik berlebihan, sedih berlebihan, dsb. Seorang Stoik tidak banyak bicara tentang ide-ide besar, apalagi kepada orang-orang awam, melainkan bertindak selaras dengan apa yang dipikirkannya tentang kebaikan.

Pengetahuan, prinsip, dan sikap dasar Stoicisme ini agak bau-bau Maiyah, terutama tata kelolanya terhadap kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kebijaksanaan, dalam kaitannya dengan muatan intrinsik dan ungkapan ekstrinsik manusia. Atau seakan-akan pencetus Maiyah pernah mempelajari Stoicisme, sebagaimana Marja’ Maiyah Syekh Nursamad Kamba pernah menyangka saya sudah mengkhatamkan “Martabat Tujuh” Ibnu Arabi, berdasar obrolan kami di sebuah Café di tepi Sungai Nil sekitar tahun 2001, sebelum kemudian KiaiKanjeng pada 2003 berkeliling ke 6 kota besar Mesir.

Yang juga menarik adalah lahirnya paham Stoicisme ini seperti bersamaan eranya dengan kehadiran Nabi Ibrahim As di zaman yang relatif sama. Apa yang dilakukan oleh Zeno, Cleanthes dan Cryssipus di Athena Yunani di abad itu adalah ikhtiar pemikiran dan ijtihad penghayatan kehidupan, pada periode ketika Allah menurunkan Bapak Tauhid, Bapak Brahmana (b-r-h-m), sang pencari Tuhan yang Allah sendiri langsung “memergokinya”.

Seakan-akan ada perjodohan antara wahyu dengan ijtihad. Andaikan manusia atau masyarakat berijtihad dengan sungguh-sungguh dan murni menghayati sangkan paraning dumadi, mereka pasti akan mendekat kepada-Nya. Sebagaimana peradaban bangsa Jawa yang melakukan ijtihad kehidupan sehingga menemukan dan merumuskan banyak sekali kebenaran-kebenaran dan filosofi yang akhirnya dilegitimasi atau dijustifikasi kebenarannya oleh wahyu Allah.

Manusia Jawa menyimpulkan berdasarkan proses ijtihad peradabannya “Ngunduh wohing pakarti”, “Ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh”, “Ojo keminter mundak keblinger, ojo cidra mundak cilaka”, “Sakbejo-bejone wong kang lali isih luwih bejo wong kang eling lan waspodo”, “Ajining diri seka lathi, ajining raga seka busana”, “Becik ketitik ala ketara”, dlsb, yang semuanya merupakan rumus-rumus atau kunci-kunci utama kehidupan yang dengan mudah siapapun mencarinya di Al-Qur`an meskipun tata bahasanya tidak persis sama.

إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا ف هِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرٗا

Yang di Maiyah “ma’a” tidak diartikan “sesudah” melainkan “bersama” atau “bersamaan dengan”.

Sesungguhnya, apabila manusia setia kepada hakikat dan keniscayaan akal dan nuraninya, hampir bisa dipastikan atau sekurang-kurangnya optimis bahwa ia akan melangkah menuju Allahnya. Sebagaimana ragam ijtihad yang dihasilkan sejak zaman Yunani kuno maupun Jawa kuno. Meskipun demikian, “melangkah menuju Allah” tidaklah sama persis dengan “sampai ke Allah”.

قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا

Katakanlah wahai Muhammad: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, hanya saja Allah menentukan ayat-ayat yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.

Di usia senja saya tiba-tiba anak bungsu saya mengantarkan saya kepada luasan wacana peradaban manusia tentang “tawakkal”. Saya mengenal tawakkal dari khutbah-khutbah Jumat sejak kecil, dari guru ngaji di Langgar, dari pengajian-pengajian umum, kemudian mengakses langsung dari narasi Al-Qur`an dan sering sok tahu sok ngerti sok Kiai dengan menasihati anak-anak Maiyah dengan Surat At-Thalaq 2-3.

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”

Bahkan saya tidak pernah mentransfer ayat-ayat ini kepada anak-anak saya sendiri. Pendidikan dalam keluarga saya bukan pendidikan dengan budaya agama sebagaimana pada umumnya keluarga Kaum Muslimin terutama keluarga para ustadz, kiai dan ulama. Semakin tua semakin saya merasa awam tentang pendidikan. Prinsip utama pendidikan adalah mengenali anak-anak kita serta siapa saja dalam masyarakat dan turut mendukung proses internal maupun eksternal mereka agar berkembang menjadi apa yang dikehendaki oleh Allah tatkala menciptakan mereka dan kita semua ummat manusia.

Pada bagian awal, “mengenali anak-anak kita” saja saya selalu terombang-ambing dan mulur mungkret. Sama sekali tidak mudah memahami anak-anak. Jangankan karena tidak segenerasi dan tidak sezaman. Memahami anak-anak secara otentik mungkin bisa dilakukan dan diproses secara rasa dan rasionalitas. Tetapi memahami apa yang Allah maksudkan dan kehendaki, serta perintahkan, di belakang penciptaan-Nya atas anak-anak itu, sungguh bukan perkara gampang. Kita para orangtua jangan sampai karena kegamangan semacam itu lantas menjadi kaum tua yang otoriter, tapi jangan terpeleset menjadi orangtua yang liberal dan membebaskan anak-anak seratus persen.

Kalau kelak di tahap pertanggungjawaban kita atas kehidupan di dunia, para Malaikat menanyakan bagaimana saya mendidik anak-anak saya, mungkin jawaban saya adalah “Wallahi saya bingung memahami pendidikan. Apalagi pendidikan kepada anak-anak saya yang Allah amanatkan kepada saya dan Ibunya. Sejauh-jauh yang saya bisa ikhitarkan berujung pada tawakkal kepada kasih sayang Allah”.

Bahasa lainnya: “Saya stoikis saja. Saya teguhkan dan pastikan tauhid dan taqwa mereka kepada Allah. Tetapi bagaimana memproses dan mengantarkan anak-anak saya ke masa depan, saya stoikistik saja. Saya tawakkalkan kepada Allah saja. Sejauh-jauh ilmu, pengetahuan dan pengalaman hidup saya, berakhir hanya manjadi seorang Stoikis atau Mutawakkil ‘alallah”.

Lainnya

Topik