Sregep Matur Nuwun Kepada Gusti Allah
Tepat satu tahun yang lalu, Maiyahan Kenduri Cinta yang dilaksanakan di area Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki terlaksana secara normal. Pada hari yang sama, pemerintah provinsi DKI Jakarta mengumumkan dimulainya Pembatasan Sosial Berskala Besar tahap pertama. Setelahnya, kita memasuki masa pandemi Covid-19, hingga hari ini.
Pada masa awal-awal penetapan pandemi, kita benar-benar mengalami shock luar biasa. Nyaris seluruh aktivitas yang sebelumnya berjalan normal, kemudian berubah seketika secara drastis. Hampir tidak ada yang memikirkan tekanan psikis masyarakat saat itu. Media-media memberitakan hal-hal yang menakutkan mengenai Covid-19. Ketakutan demi ketakutan semakin disebarluaskan, hingga pelosok desa.
Seiring bergulirnya waktu, kita semakin terbiasa dan telah mampu beradaptasi dengan situasi yang ada saat ini. Tidak ada pilihan lain, bahwa pada akhirnya kita memang sudah ditakdirkan untuk hidup berdampingan bersama Coronavirus. Adaptasi protokol kesehatan lambat laun pun menjadi hal yang biasa. Kita terbiasa hidup lebih bersih dari sebelumnya. Terbiasa mengenakan masker, terbiasa mencuci tangan dengan sabun maupun cairan antiseptik, terbiasa menjaga jarak, terbiasa lebih waspada satu sama lain. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi kesadaran yang muncul adalah mengamankan satu sama lain.
Jakarta sebagai salah satu kota yang termasuk ke dalam zona merah menjadi sorotan. Forum Kenduri Cinta yang memang berada di Jakarta pun terkena imbasnya. Tidak mungkin dalam waktu-waktu ini menyelenggarakan Maiyahan seperti sebelumnya, berkerumun di sebuah area lapang seperti Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki, dari jam 8 malam hingga menjelang subuh. Sungguh, atmosfer Maiyahan seperti itu adalah sebuah kemewahan bagi kita semua saat ini.
Dengan mempertimbangkan banyak hal, mencari lokasi yang benar-benar steril, mempersiapkan individu-individu penggiat Kenduri Cinta yang sigap menerapkan protokol kesehatan, dengan bekal persiapan yang sudah sangat matang, keputusan diambil bersama. Penggiat Kenduri Cinta menyelenggarakan sebuah acara kecil, ajang silaturahmi Jamaah Maiyah Kenduri Cinta.
Sesuai dengan tajuk utama “Sambung-Sinambung Silaturahmi”, acara sederhana ini memang bertujuan untuk kembali menggelorakan semangat guyub saat bertatap muka. Kudapan-kudapan ringan pun disiapkan oleh penggiat Kenduri Cinta bagi setiap yang hadir. Ketika mereka memasuki ruangan setelah proses pengecekan suhu, masing-masing secara mandiri mengambil snack dan air minum yang sudah disediakan. Bagi yang bersedia meluangkan tenaga lebih, tersedia pilihan kopi dan teh yang dipersilakan untuk meracik sendiri.
Aula SMKN 27 Jakarta yang berlokasi di bilangan Pasar Baru sebenarnya bukan lokasi yang asing bagi Kenduri Cinta. Beberapa kali aula tersebut digunakan untuk acara-acara internal penggiat Kenduri Cinta seperti Internalan, Workshop, Musleng maupun Raker. Juga, personel KiaiKanjeng sering menggunakan Edotel SMKN 27 Jakarta untuk transit ketika ada event di Jakarta. Karena memang sudah kenal dengan lokasi tersebut, pertimbangan keamanan dan penerapan protokol kesehatan menjadi pijakan utama dipilihnya lokasi ini. Kurang lebih sekitar 3 minggu penggiat Kenduri Cinta mempersiapkan acara sederhana ini.
Pemilihan waktu pelaksanaan dari jam 9 pagi pun berdasarkan pertimbangan yang sangat ringan, menghindari potensi pelanggaran jam malam di Jakarta, toh memang hanya acara Silaturahmi, sambung rasa, momen satu tahun pandemi terasa pas untuk menyelenggarakan acara pertemuan sederhana ini.
Berkah dan Kejutan Silaturahmi
Mendengar informasi mengenai rencana diselenggarakannya acara ini oleh penggiat Kenduri Cinta, tanpa disangka-sangka, Mbah Nun mendadak memutuskan untuk berangkat ke Jakarta pada Jumat sore (5/3). Kehadiran Mbah Nun ini tanpa sepengetahuan penggiat Kenduri Cinta sebelumnya, sehingga saat Mbah Nun tiba di lokasi acara pun, wajah-wajah para penggiat Kenduri Cinta pun tampak kaget sekaligus bahagia. Lebih-lebih lagi Jamaah Maiyah yang hadir di lokasi. Kehadiran Mbah Nun menjadi peristiwa yang mengejutkan bagi teman-teman penggiat dan juga Jamaah Maiyah Kenduri Cinta. Kejutan yang sangat membahagiakan tentunya.
Alhamdulillah, menjadi satu kesyukuran tersendiri Mbah Nun turut hadir dalam pertemuan di Aula SMKN 27 ini. Kondisi pandemi ini pun menjadikan pilihan menggunakan transportasi perjalanan darat dengan menggunakan kendaraan roda 4 menjadi pilihan yang paling aman dari segala kemungkinan. Jika menggunakan moda transportasi udara atau kereta api, kemungkinan bersinggungan dengan banyak orang menjadi pilihan yang sulit untuk dipilih. Tentu saja alasan kesehatan dan keamanan satu sama lain terkait protokol kesehatan Covid-19 menjadi pertimbangan utama.
Dengan konsekuensi menempuh perjalanan darat selama kurang lebih 8 jam, total jarak yang ditempuh sekitar 566 KM untuk satu kali perjalanan. Jika ditotal, maka setidaknya Mbah Nun harus melakukan perjalanan darat selama 16 jam dengan total jarak tempuh sekitar 1.132 KM. Dan kesemuanya dijalani dalam kurun waktu 24 jam.
“Hanya” 4 jam Mbah Nun melingkar bersama Jamaah Maiyah Kenduri Cinta di aula SMKN 27 kemarin pagi. Tentu sangat tidak sebanding dengan total durasi perjalanan darat yang dijalani. Tetapi, demi mengobati kerinduan, karena memang bukan hanya kita saja sebagai Jamaah Maiyah yang merasa kangen, namun Mbah Nun pun juga demikian. Merasakan kangen yang luar biasa untuk kembali berinteraksi secara langsung dengan teman-teman Jamaah Maiyah Kenduri Cinta. Pertemuan yang sederhana ini berlangsung sangat rileks, santai namun juga penuh ilmu-ilmu dan kunci-kunci yang diwedar oleh Mbah Nun.
“Hidup ini tidak tergantung pada fakta yang terjadi, melainkan bagaimana kita memaknai setiap proses yang kita alami”, Mbah Nun setelah menyapa jamaah yang hadir mengajak semua untuk merenungkan, bagaimana selama satu tahun pandemi setiap individu harus mampu memaknai fenomena pandemi Covid-19 ini. “Kita tidak boleh kalah oleh keadaan”, Mbah Nun membesarkan hati semua yang hadir.
Ada banyak keterbatasan-keterbatasan yang akhirnya harus kita alami dalam satu tahun terakhir. Bahkan, silaturahmi antar sesama manusia pun seperti diputus habis oleh situasi pandemi ini. Mbah Nun mengajak jamaah yang hadir untuk kembali meneguhkan tarikat puasa agar semakin mampu menemukan pemaknaan demi pemaknaan dalam kehidupan.
Membahas tema utama yang diangkat, Mbah Nun mewedar makna Silaturahmi. Mbah Nun menyampaikan bahwa Silaturahmi merupakan ide dan gagasan yang diprakarsai oleh Allah. Peristiwa maupun fenomena yang murni lahir atas inisiasi Allah kita semua meyakini bahwa apapun itu adalah yang terbaik bagi kita sebagai makhluknya. Menukil salah satu ayat di dalam Al-Qur`an; ‘asa an tuhibbu syai’an wa huwa syarrun lakum wa ‘asa an tukrihu syai’an wa huwa khairun lakum. Ada banyak hal bahkan yang mungkin sesuatu yang kita cintai tetapi sejatinya justru yang membahayakan kita, sebaliknya ada banyak hal yang mungkin kita benci namun sebenarnya justru mendatangkan manfaat bagi kita.
Merespons isu-isu terkini, Mbah Nun melemparkan pertanyaan kepada jamaah; Khilafah itu idenya siapa? Dijawab serentak oleh jamaah; Allah. Mbah Nun kembali bertanya; kalau demokrasi? Dijawab serentak; manusia. Dari dua hal ini Mbah Nun mengajak jamaah yang hadir untuk mengelaborasi, lebih mudhlarat mana antara Khilafah dengan Demokrasi? Tentu saja yang dimaksud oleh Mbah Nun adalah Khilafah yang murni dari Allah, bukan Khilafah yang merupakan hasil modifikasi manusia yang sudah terkontaminasi dengan kepentingan keduniaan.
Mbah Nun kembali memberikan piweling agar kita jangan sampai tidak pernah takjub dan kagum terhadap segala ciptaan Allah. Dari silaturahmi saja, ada banyak hal-hal yang mengagumkan yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia. Ada banyak rahasia yang terkuak dari silaturahmi yang dijalin atas dasar kecintaan manusia terhadap Rabb-nya. Dan jika hubungan itu tidak dibangun atas dasar cinta yang murni, maka yang lahir adalah silatu-dhulmi.
Tugas dari Mbah Nun untuk kita semua
Sembari menambahkan, Mbah Nun kemudian tahadduts bin-ni’mah. Selama masa pandemi ini, Mbah Nun sudah merilis 3 buku; 2 buku kumpulan esai dan 1 buku kumpulan puisi. Dan akan menyusul 2 buku lagi yang akan diterbitkan. Salah satu buku yang juga akan disusun adalah kolaborasi Mbah Nun dengan Mbah Fuad untuk merilis buku Tadabbur Al-Qur`an. Mengenai proses menulis ini, Mbah Nun mengajak jamaah yang hadir untuk turut berkontribusi. Bukan dalam bentuk tulisan yang panjang berupa esai, cukup satu alinea saja, menggambarkan atmosfer Maiyah yang dirasakan secara langsung dari masing-masing individu yang pernah bersentuhan dengan Maiyah.
Melalui rilis berita ini, kepada Jamaah Maiyah secara luas juga berkesempatan untuk turut menyumbangkan tulisan pendek tersebut. Tulisan bisa dikirimkan melalui email; [email protected].
Salah satu bekal yang juga disampaikan oleh Mbah Nun pada momen pertemuan ini adalah; “Sregep untuk matur nuwun kepada Gusti Allah”. Satu hal yang simpel dan sangat ringan. Mbah Nun mengingatkan untuk terus menemukan hal-hal yang mungkin sangat kecil bahkan remeh bagi kita, namun luput kita syukuri. Menjalani satu tahun pandemi dan kita semua mampu untuk bertahan dan survive merupakan salah satu kesyukuran yang harus kita ungkapkan kepada Allah. Selain itu, Mbah Nun juga mengingatkan kembali mengenai konsep rezeki. Rezeki merupakan salah satu output dari silaturahmi. Mbah Nun kembali menjelaskan bahwa ada 3 tingkatan rezeki; rezeki yang merupakan hasil dari bekerja, rezeki yang merupakan hasil dari kebaikan dan rezeki yang tiba-tiba datang dengan sendirinya. Mbah Nun menyebutnya dengan istilah Rezeki Ibu Maryam. Jika menggunakan istilah dalam Al-Qur`an kita mengenal konsep min haitsu laa yahtasib.
Tentu saja, acara ini tidak diisi penuh dengan diskusi dan ilmu. Krist Segara membawakan beberapa lagu karyanya untuk menyegarkan suasana. Disaat jeda musik ini, jamaah yang hadir menikmati sajian nasi kucing angkringan dan tusukan-tusukan sate usus serta ati ampela, lengkap dengan temped an tahu bacem. Mbah Nun sendiri menikmati kudapan ketan susu kemayoran yang memang sangat disukai oleh Mbah Nun, lengkap dengan tempe gorengnya.
4 jam yang sangat melegakan dan juga membahagiakan tentunya. Pertemuan sangat sederhana, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, alhamdulillah berjalan dengan tertib. Membuktikan bahwa kita sebagai Jamaah Maiyah mampu berdisiplin. Bahkan ketika Mbah Nun berpamitan pun, tidak ada yang berebut salim. Rindu sudah terobati, tak perlu kemudian rakus meneguk air kesegaran lebih banyak. Ada kalanya kita harus mengerti batas. Semuanya memahami batas dan saling menghormati untuk mampu menahan diri dengan tidak melampiaskan rindu tanpa bersalaman secara fisik.
Sejak awal, meskipun dikonsep sesederhana mungkin, penggiat Kenduri Cinta berupaya mempersiapkan acara dengan cermat dan detail. Perihal protokol kesehatan tentu saja menjadi salah satu syarat utama yang harus dipenuhi. Setiap yang hadir diwajibkan mengenakan masker dan menggunakan hand sanitizer sebelum memasuki ruangan. Absensi digital pun dilakukan untuk antisipasi awal tracing jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ketika memasuki ruangan pun, para jamaah diatur posisi duduknya dan tetap diwajibkan mengenakan masker selama acara berlangsung. Benar-benar menjadi ajang silaturahmi yang guyub, semua rukun dan tertib, saling menjaga, saling mengamankan satu sama lain dan disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Matur Nuwun Mbah Nun, sudah rawuh di Jakarta dan mengobati kerinduan kami. Matur nuwun Bu Via, sudah memberi izin kepada Mbah Nun untuk nyambangi anak-anak Maiyah di Jakarta yang kangen dengan Mbah Nun. Juga kepada Progress Management di Kadipiro yang telah memfasilitasi perjalanan Mbah Nun dari Yogyakarta ke Jakarta.