CakNun.com

Spiritualitas dalam Tatapan “Lockdown 309 Tahun”

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 4 menit

“Kalau para petugas langit yang datang bersamaku itu menghentikan taburannya, lantas kalian merasa lega dan berhenti parno, nanti kalian makin sombong dan bodoh lagi. Kalau taburan serbuknya diteruskan, kasihan manusia-manusia yang tidak bersalah” (Corona, 4)

Enam bulan selama Covid-19 masuk ke Indonesia, aneka ragam pendapat tersiar di kalangan pemerintah dan masyarakat. Dari penyepelean sampai perasaan parno tak luput dirasakan setiap orang. Ungkapan apa pun tentang Corona, faktanya ia masih eksis sampai sekarang. Ia telah menjadi bagian dari keseharian setiap orang.

Masalahnya, setelah berganti tarikh 2020 ke 2021, berpindahnya kebijakan PSBB sampai PPKM Level 4, dan apa pun namanya kelak, sudahkah manusia Indonesia belajar dari peristiwa yang tengah dihadapi?

Pertanyaan ini bukan mengarah pada bagaimana manusia memetik hikmah di balik pandemi. Pertanyaan yang andaikata dinyatakan secara tepat pun akan terjerembab kepada situasi naif, sebab keadaan “endemi” tampaknya masih belum sama sekali terbayangkan.

Frasa “memetik hikmah” mengandaikan Corona telah usai. Selesai bukan karena ia hilang, melainkan penyebarannya stabil dengan tingkat yang sama, sehingga ketersebarannya dapat hadir di suatu kelompok sepanjang waktu, sekalipun relatif rendah dan bisa terprediksi (The Conversation, 2021).

Manusia belajar dari pandemi memang terkesan normatif, tetapi ia justru mengimplikasikan hal mendasar bagi setiap orang. Sesuatu yang begitu berharga selama dua tahun belakangan, titimangsa ketika waktu berlari amat kencang, namun ruang interaksi sedemikian menyempit.

Di luar pengalaman belajar setiap orang, tak sampai separuh tahun usia Covid-19 di Indonesia, Cak Nun sudah menuliskan bahan refleksi perihal pandemi. Sejumlah esai mengenai itu kemudian terhimpun ke dalam buku bertajuk Lockdown 309 Tahun (Bentang Pustaka, 2020).

Genap setahun usia buku tersebut, seorang sarjana IAIN Purwokerto, Halimah Fajriani, mengkajinya secara akademik. Ia memberikan judul Nilai-Nilai Spiritual di Masa Pandemi Covid-19 Perspektif buku Lockdown 309 Tahun Karya Emha Ainun Nadjib. Temuannya menarik diperbincangkan lebih lanjut karena dua hal.

Pertama, refleksi yang dituangkan Cak Nun di buku itu tidak saja relevan, tetapi juga memperlihatkan betapa yang dahulunya prediksi kini menjadi kejadian faktual. Kedua, refleksi terhadap pandemi sesungguhnya bagian dari pencarian nilai-nilai spiritual.

Perspektif pertama sedikit-banyak sudah terungkap di bagian awal kutipan tulisan. Hal itu menitikberatkan pada sikap manusia yang mendua. Bila Covid-19 dihentikan “taburannya” maka orang merasa lega dan berhenti parno.

Namun, bukan hanya perasaan sementara semacam itu. Ia akan tergelincir pada kesombongan dan kebodohan seperti sebelumnya. Sebaliknya, ketika Corona masih berlangsung, ia akan menerjang siapa saja, tanpa tebang pilih.

Kemenduaan ini terlihat di pertengahan Juni lalu. Dua bulan sebelumnya, orang seperti lupa bahwa masih berada di situasi pandemi. Tempat-tempat wisata dikerubungi ribuan orang dan ironisnya para pelancong kurang mengindahkan protokol kesehatan. Meskipun demikian, geliat ekonomi sedikit menunjukkan kebangkitan setelah kelesuan lama.

Sayangnya, keadaan ini malah cenderung diselebrasikan tanpa kewaspadaan bahwa varian baru sebentar lagi datang. Tak sampai sepekan, varian delta dengan potensi penyebaran sekaligus penularan lebih masif itu akhirnya terwartakan. Banyak orang terpapar. Anak muda yang dahulu dianggap kuat imunitasnya pun tak luput diterjang. PPKM praktis diteken sampai berjilid-jilid hingga sekarang.

Kesombongan dan kebodohan di balik tindakan lalai manusia itu agaknya bukan perkara baru. Barangkali pula kedua sifat tersebut sudah bersemayam di dalam kecenderungan manusia yang gemar “memastikan” segala sesuatu yang masih kabur. Padahal, beberapa bulan lalu Cak Nun secara bernas membedakan antara “memastikan” dan “meyakini” yang keduanya kerap dipertukarkan.

Orang jeli membedakan antara “memastikan” dan “meyakini” karena di dalam hatinya tertanam rasa mawas diri. Termasuk bagaimana kedirian itu dikondisikan sedemikian rupa dengan sangkan dan paran hidupnya. Pertanyaan selanjutnya, apakah pandemi benar-benar menekankan spiritualitas dengan Yang Maha sebagai subjek utama. Atau justru sebaliknya, pandemi semakin mengukuhkan bangunan pikiran yang sekularistik.

Dua dasawarsa silam, mawas diri kerap dibicarakan Damardjati Supadjar (2001). Ia merupakan bagian dari ilmu hakikat yang dalam konteks “mistisisme Islam” sering disebut bagian dari makrifat. Corak pemikiran Damardjati ini lebih pada kekhasan yang teosentristik yang menyinergikan “religius-kultural”: individu dapat menjadi kumawula tatkala dirinya menanggalkan-aku menjadi bersatupadunya-Aku.

Itulah sebabnya, mawas diri merupakan pemahaman diri sebagai watak-yang-kumawula. Dalam perilaku sehari-hari selama pandemi, mawas diri diejawantahkan dengan kepedulian, bukan dari aku untuk aku, melainkan dari aku untuk kemaslahatan banyak orang. Halimah Fajriani mengkategorikan kepedulian sebagai domain spiritualitas (lihat, hlm. 76-78), yang di dalam buku Cak Nun terkuak dalam kutipan berikut.

Semoga Tuhan lebih menyayangi hamba-Nya yang lebih mementingkan keselamatan orang lain daripada mengutamakan dirinya sendiri. Hampir setiap orang memang menegakkan keyakinan dan takwa dalam hati dan pikirannya. Ke mana pun saya pergi, karena life must go on, bismillah saya berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dari segala macam marabahaya terutama virus Corona. Harapan dan doanya mesti ditambah ‘semoga kehadiranku di mana pun tidak mencelakakan siapa pun’.

Virus Corona agaknya mengakselerasi perilaku mawas diri atau kepedulian bukan sekadar untuk individu, melainkan juga terhadap orang lain. Spiritualitas memang seharusnya terlepas dari kedirian yang egosentris. Pandangan spiritualitas yang hanya mengurusi dunianya dengan Tuhannya amatlah reduksionis. Malah ia tak memadai sebagai bagian dari nilai spiritual. Spiritualisme, dengam demikian, harus inklusif dan berkesadaran sosial.

Mungkin hampir sama dengan keambiguan pandangan tentang kesalehan sosial dan kesalehan individu, laiknya dipidatokan para mubaligh beberapa tahun belakangan. Selain dikotomis, istilah itu justru terjebak pada contradictio in terminis. Bukankah kesalehan sudah mencakup yang individual maupun yang sosial?

Penelitian Halimah Fajriani di atas, walaupun masih terkesan deskriptif dan kurang elaboratif terhadap diskursus spiritualitas, ternyata membuka khazanah pertanyaan berikutnya. Sebuah pertanyaan yang menarik dijelajahi di tengah PPKM Level 4 sebagai penghalusan istilah karantina kewilayahan (lockdown) yang semoga tak mencapai 309 tahun.

Exit mobile version