CakNun.com
Kebon (32 dari 241)

Sowan ke Dipowinatan dan Usia Tinggal 3,5 Bulan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Dok. Progress.

Saya merasa penting untuk mencatat dan diketahui bersama bahwa persambungan saya dengan anak-anak Dipowinatan bukan dimulai dengan mereka “sowan” atau “menghadap” saya di Kadipaten, meskipun ketika itu kebetulan nama saya sudah banyak dikenal di Yogya maupun nasional melalui tulisan-tulisan nonstop saya di media massa. Yang terjadi adalah saya berjalan kaki bersama Eko Tunas dan Eha Kartanegara dari Kadipaten ke timur menembus kampung-kampung, belahan tengah Keraton, kampung-kampung lagi kemudian menyeberang di Jl. Brigjen Katamso masuk Dipowinatan sebelah utara Taman Hiburan Rakyat.

Itu terjadi pada tahun 1976. Berarti saya sudah “khatam” begadang di Malioboro, Begawan Umbu Landu Paranggi sudah berhijrah ke Denpasar. Saya bergeser persentuhan dengan Bengkel Teater dan bersahabat dengan Eha, sekaligus di Sanggarbambu dan bersaudara dengan Eko. Ebiet sudah sekitar dua tahun nempel di Kadipaten K-11 sejak 1974, tatkala dia di kelas 3 Muhi (SMA Muhammadiyah-I) Yogya.

Tahun itu saya sudah “merajalela” di koran-koran Yogya yang membesarkan saya sebagai penulis. Hampir tiap hari tulisan saya ada di halaman Opini “Kedaulatan Rakyat”. Tema tulisannya sudah melebar dari sastra ke kesenian, dari kesenian ke kebudayaan, yang di dalamnya ada dialektika politik dan nuansa agama. Tahun 1975 saya sudah “bertengkar” alias “berdebat” melawan penyair besar dan senior nasional: Goenawan Mohamad di Harian “Kompas” Jakarta. Sudah “S-2”, sesudah lulus “sarjana” di Persada Studi Klub Malioboro koran “Pelopor Yogya”. Kemudian dengan wagu tur ndeso mencoba “dunia persilatan sastra” S-2 di TIM Jakarta.

Bahkan tulisan-tulisan dengan tema keagamaan sudah masuk ke “Panji Masyarakat”, menjadi kontroversi dan syubhat idenya sehingga Kiai Tohar alias Mas Toto Rahardjo berkorespondensi dan berdebat langsung dengan Buya Hamka. Tulisan di “Suara Muhammadiyah” membuat saya akan diadili di Jl. KHA Dahlan 99 kantor “Suara Muhammadiyah”, untuk mempertanggungjawabkan isi tulisan “tasawuf” saya. Alhamdulillah pengadilan itu batal karena saya meminta agar “Jaksa dan Hakim”-nya ditambah beliau-beliau yang lebih pakar, karena yang tersedia bagi saya tidak akan bisa meladeni “ilmu ngasak” saya.

Bukannya saya pandai atau hebat. Saya cuma pintar “nggaya” dalam berbicara dan orasi, karena selama di Gontor 1966-1968 saya terlatih dalam tradisi “Muhadlarah”, apalagi saya adalah Ketua Muhadlarah-nya. Kamis pagi pidato Bahasa Arab, malam Jumat pidato Bahasa Indonesia, Minggu malam Bahasa Inggris. Alhamdulillah karena rutin selalu harus menyiapkan teks pidato, pada tahun 1967 itu semua orat-oretan “ngasak” saya himpun menjadi satu buku berbahasa Arab. Namun saya tidak kaget atau keberatan kalau cerita ini dianggap “isapan jempol”, karena memang tidak ada bukti dokumentasinya.

Jangankan dokumentasi tulisan. Celana baju saya hanya pakai sehelai selama hampir tiga tahun. Celana hitam tebal dan baju cokelat Pramuka yang multifungsi. Saya cuci setiap Jum’at pagi dijemur di atas hamparan bebatuan yang rencananya digunakan untuk membangun salah satu unit bangunan Pondok Gontor. Kalau mau baju cepat kering, jemurlah di atas bebatuan, karena panas tidak hanya memanggang dari matahari, tapi juga memancar dari jasad batu ke atas.

Maaf-maaf jangan disangka saya fakir miskin sehingga selama di Pondok hanya pakai satu baju satu celana. Ketika itu kedua orang tua saya masih jaya dan kaya, bahkan kaya raya untuk ukuran desa saya Menturo. Ibu dan Cak Fuad mengantarkan saya ke Gontor membawa satu koper penuh berisi pakaian dan keperluan harian. Tetapi memang sengaja saya pakai satu saja, entah siapa yang menyuruh atau membatasi cara hidup saya.

Bahwa di tahun-tahun itu terjadi efek sosial politik hingga ekonomi pasca G.30.S, di mana Bung Karno membubarkan Masyumi dan tidak membubarkan PKI, di mana sebelumnya NU sudah memisahkan diri dari Masyumi — dan semua itu berdampak pada pekerjaan Ayah saya, nafkah dan kondisi penghidupan ekonomi keluarga saya — demi Allah tidak pernah dan tidak akan pernah saya undat-undat, apalagi sampai menjadi dendam sejarah.

Kalau Anda berkenan memperhatikan bagaimana sikap hidup saya sekarang sampai usia menjelang 70 tahun, bagaimana perimbangan sikap politik saya, bagaimana neraca pemikiran saya, ke mana saja kiprah saya — insyaAllah Anda mengerti bahwa saya tidak dendam dan “ngundat-undat”. Bahkan saya bekerja lumayan keras mengupayakan Gus Dur menjadi Presiden, dengan meyakinkan Gus Dur sendiri meskipun dikecam oleh Bu Nuriyah dan tokoh-tokoh NU inti, kemudian dengan “menyendok” PPP dan Golkar melalui Hamzah Haz dan Akbar Tanjung, kemudian terakhir menembus perkenan Pak Harto sendiri di Cendana untuk kepresidenan Gus Dur. Meskipun pada dua-tiga tahun berikutnya saya “membayar” dengan penderitaan yang lumayan sesudah saya kasih tahu para Nahdliyin bahwa “Gus Dur terancam dilengserkan”.

Informasi yang mestinya disyukuri itu malah menjadi bumerang bagi saya sampai level divonis usia saya tinggal 3,5 bulan oleh dokter-dokter di RS Sardjito UGM sesudah didiagnosis dengan berbagai metode dan alat-alat canggih. PadhangmBulan di Menturo saya liburkan tiga bulan dengan pernyataan “Jangan salahkan saya kalau tiga bulan lagi kita ketemu nanti Gus Dur sudah bukan Presiden lagi”. Bulan berikutnya ada rombongan orang satu truk besar panjang datang ke markas saya di Patangpuluhan untuk minta maaf. Bahkan Pak Ud alias KH Yusuf Hasyim Tebuireng menyempatkan diri khusus datang ke Patangpuluhan, untuk “guyon nJombangan”.

Lainnya

Jari Telunjuk di Bibir

Jari Telunjuk di Bibir

Kelak anak saya Sabrang mengajari saya bahwa hidup ini terasa bagaimana bergantung pada “cara pandang, sisi pandang, jarak pandang, resolusi pandang dan kepentingan pandang”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version