Sinau Bareng Menyadari Keabadian dan Ketakterbatasan
Isra Mikraj mengingatkan manusia pada keabadian dan ketakterbatasan. Maka dimensi takwa, iman, dan sumeleh menjadi penting.
Mengapa Perusahaan Rokok (PR) Sukun tertarik mendiskusikan Isra Mikraj? Terdengar ganjil bagi sebagian kalangan tapi tidak bagi komitmen PR Sukun beberapa tahun belakangan. Sejak 2018 PR Sukun rutin mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk sinau bareng. Namun, tahun ini (01/04) pihaknya bertandang ke Rumah Maiyah, menggelar forum serupa secara virtual dan ditayangkan tiga kanal YouTube: CakNun.com, PR Sukun, dan Murianews TV.
Kali ini tema besarnya Gondelan Klambine Kanjeng Nabi. Seperti dibentangkan pada tahun-tahun sebelumnya, tema tersebut begitu bermakna dan akrab di telinga. Ungkapan ini diberikan Cak Nun langsung untuk menegaskan posisi Nabi Muhammad Saw. sebagai pemberi syafaat. Tak ada Nabi lain kecuali Kanjeng Nabi yang memiliki hak veto demikian kepada umatnya. Gondelan Klambine Kanjeng Nabi berarti kesadaran posisi seorang hamba untuk meneladani sang Al-Amin itu.
Perwakilan PR Sukun, Mas Anton, mengharapkan agar momentum Isra Mikraj perusahannya tetap gondelan kepada Kanjeng Nabi. Peristiwa itu ingin ia mintakan nasihat kepada Cak Nun. Langkah seperti bagaimana agar korporasinya mampu istikamah berada di jalur tersebut. Selama pandemi, lanjutnya, PR Sukun tak satu pun mem-PHK para pekerja. PR Sukun memegang erat wasiat pendiri: pemecatan dilarang kecuali pekerja mengajukan diri.
“Kami memohon nasihat kepada Mbah Nun. Kami juga meminta pandangan bagaimana kita akan terus menghadapi pandemi ini. Bagaimana Rasulullah menyikapi pandemi,” tanyanya.
Cak Nun langsung menanggapi kalau posisinya tak berpretensi menasihati tapi belajar bersama. Satu hal yang beliau soroti adalah kenapa Sukun tetap teringat Kanjeng Nabi. Sedemikian langka di tengah perusahaan yang acap mengejar laba sebesar-besarnya. Meski itu tetap penting, namun PR Sukun tampaknya juga memprimerkan dimensi lain. Cak Nun menyebut rezeki.
“Orang sekarang tidak paham dan tidak tahu perbedaan penghidupan dan rezeki. Rezeki itu mengandaikan bukan hanya produsen dan konsumen. Tidak hanya liner seperti itu,” ujarnya. Subjek sang pemberi rezeki bukan sekadar produsen dan konsumen. Melainkan Tuhan itu sendiri. Sesuatu yang menurut penilaian Cak Nun lebih besar ketimbang skema kapitalistik.
Senada dengan pernyataan itu, Mas Sabrang menarik pembahasan lebih teoretis. Menurut pengamatannya, terdapat pergeseran paradigma kapitalisme seabad belakangan. Keuntungan sebanyak-banyaknya memang menjadi ciri khas sistem tersebut. Sebelum tahun 80-an sampai era Adam Smith, kapitalisme masih mengakomodir nilai. Bukan dalam pengertian nominal, melainkan manfaat bagi masyarakat luas.
Mas Sabrang merujuk pada pandangan Adam Smith dan Rousseau. Garis besarnya mengingatkan betapa penting nilai manfaat itu. Beberapa tahun terakhir perusahaan mulai arus balik. “Ada lagi gerakan kembali ke situ. Perusahaan tidak hanya cari laba tapi juga cari nilai. Perusahaan Sukun sepertinya mengarah sana. Semoga bukan hanya Sukun tapi juga perushaan lain,” tuturnya.
Jika hal ini benar, Cak Nun merespons, berarti Sukun memahami perbedaan antara rezeki dan pendapatan. Demikian pula distingsinya dengan nafkah. Beliau berpendapat kalau Sukun sebagai perusahaan bukan hanya mencari laba, melainkan juga rezeki. “Sukun itu sampai tidak melakukan PHK karena itu rezeki meski tetap di dalamnya ada kecerdasan manajemen.”
Isra Mikraj
Sinau Bareng sengaja dibagi menjadi tiga sesi. Acara berikutnya memfokuskan pada hikmah Isra Mikraj. Yai Muzammil yang malam itu hadir mengawali pokok pembahasan secara etimologis. Isra itu bermakna berjalan—Dia dzat yang Maha Memperjalankan—sedangkan Mikraj berarti naik. Gabungan dua kata itu dapat dipahami sebagai perjalanan horizontal maupun vertikal.
“Isra Mikraj itu dihikmahi karena (Kanjeng Nabi) bisa naik ke langit ketujuh. Bahkan malaikat Jibril tidak bisa ke sana,” jelasnya. Menanggapi penjelasan itu Cak Nun bertanya lebih spesifik: apakah manusia mampu mengukur luasnya ruang semesta?
Mas Sabrang segera menimpali. Ia memakai perspektif ilmu Fisika dan Matematika. Sejauh ini, imbuhnya, sains membicarakan pokok kealamsemestaan di ranah observable universe. Di luar eksplanasi ilmiah mengenai itu Mas Sabrang mencatat poin Isra Mikraj.
Baginya, peristiwa itu merupakan sebuah perjalanan vertikal dan horizontal. “Kalau wadag ada limitnya. Tapi dolan dengan pikiran bisa lebih jauh lagi. Yang lebih jauh selanjutnya adalah dolan dengan iman,” ucapnya. Sains memang belum dapat memetakan langit ketujuh. Tapi hal terpenting, menurutnya, “Tidak ada bukti tidak sama dengan sesuatu itu tidak ada. Tidak ada itu juga butuh bukti.”
Perihal lapisan langit, kata Mas Sabrang, dibahas dalam ranah matematika. Fisika sekadar membuktikan lewat sejumlah teori. Antara lain the Strange Theory maupun Quantum Vortex Theory. Sains banyak menawarkan teori seputar multidimensi ruang dan waktu. Akan tetapi, ia tetap berada dalam posisi bahwa sains sekadar “membahasakan alam dengan konstruksi bahasa” yang dimiliki manusia.
Cak Nun menarik dua kesimpulan hikmah di balik Isra Mikraj. Pertama, Isra Mikraj mengingatkan manusia pada keabadian dan ketakterbatasan. Kedua, kesadaran hamba terhadap alam semesta yang belum diketahui batasnya itu dapat dijangkau dengan dimensi takwa, iman, dan sumeleh. “Yang disampaikan Sabrang itu dolan jasadiah dan dolan rohiah. Karenanya kita butuh peneguhan. Yang kita lakukan ini proses Israj Mikraj,” tandasnya.