CakNun.com

Sinau Bareng “Ikhtiar Bareng Grab” di Rumah Maiyah

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 5 menit
Foto: Adin (Dok. Progress).

Menjelang acara sekitar satu jam sebelum pukul 20.30 Rumah Maiyah, Kadipiro, kedatangan tamu berseragam serupa. Sepekan sebelum Rabu (28/04) mereka mendapatkan undangan khusus dari mitra Grab kontingen DIY dan Jawa Tengah.

Tamu ini sebagian besar memang kalangan “akar rumput” yang hampir tiap sudut jalan acap terlihat akrab di sudut kota. Entah mengantar penumpang atau sekadar melayani mengirim pesanan.

Jalan Barokah Nomor 287 praktis berubah menjadi pangkalan Grab sementara. Mereka mengikuti Sinau bareng yang bertajuk Ikhtiar Bareng Grab.

Walau terlihat menyemut, helatan ini mengikuti protokol kesehatan secara ketat. Sejak di pintu gerbang lalu lintas keluar-masuk dijaga cermat. Menjaga jarak, cuci tangan, sampai tes suhu dijalankan rapi.

Asep Ekayana, perwakilan Manajemen Grab, angkat topi terhadap terselenggaranya acara. Pihak Grab memang sengaja mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng agar mitra sekaligus pasukan lapangannya bisa belajar bersama di Rumah Maiyah.

“Saya mengharapkan semoga dengan acara ini bisa mendapatkan manfaat bagi kita semua,” ucapnya membuka sambutan. Selain dilaksanakan tatap muka sesuai protokol kesehatan, acara ini ditayangkan virtual di kanal YouTube CakNun.com, dan Youtube Sahabat Grab Indonesia, dan forum Zoom Grab.

Cak Nun bungah atas pilihan judul sinau bareng. Beliau antusias dengan diksi “ikhtiar” yang dipilih sebagai acuan. “Saya ini punya rasa simpati khusus kepada semua yang bekerja secara ikhlas. Apalagi judul ini menunjukkan kesungguhan kita dalam menyambut rezeki,” tuturnya.

Ikhtiar, sambung Cak Nun, menjadi titik kesungguhan orang dalam berproses menuju tujuan tertentu. Ia menginginkan selama menjalankan ikhtiar itu orientasi kemaslahatan harus menjadi prioritas. Itulah sebabnya, pelajaran awal berikhtiar adalah menemukan inti perjuangan. “Saya kira masalah apa pun semua berawal dari situ,” tambahnya.

Foto: Adin (Dok. Progress).

Jodoh ikhtiar, menurut Cak Nun, kerap bersandingan dengan konsistensi (istikamah). Ia mencontohkan satu ilustrasi sederhana berkaitan dengan kabul atau tidaknya sebuah doa. Ada orang berusaha dan berdoa beribu-ribu kali tapi baru dikabulkan. Terdapat pula sekadar membatin harapan tapi lekas terwujud.

Nek angger awakmu duwe hati yang pokoknya baik saya kira akan tetap dikabulkan. Masalahnya sebentar atau cepat itu relatif dan kita jangan berpatokan pada hasil. Pokoknya tandang wae,” ujarnya.

Konsistensi seseorang teruji sejauh mana ia bertahan selama proses berikhtiar. Namun, kebanyakan orang ingin segera mencapai hasil. Itu bukan salah dan benar, melainkan efeknya bisa berakibat terlalu mbentoyong. Padahal, dimensi rezeki yang akan disasar selama berikhtiar tak semata-terkuantifikasi.

“Rezeki itu ada income atau pendapatan. Ada rezeki yang lain yang kita sendiri perlu melihat ke dalam lebih jauh,” kata Cak Nun. Beliau berpendapat selama giat di jalan Allah, maka rezeki akan mengikuti. Pun datang di situasi tak terduga. “Semoga Allah terharu terhadap kerja keras Grab.”

Rezeki tak disangka-sangka ini disebutkan di Qur’an berupa “min haitsu laa yahtasib” dan Cak Nun menggambarkan betapa pekerja Grab mengalami situasi demikian. Pekerja Grab yang sudah keliling semenjak fajar menyingsing, pasti berada di tengah perasaan tak menentu.

Deras dan surutnya penumpang memang bisa disimulasi lewat tempat-tempat strategis. Akan tetapi, mereka tak mampu memastikan apakah pendapatannya mencukupi selama satu hari. Semua serba tak pasti. Cak Nun menguatkan mereka agar jangan lekas putus asa. Selalu terbuka terhadap kemungkinan di luar nalar yang Tuhan sendirilah yang akan menjamin rezeki hamba-Nya.

Keadilan Tuhan dalam menjamin rezeki umat-Nya, menurut Kiai Muzammil yang waktu itu menguatkan pendapat Cak Nun, lahir atas pertimbangan kewajiban atau kemurahan Allah. Sementara itu, aneka rezeki bisa datang dari kondisi apa pun. Bisa kebaikan seseorang, ketulusan hatinya, kemaslahatan perilakunya, dan lain sebagainya. Bagi Kiai Muzammil, itu merupakan jenis level rezeki.

“Saya berharap keajaiban Allah yang diberikan kepada Anda dan saya kira Allah di belakang min haiatsu laa yahtasib seseorang,” jelas Cak Nun. Beliau kemudian mengajak pegawai Grab untuk melihat betapa Tuhan berkuasa atas apa pun. Termasuk kuasa-Nya terhadap metabolisme tubuh manusia, menumbuhkan tunas tanaman sampai berbuah, sampai kejadian-kejadian remeh di sekitar yang absen ditangkap kesadaran biasa.

Foto: Adin (Dok. Progress).

“Jadi, tidak mungkin hidup itu putus asa. Wong sudah penak hidup ini. Allah berhak dan bekehendak atas segala sesuatu,” imbuh Cak Nun. Otoritas Tuhan kepada hal apa pun di dunia ini termasuk pemberian hukuman. Tak seorang pun mampu menghentikan bila Dia berkehendak.

Tapi Cak Nun menekankan satu hal. Tuhan pun juga maha pengampun. “Dan yang paling penting Allah maha pemaaf. Kadang kita melakukan kebaikan tapi efeknya dosa kok. Itu bisa saja. Kita harus mengakui bahwa kita ini dikepung hal ghaib. Tapi kita tidak perlu juga mengerti hal ghaib,” katanya.

Persoalan ghaib di satu pihak menyisakan misteri, sedang di pihak lain tak semua peristiwa tersebut perlu dipahami nalar. Cak Nun lalu menandaskan betapa hidup ini niscaya berada di titik tengah antara “lalu lintas kepekaan manusia dan kesadaran di antara manusia.”

Beliau berpesan supaya jangan sampai menyakiti orang lain. Jangan menipu atau berbuat destruktif. “Cepat atau lambat akan kembali ke kita. Jadi, kita sinau bareng untuk ikhtiar seperti ini,” ungkapnya.

Ngegrab, wedar Cak Nun, merupakan bentuk amal shaleh. Ia bukan sekadar bersedekah, sebagaimana dipahami jamak orang. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, menjamin penghidupan sehari-hari anak dan istri, tak ubahnya beramal shaleh. “Semua yang bekerja keras buat anak istrinya itu adalah pejuang. Maka kalau kamu diambil oleh Allah di tengah pekerjaanmu, maka itu syahid karena menjalankan amal shaleh,” terangnya.

Seperti format sinau bareng sebelumnya, Cak Nun membuka ruang dialog lebih interaktif. Sejumlah pejuang akar rumput Grab gayung bersambut. Sebagian besar mengemukakan persoalan yang dihadapi, baik di rumah maupun di lapangan. Satu penanya bahkan menginisiasi sebuah kelompok di antara para pekerja. Ia memberi nama Tim Syukur. Tim ini mensolidkan pekerja yang menghadapi situasi ketakpastian selama mencari penghidupan.

Mendengar kesungguhan itu Cak Nun menimpali, “Saya kira Anda betul-betul memahami bahwa Allah ngasih hidayah kepada hamba-Nya. Rumusnya mendapatkan laba dari Allah itu memang bersyukur. Syukur lawannya kufur. Jadi, Tim Syukur itu saya senang banget.”

Foto: Adin (Dok. Progress).

Cak Nun menerangkan bahwa syukur akan membuat rezeki seseorang bertambah. Sebaliknya, kufur akan berujung pada siksaan. Di Jawa dimensi tersebut senada dengan sumeleh. “Terus, kedua, di Maiyah ini semuanya nyawiji. Tim Syukur adalah bentuk dari nyawiji itu.”

Pada penghujung acara, menjelang dini hari, Cak Nun menegaskan posisi takwa selama berikhtiar dan bersyukur. Menurutnya, takwa berarti waspada. “Islam mengenalkan adzikru wat taqwa yang dalam Jawa disebut eling lan waspada. Anda harus waspodo ben eling. Maka kalau Anda bertakwa itu Anda akan diberikan solusi. Takwa akan mengeluarkan dua hal: jalan keluar dan rezeki tidak terduga,” pungkasnya.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version