Silaturahmi Rumput dengan Lauhul Mahfudz
Bagaimana mensilaturahmikan rumput dengan Lauhul Mahfudz, kamera digital dengan malaikat Jibril, bekiyak dengan perahu Nabi Nuh? Dibilang sulit memang sulit. Dibilang mudah kok tidak semudah menulis status di media sosial.
Saya pernah menerima tugas itu: menemukan sambungan antara rumput dengan Lauhul Mahfudz. Puyeng memang. Apalagi waktu yang disediakan tidak lebih dari tiga puluh menit untuk menuliskannya.
Bagaimana mungkin rumput dihubungkan dengan Lauhul Mahudz? Rumput berada di alam dunia, dijumpai sehari-hari, bisa dipegang dan disentuh. Sedangkan Lauhul Mahfudz berada di alam ghoib, tidak bisa dilihat, dan berada “nun jauh” di sana.
Awalnya saya menyangka itu cara berpikir yang aneh dan mengada-ada. Apalagi terdapat sejuta hubungan yang dapat kita rangkai lebih luas, misalnya batu akik dengan tongkat Nabi Musa, bensin dengan berhala Latta Uzza, onde-onde dengan majma’al bahraini.
Saya segera meralat sangkaan itu, beberapa menit setelah penugasan diberikan, karena harus segera menemukan sambungan antara rumput dan Lauhul Mahfudz. Kalau dihubungkan secara fisik dua hal itu pasti tidak nyambung. Sama tidak nyambungnya hubungan secara fisik semata antara telinga dengan kaki, lidah dengan rambut.
Namun, faktanya, bentuk fisik anggota badan yang berbeda: kepala, mata, hidung hingga jantung dan paru-paru menemukan sambungannya. Sebut saja ada “tali nonfisik” yang menyambungkannya. Kendati bentuk fisik dan fungsinya berbeda, seluruh anggota dan anatomi badan kita nyambung dalam sistem silaturahmi biologis.
Lantas tali nonfisik itu apa? Kita menyebutnya roh. Beberapa kalangan mengibaratkan roh seperti software dalam sistem kerja komputer. Sebagian yang lain berpendapat roh itu seperti energi baterai yang menyalakan software. Roh menyambungkan atau menyalakan software anggota dan organ badan sehingga bekerja sesuai peran dan fungsinya.
Hubungan antara rumput dengan Lauhul Mahfudz, dengan demikian, bukan hubungan secara fisik atau materi. Keduanya terhubung oleh “sesuatu” yang substansial, lembut, dan immaterial.
Yang immaterial itu bisa ditemukan melalui simbolisme, demikian pikir saya. Segera saya pasang simbolisme rumput untuk mewakili fakta manusia yang tertindas, dilemahkan, mustadl’afin. Rumput sering terinjak dan diinjak. Dianggap tanaman pengganggu yang bandel sehingga perlu dilenyapkan. Dipaculi berkali-kali tapi esok hari thukul lagi.
Lauhul Mahfudz adalah “ruangan” suci dan mulia milik Tuhan. Tempat segala rahasia dan ide penciptaan tersimpan. Ia berada di ketinggian derajat kemuliaan.
Saya tinggal menulis kenyataan bahwa manusia yang hidupnya berada di bawah: ditindas, disingkirkan, dan dilemahkan sesungguhnya berada di ketinggian derajat kemuliaan. Silaturahmi rumput dan Lauhul Mahfudz adalah persambungan antara mereka yang dizalimi (madhlum) dengan kepastian janji Tuhan. “Berhati-hatilah kamu terhadap doa orang yang dizalimi, karena antara doa itu dengan Allah tidak ada penghalang.” (Hadist sahih riwayat Al-Bukhori)
Disatukan Tali Tauhid
Kalau saya menggunakan simbolisme untuk menemukan persambungan antara rumput dan Lauhul Mahfudz, itu karena kebodohan saya. Saat itu saya belum beranjak dari sudut pandang simbolisme. Baru pada sesi review tulisan mata pikiran saya terbuka. Orang yang mereview tulisan itu menyatakan, melalui kesadaran tauhid kita menemukan tidak ada yang tidak tersambung dalam hidup ini.
Setiap dan semua persambungan itu bermuara pada satu sumber yaitu Nur Muhammad. Laulaaka laulaaka maa khalaqtu aflak. Kalau bukan karena engkau Muhammad, Aku tidak akan menciptakan alam ini.
Selain meneguhkan Ahadiyah Allah tauhid juga membawa kita pada keutuhan serta keterpaduan pikiran dan perasaan, akal dan hati, jasmani dan rohani. Semua utuh padu dalam Ahad.
Orang yang mereview tulisan itu pun berpesan, “Penuhi kesadaran hatimu hanya dengan Allah. Tancapkan tonggak tauhid di dadamu sehingga tidak ada apapun dan siapapun dalam hatimu kecuali Allah.” Tangannya bergerak seperti menancapkan sesuatu di dadanya.
Mendengar ucapan itu bulu kuduk saya merinding. Sekujur badan terasa kaku seperti di paku. Orang itu tampaknya belum selesai dengan kata-katanya. Ia melanjutkan: “Saya tidak mau setengah-setengah. Shohibu baity. Allah menjadi Tuan Rumahku.”
Pada momentum itu saya tidak hanya belajar menulis, bukan sekadar praktik merangkai kata dan kalimat, atau iseng-iseng melatih akrobat pikiran. Tidak. Lebih dari itu—Beliau menancapkan tonggak kesadaran tauhid. Para sedulur dan bolo konco pasti mengetahui orang itu. Beliau adalah Simbah kita semua.
Setiap mengingat momentum itu badan saya masih gemetar hingga hari ini. Betapa kerdil saya. Betapa perkasa Wisdom Allah.
Suatu ketika di Kadipiro: 2017