CakNun.com
Kebon (132 dari 241)

Silakan Mengkafiri Kehidupan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 6 menit
Ilustrasi: Adin.

Waktu terlama dalam usia hidup saya jalani dengan “manual”. Setiap habis Jumatan di Gontor antre di depan kantor Bagian Administrasi Pondok untuk melihat daftar nama-nama siapa saja yang dapat kiriman wesel. Jangankan SMS, WA, Lines, Email dll. Telpon umum sajapun tak ada di Gontor. Kalau Ibu mau ketemu saya atau saya mau ketemu keluarga, ya mereka harus datang fisiknya ke Gontor. Tidak ada omong-omong, dialog, perundingan, diskusi, atau kencan apapun, kecuali dengan muwajjahah. Bertatap wajah.

Jarak antara suara mulut dengan gendang telinga paling jauh satu meter. Perjanjian mulut-telinga antar manusia merupakan satu-satunya pegangan. Mau latihan Teater Dinasti di Dipowinatan ya harus jalan kaki dari Kadipaten membelah Kraton terus sampai Gondomanan. Ketika tempat latihan pindah ke Pojok Beteng Kulon, Joko Kamto jalan kaki dengan sandal ban mobilnya dari Dipowinatan. Juga siapapun saja. Jangankan ojek, jangankan motor, sepeda pun tak punya.

Tiap malam diseret oleh Umbu Landu Paranggi jalan kaki dari ujung utara Malioboro ke Alun-alun. Melingkar terus Yudhonegaran dan Gondomanan. Ke utara sampai Jalan Solo. Sampai Tugu balik ke selatan. Sebulan sekali jalan kaki lebih jauh. Minimal ke Kotagede. Bisa sampai ke Magelang, naik Bukit Dagi, minum dari sumur desanya. Ulang-alik Yogya Wates saya jalani dengan penyair Yudhistira Ardhi Nugraha. Sebagaimana saya jalan kaki Gontor Madiun pulang pergi. Tidak sekadar Gontor Ponorogo yang hanya 14 km.

Tidak ada kisah pulang dari Yogya ke Jombang lantas naik becak atau andong ke Menturo. Wajib jalan kaki sekitar 12 km. Sesekali kalau sepur mau jalan agak pelan, kita bisa meloncat ke tepian sawah di Curahmalang atau syukur Ngrumek, minimal Mlaras. Jadinya ke Menturo tinggal melintas dua desa. Kalau dalam rangka latihan teater Yogya Parangtritis pulang pergi, bukan kemewahan atau kehebatan. Bahkan lomba lari di tepian pantai selatan Parangtritis-Samas ulang-alik.

Jalan kaki adalah thariqat standard. Selama menikmati langkah dan irama, para Malaikat turun bertaburan. Ide-ide puisi, ritme kaki melahirkan lagu, lamunan hati menerbitkan puisi, pengembaraan pikiran meniti pemetaan sosial dan analisis. Saya tidak akan mendapat wahyu, karena bukan Nabi. Juga tidak dikerubungi oleh Karomah, karena bukan Wali. Saya orang awam biasa sebagaimana semua seniman dan manusia-manusia lainnya, hanya siap siaga memetik ilham.

Itu membuat sangat banyak hal-hal dari pengalaman masa silam yang paling sukar saya napak-tilasi atau mengingat-ingat apa bagaimananya. Bagaimana mungkin dari sejarah manual seperti itu akhirnya saya sampai di sini. Bagaimana mungkin hampir 100 buku di-tanazzul-kan oleh Allah ke tangan saya. Melalui mesin ketik yang tidak bisa copy paste, tidak bisa delete, erase, move, find, replace, lay out, paragraphing, align left, center dan right.

Tapi saya ketik puisi “99 Untuk Tuhanku” dengan peletakan “center”. Saya kerja membawa teks dari meja Redaksi ke Percetakan, tulisan dibikin alat cetak dengan timah perkolom. Kemudian dijejer, lantas dilayout sebagai benda keras dan panas. Saya mengetik tidak dengan 10 jari, melainkan hanya dua jari. Mesin ketik Brother, Olympia, atau Royal, dengan gulungan pita penghitam huruf yang selalu bikin hitam ujung jari-jari atau bahkan nyasar ke pipi, yang sering saya sekolahkan di Pegadaian untuk menyambung hidup atau kadang-kadang untuk modal penyelenggaraan pentas teater.

Tetapi barang-barang kuno itu yang membawa saya ketemu para petani di Sorsogon, ujung selatan Pulau Luzon Filipina. Bercengkerama dengan buruh-buruh pabrik di pulau Mariveles. Angon kerbau dan memandikannya di pinggiran Marikina. Ikut keliling Paskah menemani pemuda-pemuda Tagalog yang menyediakan kedua tangannya dipaku di kayu salib. Mengantarkan saya masuk ke gedung pusat gerakan sekte Protestan yang dibawa oleh Pendekar Korea Selatan Sun Myung Moon bersama Istrinya Hak Jan Han, beberapa bangunan seberang sebelah selatan Madison Square Garden yang kondang di Manhattan Jl 34 New York.

Mesin Ketik kuno itu yang melemparkan saya ke beribu pengalaman dunia di pojok selatan timur Australia. Tidak sekadar kota-kota besar Sydney, Malbourne, Perth. Magang di Ithaca dekat Canada, kota Korsel dekat Korut, konser di “beteng” Athena atau pentas teater di Fort Santiago di Manila. Pesawahan Iowa, penjambretan di Chicago, perampokan di Indianapolis. Keindahan Concervatorio di Napoli, keunikan di Teramo, “adrenalin kebatinan” di Cairo dan 6 kota lainnya. Termasuk 9 kota-kota Belanda atas undangan Organisasi Protestan. Serta puluhan titik dunia lainnya yang mengantarkan ribuan pengalaman: Helsinki, Ann Arbor, Muncie, Legaspi, Pomodoro, termasuk shalat di Masjid Tom Son Thailand yang dibangun pada 1688, era sesudah Sultan Agung Mataram.

Semua pengembaraan dunia itu ketika belum ada hewan-hewan yang bernama Photoshop, InDesign, Corel Draw, sampai beribu nomenklatur komputer dan internet. Apa itu VPN, HTTP, Java Script, TCP/IP, server hingga Wifi. Sedangkan yang tinggal ambil di toko kelontong seperti WA, Telegram, Twitter, Facebook, TikTok, Instagram, saya tidak pernah ambil.

Tiba-tiba, di masa tua saya, muncul era peradaban teknologi informasi dan komunikasi yang dipuncaki oleh pencapaian interconnection-networking (internet). Dengan meja dan layar pintar di meja atau alat genggam di tangan masing-masing seluruh manusia di dunia, bisa berhubungan satu sama lain melalui Standar Internet Protocol Suite (TCP/IP). Dan saya plonga-plongo sampai hari ini. Sekarang anak-anak duduk-duduk di gubug-gubug pesawahan dengan Smartphone di tangannya.

Tiba-tiba nama saya, ucapan saya, wajah saya bermunculan di layar-layar salah satu anak dari dunia internet yang bernama Social Media. Tiap hari rata-rata ada update atau tambahan munculan itu sekitar 20 items. Kenikmatan Sorga Silaturahmi Internet, menjelma jadi Neraka Silatulfasadi pada hidup saya. Media sosial adalah anak paling cemerlang dari perkawinan antara teknologi tinggi komunikasi dengan puncak keilmuan manusia. “Anak” yang paling didambakan oleh ummat manusia di segala zaman adalah kemerdekaan dan kesejahteraan, yang kemudian diperjodohkan menjadi keamanan hidup.

Si putra bungsu peradaban paling modern yang bernama social media atau sosmed alias medsos, memenuhi idaman ummat manusia untuk mengalami dan menjalani kemerdekaan komunikasi. Internet dan Medsos adalah sorga silaturahmi. Mungkin suatu sore kamu sedang meeting dengan Khabib Nurmagomedov di Machachkala Dagestan, Ibumu ada di Pracimantoro Wonogiri, tapi bisa bersilaturahmi dan menyampaikan ucapan-ucapan cinta dan langsung nyambung.

Para penemu dan pencipta internet, smarphone, SMS, WA, Twitter, Facebook, Instagram atau apapun mestinya sangat besar pahala jariyah-nya dan mungkin memperoleh tempat mewah di Sorga. Karena jasanya amat sangat besar di dalam memudahkan silaturahmi antar manusia di seantero Bumi. Silaturahmi adalah persambungan kasih sayang. Tetapi sebagaimana setiap hal, benda, alat atau peristiwa dalam kehidupan manusia selalu punya dua sisi mata uang, maka kalau tidak di-khalifah-i dengan kewaspadaan, kematangan, dan keseimbangan, ia bisa memunculkan fungsi yang lain. Tidak hanya Silaturahmi. Bisa juga Silatulfithnati. Silatulfasadi. Silatud-dhulmi. Tidak hanya persambungan kasih sayang “rahmatan lil’alamin”. Bisa juga terperosok menjadi persambungan fitnah, manipulasi dan eksploitasi. Persambungan kerusakan dan perusakan dan kerusakan. Perluasan Kegelapan dan penggelapan.

Padang luas tak terbatas dunia internet dan media sosial ternyata kemudian bisa dipenuhi oleh hutan rimba disinformasi. Bumerang komunikasi. Air bah kesalahpahaman dan sungai-sungai besar kegagalpahaman. Bahkan secara liar di mana-mana merebak tetumbuhan benalu semesta yang bernama hoax, fitnah, ujaran kebencian, manipulasi informasi, serta eksploitasi prasangka dan apa saja yang secara tanpa bisa dibendung merusak silaturahmi.

Kalau dulu media massa, koran, majalah, televisi, radio, diikat oleh regulasi (SIT atau SIUPP di Indonesia), sebagaimana pemuda pemudi melaksanakan pernikahan di KUA, serta berada dalam ikatan syariat pernikahan, etika budaya keluarga dll. Sekarang dengan internet dan medsos sepertinya siapa saja kawin dengan siapa saja tanpa aturan, tanpa batasan, tanpa regulasi dan undang-undang yang mencukupi untuk mengontrol keselamatan di antara ummat manusia. Amsal-nya, Internet dan Medsos adalah globalisasi seks bebas. Adalah perzinahan bebas sebebas-bebasnya. Kebebasan seks psikologis itu melahirkan miliaran “Tuyul-tuyul” liar dan ratusan juta anak-anak jadah sejarah. Bahkan tidak ada masalah seandainyapun ada manusia yang berzinah dengan kerbau, kuda atau anjing.

Setiap orang bebas dan ada wadahnya untuk omong apa saja, kapan saja. Setiap orang menjadi wartawan dan Redaktur Media. Setiap orang mendapat kemudahan dan kemerdekaan untuk melakukan perusakan, penghancuran, fitnah, adu domba dan apapun saja. Internet dan Medsos meletakkan makhluk manusia sebagai Yang Maha Kuasa.

Kemerdekaan ultra-liberal dunia Internet dan Medsos adalah suatu semesta yang para penghuninya merupakan contoh-contoh ideal pelecehan dan pembangkangan terhadap “dawuh” Allah Swt ini:

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”.

Anak-anakku Maiyah silakan menyisir ayat demi ayat di Surah Al-Hujurat, kalau merasa butuh Al-Qur`an, dan silakan meningkatkan kegagahan dan keberanian untuk melanggar dan mengkafirinya. Toh kalian sangat yakin bahwa kalian sekeluarga akan tetap selamat dengan tindakan fasadah dan mafsadah itu.

Sejak hari pertama munculnya aplikasi-aplikasi medsos, saya dibimbing entah oleh siapa untuk tidak mengunduh dan menggunakannya. Saya tidak punya akun Twitter, Facebook, Instagram dll. Hanya ada caknun.com yang dikelola oleh anak-anak saya Maiyah di Kadipiro. Saya pengguna internet cukup aktif, karena saya wajib mencari ilmu dan pengetahuan. Tetapi saya tidak berkomunikasi langsung dengan menggunakan medsos. Bahkan phonebook di Hp saya hanya berisi nama istri dan anak-anak saya plus Zaki Kadipiro.

Lainnya

Kota Santri dan Kampung Gali

Kota Santri dan Kampung Gali

Selama bergaul dengan lingkungan manusia dan budaya Dipowinatan sejak Dinasti hingga KiaiKanjeng, saya merasa seperti ada yang aneh dengan agama di Indonesia, khususnya Islam.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik